Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lamhot Anugrah Napitupulu

Pelecehan Seksual: Siapa yang Salah Wanita atau Pria?

Curhat | 2024-12-09 14:54:44
ilustrasi pelecehan seksual (sumber :https://unair.ac.id/makna-kekerasan-seksual-bagi-korban/)

Sebenarnya, siapa yang harus disalahkan dalam setiap kasus pelecehan seksual? Apakah pria yang tak bisa menahan hasratnya, atau wanita yang "terlalu menggoda" dengan busana seksi yang dikenakan?

Di tengah dunia yang semakin ter polarisasi ini, kita sering mendengar pembelaan untuk salah satu pihak, seolah-olah salah satu dari mereka yang lebih "berdosa". Di era modern sekarang, berbagai kasus pelecehan seksual dapat kita temukan hampir di setiap sudut kehidupan kita manusia, dari ruang belajar hingga jalanan, dari dunia maya hingga dunia nyata. Menurut Pangkahila (1996), pelecehan seksual adalah bentuk perilaku yang berorientasi seks, yang di tujukan kepada orang lain, dan menimbulkan perasaan tidak senang dan merugikan. Pastinya tindakan pelecehan seksual merugikan kedua pihak antara pelaku maupun korban. Pelaku yang semakin menjadi – jadi melakukan berbagai pelecehan seksual dan korban dengan trauma yang mendalam di sepanjang hidupnya.

Korban pelecehan seksual biasanya enggan melaporkan apa yang dialaminya karena diancam oleh pelaku. Tekanan sosial dan budaya dari masyarakat yang turut memperburuk kondisi tersebut dengan menyalahkan cara berpakaian wanita yang dianggap “terlalu terbuka. Pandangan semacam ini seolah menganggap bahwa pakaian yang dikenakan perempuan bisa menjadi pemicu munculnya hasrat dari laki-laki, yang pada akhirnya dianggap dapat membenarkan kekerasan dan pelecehan seksual. Akibatnya, korban sering kali merasa terpojok dan tidak mendapat dukungan yang memadai, sehingga mereka memilih untuk diam dan menanggung penderitaan tersebut dalam kesunyian.

Namun, hal tersebut tidaklah benar, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden pada tahun 2018, menjelaskan sebagian besar korban pelecehan seksual tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual. Mayoritas pelecehan terjadi pada mereka yang memakai rok dan celana (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek/sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau celana ketat (1,89%). Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%). Bila dijumlahkan, terdapat 17% responden berhijab yang mengalami pelecehan seksual. Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa waktu korban mengalami pelecehan seksual mayoritas terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%). Oleh karena itu, berbagai paradigma yang berkembang di masyarakat dapat dikatakan salah karena mayoritas pelecehan seksual justru banyak terjadi pada korban yang menggunakan pakaian tertutup.

Banyak pihak berpendapat bahwa wanita yang mengenakan pakaian terbuka dianggap tidak mematuhi aturan agama yang dianut sehingga menjadi sasaran pelecehan seksual yang dilakukan oleh pria. Namun, pandangan semacam ini tidak dapat dibenarkan. Pakaian yang dikenakan oleh seorang wanita tidak seharusnya dihubungkan dengan tindakan pelecehan yang dialaminya. Setiap individu, baik wanita maupun pria, memiliki hak penuh untuk menentukan apa yang akan mereka kenakan tanpa takut menjadi sasaran kekerasan atau pelecehan. Menyalahkan korban atas pemilihan pakaiannya justru mengaburkan pemahaman bahwa pelecehan seksual adalah masalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang sepenuhnya bersalah pada pelaku, bukan pada cara berpakaian korban.

Paradigma tersebut harus diperbaiki dalam konsep pemikiran masyarakat, dengan begitu korban dari pelecehan seksual tidak terintimidasi dan tertekan atas berbagai tuduhan dari masyarakat. Masyarakat juga seharusnya memberi perhatian kepada korban pelecehan seksual agar berbagai tindakan pelecehan seksual dapat teratasi perlahan – lahan.

Pakaian terbuka bukanlah sebuah alasan bagi para pelaku untuk melakukan pelecehan seksual bagi korban. Menyalahkan korban berdasarkan pilihan pakaiannya adalah suatu bentuk ketidakadilan yang memperburuk situasi. Dalam hal ini, tidak ada pihak yang seharusnya disalahkan selain pelaku, yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas tindakannya. Semua pihak, baik pria maupun wanita, harus dibekali dengan moralitas dan pikiran yang positif, dengan kesadaran bahwa setiap individu berhak untuk merasa aman dan dihormati, tanpa terancam oleh pandangan atau perilaku orang lain. Keberhasilan mencegah pelecehan seksual terletak pada pendidikan tentang empati, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak asasi setiap orang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image