Peran Ahli Gizi dalam Penanganan Kasus Gizi Buruk dan Stunting
Edukasi | 2024-12-10 10:20:03Gizi kurang dan gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya dibawah rata-rata. Gizi kurang adalah kekurangan bahan-bahan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak, dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh gizi buruk biasanya terjadi pada anak balita dibawah usia 5 tahun. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita usia 12-59 bulan merupakan kelompok umur yang rawan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Pada usia ini kebutuhan mereka meningkat, sedangkan mereka tidak bisa meminta dan mencari makan sendiri dan seringkali pada usia ini tidak lagi diperhatikan dan pengaturannya diserahkan kepada orang lain sehingga risiko gizi buruk akan semakin besar. Anak yang gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan sehingga anak rentan terhadap penyakit infeksi.
Menurut WHO, Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Anak-anak dianggap terhambat pertumbuhannya jika tinggi badannya terhadap usia lebih dari dua standar deviasi di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama 3 tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017. Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%1 (WHO, 2015)
Terjadinya kondisi gizi buruk yang terjadi pada anak, dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah dari sang ibu. Kebiasaan seorang ibu hamil saat memilih makanan, kualitas makanan, kepercayaan, serta kebudayaan masyarakat dapat mempengaruhi kondisi anak dan proses pertumbuhan anaknya. Selain itu, praktik pemberian makanan yang erat kaitannya dengan kebiasaan masyarakat turun-temurun pada balita juga menjadi faktor terjadinya kondisi gizi buruk dan stunting. Hal ini sesuai dengan teori keperawatan berbasis budaya atau transcultural nursing yang menyebutkan bahwa budaya, nilai, keyakinan, akan mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang. Tradisi masyarakat dalam pemenuhan gizi yang kurang tepat dapat berakibat fatal bagi bayi dan anak. World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa lebih dari 50 persen kematian balita disebabkan karena kurang gizi, dan dua pertiga di antaranya terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat. (UNAIR News, 2019). Salah satu contoh kebiasaan yang masih sering dijumpai adalah memberikan makan nasi yang dilumat dengan pisang pada bayi sebelum waktunya dan anggapan bahwa anak gemuk adalah anak yang sehat.
Dalam permasalahan malnutrisi/gizi buruk dan stunting ini kontribusi ahli gizi sangatlah besar. Ahli gizi adalah sebuah profesi yang memiliki keahlian di bidang nutrisi dan gizi dalam makanan. Dalam penanganan permasalahan kesehatan ini, ahli gizi dapat memulai dengan melakukan pendekatan dan pendampingan untuk merubah pola pengasuhan ibu pada balitanya. Selain itu, ahli gizi juga dapat melakukan pemberdayaan kepada setiap keluarga mengenai pola pemberian makan untuk bayi sesuai dengan usianya. Fungsi pendamping dalam memberdayakan keluarga balita gizi buruk ini yang paling bisa dirasakan manfaatnya oleh keluarga dampingan adalah fungsi penguatan. Untuk itu diperlukan kerjasama dan keterlibatan dari semua pihak dalam program ini. dalam skala masyarakat, dapat menggerakkan masyarakat untuk mencegah dan menangani stunting bersama melalui berbagai kegiatan, seperti promosi kesehatan. Apabila anak tidak mendapatkan gizi yang dibutuhkan, maka mereka berisiko tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.