Krisis Minat Baca Generasi Muda: Peran Siapa yang Harus Dipertanyakan?
Eduaksi | 2024-12-17 22:07:44Di tengah gempuran era digital dan perkembangan teknologi, krisis minat baca di kalangan generasi muda menjadi fenomena yang kian memprihatinkan. Buku-buku mulai tergeser oleh layar ponsel, konten singkat media sosial, dan hiburan berbasis visual yang jauh lebih menarik. Pertanyaannya: siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas menurunnya budaya literasi ini?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat bawah dalam hal literasi. Data dari UNESCO menyatakan bahwa hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca yang tinggi. Lebih menyedihkan lagi, menurut survei PISA (Programme for International Student Assessment), kemampuan membaca siswa Indonesia juga masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain. Kondisi ini mencerminkan rendahnya budaya literasi di tengah masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.
Generasi muda saat ini lebih cenderung menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar gadget. TikTok, Instagram, YouTube, dan berbagai platform hiburan lainnya seolah menjadi "primadona" baru yang mengalihkan perhatian dari buku. Konten yang bersifat cepat, instan, dan menghibur lebih menarik dibandingkan membaca buku yang membutuhkan waktu dan kesabaran. Hal ini menjadi salah satu akar masalah krisis literasi.
Selain pengaruh teknologi, rendahnya minat baca juga berakar pada lingkungan keluarga dan sistem pendidikan. Banyak orang tua yang belum menjadikan membaca sebagai kebiasaan di rumah. Anak-anak lebih sering diberikan gadget untuk hiburan daripada buku bacaan yang mendidik. Di sisi lain, sistem pendidikan yang terlalu berfokus pada hafalan dan nilai akademis membuat membaca terasa membosankan bagi siswa. Buku seringkali dipandang hanya sebagai kewajiban belajar, bukan sebagai sumber pengetahuan yang menarik.
Dampak dari krisis minat baca ini tidak bisa dianggap remeh. Minimnya kebiasaan membaca akan menghambat kemampuan berpikir kritis, memahami teks kompleks, serta memproses informasi dengan baik. Generasi muda juga lebih rentan terhadap hoaks dan berita palsu karena kurangnya keterampilan literasi untuk menyaring informasi. Jika dibiarkan, hal ini akan berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Mengatasi krisis minat baca bukan hanya tugas satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama. Keluarga memiliki peran penting dalam menanamkan kebiasaan membaca sejak dini. Orang tua harus menjadi contoh dengan membiasakan membaca dan menyediakan buku bacaan yang menarik untuk anak. Selain itu, sekolah juga harus berinovasi dalam metode pengajaran agar membaca menjadi kegiatan yang menyenangkan, bukan beban.
Pemerintah dan pihak terkait juga perlu memastikan akses terhadap bahan bacaan berkualitas lebih merata. Pembangunan perpustakaan, penyediaan taman baca, dan kampanye literasi harus digalakkan, terutama di daerah terpencil. Teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung literasi, misalnya melalui e-book, audiobook, dan aplikasi literasi yang menarik bagi generasi digital.
Dengan upaya bersama dari keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat, diharapkan krisis minat baca dapat diatasi. Budaya membaca harus dihidupkan kembali sebagai fondasi penting bagi perkembangan generasi muda yang cerdas dan berdaya saing. Membaca bukan hanya tentang membuka buku, melainkan membuka jendela pengetahuan dan masa depan yang lebih cerah bagi bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.