Rendahnya Cancel Culture di Indonesia Menjamuri Konten Negatif Media Massa
Lainnnya | 2024-12-17 13:05:53“RENDAHNYA CANCEL CULTURE DI INDONESIA MENJAMURI KONTEN NEGATIF MEDIA MASSA”
Surabaya, 12 Desember 2024 — Dalam kurun waktu terakhir, media massa telah menjadi salah satu ladang utama dalam menuang opini publik dan interaksi sosial. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, peran media massa telah berubah menjadi lebih rumit bahkan runyam, terutama dengan munculnya platform digital yang menawarkan akses cepat dan tanpa batas terhadap informasi. Di satu sisi, digitalisasi media memberi kesempatan besar bagi masyarakat untuk mengungkapkan pendapat, berbagi informasi, dan menciptakan komunitas yang lebih terbuka. Namun, di sisi lain, digitalisasi juga menciptakan peluang bagi penyebaran konten negatif seperti berita palsu, ujaran kebencian, eksploitasi isu-isu sensasional, dan berbagai bentuk disinformasi yang dapat mengancam keharmonisan sosial.
Berjalan bersama dengan perkembangan teknologi, cancel culture hadir mengiringi derasnya arus pandangan publik atas segala bentuk eksploitasi isu sensasional. Cancel culture hadir sebagai wujud penghakiman publik. Fenomena cancel culture yang tengah ramai di berbagai belahan dunia tampaknya belum mendapatkan tempat yang signifikan di Indonesia. Berbeda dengan negara-negara Barat, di mana budaya "membatalkan" atau mengecam individu dan kelompok yang dianggap bersalah atau tidak sesuai dengan norma sosial semakin berkembang, Indonesia justru terlihat kurang responsif terhadap penerapan budaya ini. Hal ini berimbas pada maraknya konten negatif dan kontroversial yang terus mengisi media massa, baik konvensional maupun digital.
Salah satu alasannya berkaitan dengan faktor budaya. Indonesia dikenal memiliki masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, harmoni, dan toleransi. Nilai-nilai ini sering kali menjadi penghalang bagi timbulnya tekanan sosial yang nyata terhadap individu atau kelompok yang dianggap melanggar. Namun apakah ini merupakan bentuk dari toleransi atau malah kurangnya aksi? Padangan yang seperti itu justru sering membuat media massa di Indonesia khususnya televisi mengakuisisi tayangan negatif dan memberikan panggung tenar kepada pihak kontroversional, yang terkesan hanya mementingkan rating demi keuntungan komersial dibantingkan dengan membentuk ruang informasi yang positif.
Penyebaran informasi di era digital ibarat api yang menyambar rerumputan kering. Sekali menyentuh, ia dengan cepat merambat tanpa bisa dihentikan, membawa dampak yang tak terduga. Pemikiran jangka pendek tentang kebermanfaatan tayangan yang disuguhkan tidak jarang justru dianggap sebagai peluang bagi beberapa media massa di Indonesia. Tidak adanya sortir dalam pilihan konten yang ditayangkan menjerumus pada padangan rendahnya cancel culture di Indonesia. Media yang terus-menerus menyiarkan konten kontroversial tanpa ada pengawasan yang ketat berpotensi memperburuk fenomena disinformasi, yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Cancel culture bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan peringatan sosial atau mengingatkan pelaku media akan tanggung jawab mereka dalam menyebarkan informasi yang lebih sehat dan positif. Cancel culture juga hadir sebagai alat kontrol yang mempu memberikan efek jera bagi tokoh kontroversial untuk lebih menjaga perilaku dan tata kelola bermedia massa.
Rendahnya pemahaman publik mengenai pengertian dan kebermanfaatan dari cancel culture sendiri sering dianggap sebagai tindakan yang jahat karena bentuknya berupa penghakiman dan pengucilan sosial. Pandangan ini tentunya muncul sebab jati diri bangsa Indonesia yang mengedepankan rasa hormat terhadap sesama. Cancel culture dianggap sebagai hukuman paling berat jika merujuk pada jati diri bangsa tersebut. Sehingga publik menganggap bahwa cancel culture tidak cocok diterapkan di negara kita. Pemahaman seperti itulah yang membuat banyak tokoh kontroversial yang tidak kunjung jera tapi justru mengulangi tindakan tidak bernorma karena mereka menganggap hal itu sebagai kesempatan untuk mendapat panggung tenar. Jika kita menyelam lebih jauh, banyak sekali kasus di Indonesia yang sorotannya lekas hilang sebelum mendapat penghakiman publik. Lalu beberapa bulan kemudian kembali terdengar tokoh yang sama dengan kasus yang berbeda atau bahkan serupa yang di ulangi kembali.
Di sisi lain kerap kita jumpai petisi yang berisikan penolakan terhadap suatu isu yang negatif namun lama kelamaan hilang ditelan waktu. Tidak ada eksekusi yang terwujud, atau memang sedari awal hal tersebut hanya ditujukan untuk meredam ekspresi kemarahan publik terhadap sebuah kasus. Apakah cancel culture memang sesulit itu diterapkan di Indonesia? Sehingga memunculkan alternatif lain seperti halnya petisi tersebut sebagai bentuk partisipasi publik. Cancel culture menuai banyak sekali tantangan dalam penerapannya di Indonesia, mulai dari terhalangnya oleh kata “toleransi”, kurangnya pemahaman fungsi pemanfaatan, ataupun anggapan sebagai bentuk budaya occidental (kebarat-baratan) yang selalu di tolak oleh bangsa ini.
Walaupun sedikit penerapannya, belakangan ini cancel culture telah tercermin pada tindakan pengguna media publik di Indonesia, yaitu pada kontroversi salah satu tokoh agama dan seorang penjual es teh. Publik memberikan reaksi berupa pembatalan dan penghakiman atas tindakan yang dilakukan dan dukungan moral kepada pihak yang lain. Pada kenyataannya, penerapan cancel culture justru berdampak pada surutnya dorongan terhadap sesuatu yang negatif dan beralih pada efisiensi dalam membedakan hal yang baik dan buruk.
Kita semua perlu sadar bahwa adanya penerapan cancel culture di Indonesia sangat penting mengingat maraknya penyebaran konten negatif di media massa. Budaya ini bisa menjadi cara efektif untuk mendorong akuntabilitas, di mana individu atau kelompok yang menyebarkan informasi atau perilaku merugikan dapat mendapat tekanan sosial untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Selain itu, cancel culture juga dapat berperan dalam menjaga etika dan moralitas publik, dengan menegakkan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat Indonesia. Di tengah fenomena ketidakadilan atau penyalahgunaan kekuasaan, budaya ini bisa menjadi bentuk protes sosial yang memberi efek jera. Lebih dari itu, penerapan cancel culture dapat membantu mengurangi polarisasi sosial yang sering terjadi di masyarakat. Dengan semakin tingginya kesadaran digital, budaya ini juga berpotensi untuk mendidik masyarakat agar lebih kritis dalam memilih dan menyebarkan informasi, sehingga menciptakan ruang media yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Meskipun cancel culture di Indonesia belum sepenuhnya diterima, perlu disadari penerapannya sangat penting mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh penyebaran konten sensasional dan merugikan di media massa. Budaya ini berpotensi menjadi mekanisme pengingat bagi individu atau kelompok yang menyebarkan informasi palsu atau melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma sosial. Tidak semua budaya yang occidental berkonotasi buruk dan tidak terdapat dampak positif didalamnya. Cancel culture bisa mendorong masyarakat untuk lebih bertanggung jawab dalam berbagi informasi dan menegakkan akuntabilitas, sambil menjaga etika serta moralitas publik bahkan citra media massa Indonesia. Meskipun tantangan budaya dan pemahaman menjadi hambatan, jika diterapkan dengan bijak, cancel culture dapat menjadi alat yang efektif untuk mengurangi polarisasi sosial, memperbaiki perilaku publik, dan menciptakan ruang media yang lebih sehat dan bertanggung jawab kedepannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.