Kata-kata Kasar: Racun yang Mendarah Daging
Gaya Hidup | 2024-12-10 01:03:04Eyu guys, taukah kalian saat ini kata-kata kasar sudah tak asing lagi di telinga kita, terutama pada kalangan Generasi Z dan Generasi Alpha. Peristiwa yang mencolok dan menarik perhatian ini perlu kita renungkan lebih dalam. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Indonesia pada Sensus Penduduk 2020, diperoleh jumlah keseluruhan penduduk Indonesia 27,94% merupakan Generasi Z dan 10,88% merupakan Generasi Alpha. Dari angka tersebut menunjukkan bahwa kedua generasi mendominasi di dalam populasi kita. Namun, dari data di atas mengungkapkan fakta menarik lainnya yaitu bahwa penggunaan kata-kata kasar telah menjadi tren yang mengkhawatirkan di kalangan generasi muda.
Ada beberapa fakor yang menjadi penyebab maraknya penggunaan kata-kata kasar di kalangan generasi muda. Pertama, di zaman serba digital ini dengan kemudahan mengakses berbagai platform media sosial yang menjadi ruang publik di mana segala jenis bahasa, termasuk bahasa kasar dan bebas sering dijumpai. Konten-konten yang viral atau biasa sering kita dengar dengan For Your Page (FYP) yang menggunakan bahasa kasar dan provokatif dapat mempengaruhi cara berkomunikasi pengguna. Kedua, lingkungan sekitar seperti teman, keluarga, maupun tokoh terkemuka yang sering mengggunakan kata-kata kasar dapat dicontoh oleh generasi muda. Ketiga, kurangnya pemahaman mereka mengenai etika berbahasa sehingga tidak menyadari dampak buruk bagi penggunaan kata-kata kasar.
Penggunaan kata-kata kasar seperti bibi, totol, pentol, jijing, goblek memiliki dampak yang sangat buruk. Selain menodai keindahan bahasa, penggunaan kata-kata kasar juga dapat merusak hubungan sosial. Dari kata-kata kasar yang diucapkan secara spontan dapat melukai perasaan orang lain. Perasaan yang dilukai ini nantinya dapat menimbulkan perselisihan, dendam, bahkan dapat memicu kekerasan. Kebiasan buruk ini jika berkelanjutan dapat membentuk pola pikir yang negatif. Mereka akan cenderung susah mengontrol emosi dan sulit berempati.
Masalah ini harus diatasi dengan diperlukannya upaya bersama dari berbagai pihak. Guru, tokoh publik, orang tua, dan masyarakat berperan aktif untuk menanamkan nilai-nilai sopan santun pada generasi muda. Media massa juga merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Perlu adanya selektif dalam penyajian konten yang berpotensi merusak bahasa. Kesadaran akan penggunaan bahasa yang baik perlu ditanamkan pada generasi muda agar mereka mengetahui dampak negatif dari penggunaan kata-kata kasar.
Mengutip dari sebuah pepatah “ Mulutmu Harimaumu” yang mempunyai makna bahwa segala perkataan yang terlanjur kita ucapkan apabila tidak dipikirkan dahulu akan dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Dan juga ada peribahasa lainnya yang sesuai dengan zaman sekarang yaitu “jarimu harimaumu” bermakna bahwa ketika kita mengetik atau menyebarkan informasi di media sosial, hendaklah kita memikirkannya terlebih dahulu, yang kita lakukan nantinya apakah memiliki dampak postif atau malah sebaliknya. Dengan demikian, marilah kita semua memilah kata-kata yang baik untuk membangun hubungan yang harmonis dan menciptakan masyarakat yang beradab.
Referensi:
Badan Pusat Statistik. (2021). Hasil Sensus Penduduk (SP2020). BPS. [online] Tersedia: https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2021/01/21/1854/hasil-sensus-penduduk--sp2020--pada-september-2020-mencatat-jumlah-penduduk-sebesar-270-20-juta-jiwa-.html [diakes pada 10 Desember 2024]
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.