Mengingat Kembali Kasus Pembunuhan di Universitas Trunojoyo Madura
Info Terkini | 2024-12-10 08:45:01Kekerasan di lingkungan kampus kembali menjadi sorotan setelah terjadinya kasus tragis pembunuhan seorang mahasiswi di Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Peristiwa ini mencerminkan tantangan serius dalam menciptakan lingkungan yang aman di institusi perguruan tinggi. Sebagai institusi akademik, penting bagi kita untuk memahami akar masalah dan melakukan langkah strategis untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Menurut studi dari National Center for Education Statistics, lingkungan kampus dapat menjadi tempat rentan bagi berbagai bentuk kekerasan, terutama jika sistem pengamanannya tidak memadai atau ada faktor sosial-psikologis yang tidak teratasi (NCES, 2020).
Konflik interpersonal, stres akademik, hingga lemahnya budaya melapor kekerasan sering kali menjadi penyebab utama. Di Indonesia, data dari Komnas Perempuan menunjukkan, bahwa kekerasan terhadap perempuan di ruang publik, termasuk di lingkungan pendidikan, masih sering terjadi. "Minimnya dukungan kepada korban dan lemahnya regulasi internal kampus menjadi faktor yang memperburuk situasi ini," kata Maria Ulfah Anshor, komisioner Komnas Perempuan (Komnas Perempuan, 2022).
Dampak yang terjadi di perguruan tinggi, yaitu Kekerasan tidak hanya melukai korban secara fisik tetapi juga membawa dampak psikologis yang meluas. Riset yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan trauma mendalam, baik pada korban langsung maupun di lingkungan sekitar (APA, 2021). Mahasiswa yang menyaksikan atau mendengar kasus kekerasan cenderung mengalami kecemasan, menurunnya motivasi belajar, dan rasa tidak aman. Berikut beberapa Langkah untuk Memutus Rantai Kekerasan :
1. Penguatan Sistem Keamanan
Kampus harus mengadopsi langkah-langkah preventif seperti pemasangan CCTV di area strategis, peningkatan jumlah petugas keamanan, dan sistem pelaporan kekerasan yang mudah diakses. Studi dari Clery Act Compliance (2019) menunjukkan, bahwa peningkatan pengawasan dapat menurunkan risiko kekerasan hingga 30%.
2. Pendidikan tentang Pencegahan Kekerasan
Kesadaran adalah kunci. Kampus perlu mengadakan pelatihan dan seminar tentang manajemen konflik, kesehatan mental, serta perlindungan hak asasi. "Budaya sadar kekerasan harus dibangun sejak dini untuk menciptakan lingkungan yang saling mendukung," kata Dwi Ratna, pakar psikologi pendidikan.
3. Penyediaan Layanan Kesehatan Mental
Menurut WHO (2020), satu dari lima mahasiswa di seluruh dunia mengalami gangguan mental yang dapat memicu perilaku berisiko jika tidak ditangani secara tepat. Kampus perlu menyediakan layanan konseling yang proaktif dan mudah diakses untuk membantu mahasiswa mengelola tekanan psikologis.
4. Penegakan Aturan dan Hukum
Kampus harus memiliki kebijakan tegas terhadap kekerasan. Pelaku harus ditindak secara adil dan transparan sesuai hukum yang berlaku. Kerja sama dengan aparat kepolisian juga penting untuk memastikan kasus kekerasan ditangani secara tuntas.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa kekerasan tidak boleh diabaikan, bahkan di lingkungan yang dianggap aman seperti kampus. Sebagai masyarakat Perguruan Tinggi, kita perlu mengambil langkah bersama untuk menciptakan perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela, "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia." Dengan memastikan kampus aman, kita tidak hanya melindungi mahasiswa tetapi juga menjadikan pendidikan sebagai sarana yang mendukung pendidikan.
Referensi :
American Psychological Association (APA). (2021). The Impact of Violence on Mental Health in Academic Settings.
Komnas Perempuan. (2022). Laporan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia.
National Center for Education Statistics (NCES). (2020). Campus Safety and Security Data.
World Health Organization (WHO). (2020). Mental Health of University Students: A Global Perspective.
5 Clery Act Compliance. (2019). Enhancing Campus Security through Surveillance Technology.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.