Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image AMELIA NURUL NAFIS

Anak SMP tidak Tahu Kepanjangan MPR? Kok Bisa?

Kabar | 2024-12-16 10:26:48
Gambar murid SMP ditanya pengetahuan dasar. (Sumber: Tiktok (@dino_wakkjess)

Baru-baru ini dunia maya dihebohkan dengan video eksperimen sosial yang dilakukan oleh salah satu akun tiktok @dino_wakkjess. Dalam video yang tengah beredar di masyarakat terbut, beberapa siswa SMP diberi pertanyaan seputar pengetahuan umum seperti apa kepanjangan dari MPR? Ibu kota Jawa Timur ada dimana? Dan berbagai pertanyaan yang seharusnya dapat dijawab dengan mudahnya bagi murid sekelas SMP. Namun, siapa sangka pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut begitu sukar bagi mereka untuk menjawab.

Fenomena ini mengherankan banyak khalayak khususnya netizen pengguna media sosial. Bagaimana bisa seorang siswa SMP tidak tahu jawaban dari sebuah pertanyaan sederhana? Apa yang sebenarnya terjadi dengan pendidikan kita sekarang? Memangnya tidak diajarkan? Pertanyaan-pertanyaan ini kerap menjadi polemik yang terjadi diantara masyarakat.

Kemajuan Teknologi Menjadi Sebab Kemunduran?

Di era dimana segala sesuatu dapat ditemukan dengan sekali tekan ternyata dapat mendatangkan ke burukan pula. Kemudahan dalam mencari tahu sesuatu justru menurunkan minat siswa untuk belajar dan mengingat apa yang mereka pelajari. Pemikiran seperti ‘ah, tinggal cari di google’ menjadi salah satu penyebab terjerumusnya para siswa yang tengah menuntut ilmu dalam jurang ketidak tahuan.

Sebagai bangsa yang tengah berproses untuk menjadi lebih maju, tentu kita tidak mungkin untuk menolak adanya perkembangan globalisasi. Justru dengan globalisasi dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi dengan lebih mudah dan menggenjot keingintahuan kita semua, terutama bagi siswa.

Kurikulum Merdeka Kurang Sesuai Dengan Bangsa

Kurikulum Merdeka adalah program pembelajaran dari kementrian pendidikan dan kebudayaan yang mengadaptasi dari system pendidikan di Inggris. Harapannya siswa dapat bersaing dan berkembang layaknya siswa di negara maju sana. Konsep sesungguhnya dair kurikulum ini ialah memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Tak hanya itu para tenaga pendidik juga diberikan kebebasan untuk memilih instrument pembelajaran apa yang akan digunakan, sehingga kegiatan belajar dapat menjadi lebih berfariatif dan tidak monoton.

Namun, menurut pakar pendidikan Universitas Negeri Surabaya, bapak Martiadi berpendapat bahwa kurikulum Merdeka kurang sesuai dengan negara Indonesia. Pasalnya kurikulum ini hanya mengadaptasi konsep pendidikan dari negara maju tanpa diolah kembali sesuai dengan keadaan dan kebutuhan bangsa.

“Karena memang kondisi, sistem politik, luas wilayah, pendidikan penduduknya, sarana dan kualifikasi guru berbeda. Oleh sebab itu jika kita ingin mengadopsi kurikulum dari negara yang maju kita memerlukan adaptasi dengan konteks ke-Indonesiaan.” Ujar beliau.

Selain itu guru-guru juga kesulitan dalam menentukan metode belajar yang baik karena mereka tidak memiliki acuan yang pasti tentang program Kurikulum Merdeka ini. Sehingga berimbas pada para siswa yang kehilangan arah dalam belajar.

Tidak Ada Ujian Nasional Menyusutkan Motivasi Siswa Untuk Belajar

Selain kebebasan dalam belajar, Kurikulum Merdeka juga membuat kebijakan untuk menghapus adanya Ujian Nasional. Maka dari itu agar siswa dapat melanjutkan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih jauh hanya memerlukan nilai rapor. Selanjutnya dalam kurikulum Merdeka tidak ada anak yang tinggal kelas, semua dipastikan untuk naik kelas setelah ujian semester akhir diselenggarakan.

Menurut bapak Martiadi Peniadaan UN malah menghilangkan tolak ukur nasional siswa. Sekolah-sekolah mulai membuat standar nilai mereka masing-masing terhadap anak didiknya. Tak ayal institut pendidikan memberikan para peserta didiknya dengan nilai yang tinggi yang kerap kali tidak sesuai dengan kemampuan siswa yang sebenarnya.

“Hal ini menjadi masalah karena sekolah-sekolah mulai tidak jujur lagi untuk menilai kemampuan anak sebenarnya. Mereka hanya berfikir pragmatis hanya agar anak bisa naik ke jenjang berikutnya tetapi dengan cara-cara yang tidak edukatif.” Ujar bapak Martiadi berpendapat.

Harapan Untuk Pemerintah

Menilik dari problem-problem yang muncul dalam penyelenggaraan program kurikulum Merdeka dapat menjadi refleksi bagi pemerintah untuk kedepannya. Kurikulum yang berlaku di Indonesia perlu untuk mengikut sertakan karakterisitik yang ber-Indonesia. Jangan sampai anak-anak bangsa malah lebih mengenal negara lain ketimbang negerinya sendiri.

Menurut bapak Martiadi, konsep kurikulum yang sudah apik dari negara maju ini tetap dapat kita terapkan di negara kit aini. Namun, tetap memasukkan karakteristik budaya bangsa. Sehinga kurikulum yang diselenggarakan dapat lebih sesuai dan lebih tepat untuk konteks keindonesiaan dan memerhatikan problem pendidikan yang dialami Indonesia.

Selain itu bapak Martiadi juga berpendapat bahwa Ujian Nasional bukan merupakan satu-satunya tolak ukur kemampuan siswa dan hal itu perlu disadari. Maka dari itu pemerintah perlu mereformasi kembali apakah UN masih perlu untuk diadakan ataukah dengan menggelar ujian nasional dengan bentuk yang lain. Sehingga sekolah memiliki patokan untuk menilai siswanya dan siswa tidak demotivasi dalam belajar karena memiliki tujuan dan target yang perlu dicapai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image