Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kyoko Anata Wiqrana

Perempuan dan Standar Kecantikan Modern di Indonesia dalam Perspektif Eksistensi dan Eksploitasi

Cantik | 2024-12-13 22:03:23

Standar kecantikan di Indonesia bukanlah hal yang statis. Ia terus berubah seiring dengan perkembangan zaman, masuknya pengaruh budaya asing, dan dominasi media sosial. Dari era di mana perempuan dipuja karena kulit sawo matang dan rambut hitam legam yang dianggap mencerminkan identitas lokal, kini masyarakat cenderung mendewakan kulit putih, tubuh langsing, serta fitur wajah ala Barat yang dianggap lebih modern. Fenomena ini tidak hanya menciptakan definisi kecantikan yang sempit, tetapi juga memengaruhi cara perempuan memandang diri mereka sendiri.

Di sisi positif, standar kecantikan modern sering kali dianggap sebagai dorongan bagi perempuan untuk merawat diri. Munculnya tren kecantikan seperti perawatan kulit, makeup, dan olahraga telah mengajarkan banyak perempuan untuk lebih peduli pada tubuh mereka. Media sosial juga membuka peluang bagi perempuan untuk berekspresi melalui gaya, menciptakan ruang bagi keberagaman selera dan kreativitas. Dalam banyak kasus, perempuan yang memenuhi standar ini merasa lebih percaya diri karena mendapatkan validasi sosial.

Namun, di balik semua itu, ada sisi gelap yang tidak bisa diabaikan. Standar kecantikan modern sering kali bersifat eksploitatif, menciptakan tekanan sosial yang besar bagi perempuan untuk memenuhi kriteria yang tidak realistis. Iklan-iklan produk kecantikan misalnya, secara halus menanamkan ide bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang memiliki kulit putih atau wajah mulus tanpa cela. Akibatnya, banyak perempuan yang merasa tidak cukup baik dengan penampilan alaminya. Hal ini tidak hanya menurunkan rasa percaya diri, tetapi juga mendorong mereka untuk mengeluarkan biaya besar demi "menyesuaikan diri," bahkan hingga melakukan tindakan ekstrem seperti operasi plastik atau pemakaian produk pemutih kulit yang berisiko.

Di Indonesia, situasi ini menjadi lebih kompleks karena adanya pengaruh budaya lokal yang sering kali mendikte peran perempuan. Perempuan yang tidak memenuhi standar kecantikan tertentu kerap mendapat stigma, baik di lingkungan sosial maupun profesional. Mereka dianggap kurang menarik, kurang layak, bahkan kurang "bernilai" dibandingkan mereka yang terlihat memenuhi standar yang berlaku.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari standar kecantikan ini? Jawabannya sering kali adalah industri kecantikan itu sendiri. Dengan menciptakan rasa kurang puas pada diri perempuan, mereka berhasil menjual produk dan layanan yang menjanjikan transformasi instan. Inilah bentuk eksploitasi yang paling nyata, di mana kebutuhan perempuan untuk diterima secara sosial dimanfaatkan demi keuntungan ekonomi.

Namun, harapan tidak sepenuhnya hilang. Semakin banyak perempuan yang mulai menyadari pentingnya mencintai diri sendiri di luar standar kecantikan yang ada. Gerakan body positivity dan kampanye self-love mulai berkembang, mendorong perempuan untuk menerima keunikan mereka. Meskipun perjalanan ini masih panjang, keberanian perempuan untuk mendefinisikan kecantikan versi mereka sendiri adalah langkah awal yang penting.

Pada akhirnya, standar kecantikan modern di Indonesia memiliki dua sisi yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia memberi ruang untuk berekspresi dan mengeksplorasi potensi diri. Namun, di sisi lain, ia juga menciptakan tekanan sosial yang mengarah pada eksploitasi. Menyeimbangkan keduanya adalah tantangan besar, tetapi dengan kesadaran kolektif, perempuan Indonesia dapat merayakan keberagaman mereka tanpa merasa terjebak dalam kotak definisi kecantikan yang sempit.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image