Infrastruktur Transportasi Belum Merata, Rakyat Menderita
Kebijakan | 2024-12-17 11:38:22
Infrastruktur transportasi merupakan infrastruktur vital yang menunjang aktivitas masyarakat. Infrastruktur transportasi yang memadai dapat memberikan banyak manfaat, salah satunya mempermudah mobilitas orang dan barang. Namun, pembangunan infrastruktur ini rupanya belum merata di berbagai pelosok negeri.
Jalan tanah yang menjadi akses utama menuju Kampung Bergang, Aceh Tengah berubah menjadi berlumpur setiap kali diguyur hujan, sehingga sulit dilalui oleh kendaraan maupun pejalan kaki. Untuk menuju ke pusat kota, mereka lebih memilih jalur Kabupaten Bener Meriah, karena dianggap lebih aman meskipun jaraknya lebih jauh (tribungayo, 18-11-2024).
Sebuah video viral menampakkan dua sosok bidan di Kampar, Riau yang harus naik alat berat untuk pergi ke Posyandu. Mereka tidak bisa melanjutkan perjalananya dengan sepeda motor karena jalanan berlumpur setelah terguyur hujan.
Jalan Raya Ponorogo-Pacitan di rumah kilometer 233, tepatnya di Desa Ploso, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, amblas sepanjang 50 meter akibat tergerus arus air Sungai Grindulu. Kerusakan ini menyebabkan hampir separuh badan jalan hilang (antaranews, 08-12-2024).
Rakyat Menderita
Fakta yang terpapar di atas adalah sedikit dari fakta yang terjadi di lapangan. Terkait jalanan yang rusak, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan terdapat 31,9% jalan di Indonesia rusak, dengan 15,9% di antaranya rusak berat. Total panjang jalan rusak di Indonesia mencapai 174.298 kilometer.
Data di atas menunjukan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan transportasi belum merata. Padahal, keberadaan infrastruktur yang memadai akan menunjang aktivitas masyarakat, misalnya penghubung antar wilayah, yang akan mendukung pengembangan ekonomi dan pembangunan. Selain itu, infrastruktur transportasi yang memadai ini merupakan urat nadi ekonomi masyarakat.
Jika infrastruktur transportasi tidak merata dan memadai maka masyarakat akan menderita. Ketidakmerataan pembangunan infrastruktur ini dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi di berbagai daerah dan terjadi ketidakstabilan ekonomi. Warga juga harus menempuh jarak yang jauh untuk mencapai pusat kota, aktivitas ekonomi seperti jual beli, bekerja, layanan jasa pun terhambat.
Selain itu, warga juga kesulitan untuk mengakses tempat pelayanan umum seperti sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Padahal, jika ada kondisi darurat, seperti sakit dan melahirkan, bermasalahnya infrastruktur transportasi yang tidak memadai beresiko pada keterlambatan dan bisa berakibat fatal.
Pembangunan ala Kapitalisme
Kondisi geografis yang sulit diakses, seperti daerah pegunungan, pulau-pulau terpencil, atau daerah rawan bencana alam dianggap sebagai penghambat pembangunan infrastruktur yang merata. Padahal, faktor tersebut merupakan faktor teknis yang bisa diselesaikan jika negara benar-benar mau bertanggung jawab mengurus rakyatnya.
Selain itu, kurangnya dana yang dimiliki pemerintah juga dianggap sebagai faktor penghambat pembangunan infrastruktur yang tidak merata. Padahal, bukan karena tidak ada dana, melainkan tidak ada dana yang diprioritaskan untuk kepentingan rakyat. Mirisnya, tak jarang warga harus melakukan iuran swadaya untuk melakukan perbaikan seadanya.
Perspektif riayah dalam sistem kapitalisme-liberalisme yang diterapkan hari ini memang tidak ada. Penguasa justru membuat kebijakan bukan atas kemaslahatan rakyat, melainkan seperti pedagang dengan pembeli, dengan hitungan untung rugi (materi). Sementara itu, pemerintah justru menelurkan kebijakan yang menguntungkan para pemilik modal yang telah mendanainya dalam kontestasi politik.
Infrastruktur Transportasi dalam Islam
Ketika Islam diterapkan secara kafah, kesehatan, pendidikan dan keamanan yang merupakan kebutuhan pokok publik, akan dijamin oleh negara.
Mekanisme tersebut dijalankan berdasarkan tuntunan hukum syarak dengan landasan akidah Islam hanya demi mengharapkan rida Allah Taala, dengan visi meriayah.
Transportasi publik adalah salah satu unsur yang penting dan merupakan urat nadi kehidupan. Karenanya, negara wajib menyediakan mode transportasi yang memadai sehingga tidak menyebabkan kesenjangan ekonomi, kecelakaan, kesengsaraan, hingga hilangnya nyawa karena keterlambatan pelayanan akibat transportasi yang tidak memadai.
Dalam negara yang menerapkan Islam secara kafah, negara akan menjalankan kewajiban mengelola langsung moda transportasi tanpa landasan untung rugi, melainkan atas dasar pelayanan.
Biaya yang digunakan untuk membangun pelayanan transportasi tentu sangat besar. Namun, negara bisa memenuhinya karena memiliki sumber pendapatan yang banyak, misalnya fai, ganimah, jizyah, kharaj, dll. Pengelolaan SDAE juga dilakukan oleh negara, bukan diserahkan pada individu maupun swasta. Dengan demikian, negara akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat, tak terkecuali dalam penyediaan layanan transportasi yang mudah, murah, nyaman dan aman.
Tinta emas peradaban Islam telah mencatat keberhasilan pengelolaan infrastruktur selama 13 abad lamanya. Salah satu contohnya adalah pembangunan jalur kereta api Hijaz (Hedjaz) yang dibangun pada masa kekhilafahan Usmaniyah. Jalur ini dibangun untuk mempermudah perjalanan haji dan memperpendek waktu perjalanannya dari yang sebelumnya 40 hari menjadi 5 hari saja. Selain itu, negara tidak hanya menyediakan jalan, lebih dari itu, memberikan fasilitas bagi pengguna jalan seperti tempat penginapan, masjid dan tempat penampungan air.
Sudah semestinya umat menyadari pentingnya hidup di dalam naungan Islam yang akan menerapkan Islam secara kafah dalam institusi negara. Hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh, infrastruktur transportasi dapat dibangun dengan merata dan berkualitas. Sebab, penguasa menyadari penuh bahwa kelak kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban.
Wallahu a'lam bisshowab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.