Homesick: Tantangan Emosional yang Dialami Mahasiswa Rantau
Edukasi | 2024-12-08 20:36:45Hidup di tanah asing, mengukir jejak sendiri, membawa mimpi dalam genggaman. Merantau untuk melanjutkan pendidikan merupakan sebuah pilihan yang penuh tantangan, mengajarkan bahwa hidup adalah pilihan untuk terus tumbuh, berani melangkah, dan memeluk ketidakpastian dengan pelukan penuh harapan. Bagi sebagian besar mahasiswa, terutama mahasiswa baru, perjalanan ini merupakan babak baru dalam hidup mereka, sebuah petualangan yang penuh dengan harapan dan tujuan. Namun, salah satu perasaan yang paling umum yang datang mengusik mahasiswa saat mengejar cita-cita mereka adalah ‘homesick’ atau rasa rindu akan kampung halaman. Sensasi ini terjadi secara alami dan dapat mempengaruhi semua orang, terutama di awal masa kuliah ketika kita terpisah dari keluarga dan lingkungan yang kita kenal.
‘Homesick’ bukan sekadar perasaan rindu, melainkan pergulatan psikologis yang kompleks. Penelitian untuk kalangan mahasiswa, Scopelliti dan Tiberio melaporkan bahwa 74% mahasiswa yang tinggal di Roma telah mengalami homesick (Scopelliti & Tiberio, 2010). Penelitian lain yang dilakukan oleh Guinagh ditemukan bahwa dari sampel 304 mahasiswa, sekitar 68% mahasiswa baru dan tahun kedua mahasiswa tingkat sarjana mengalami homesick. Beberapa mahasiswa mengalami gejala depresi ringan, kecemasan, dan kesepian. Tidur menjadi tidak teratur, nafsu makan menurun, dan motivasi belajar pun ikut tergerus. Beberapa masalah tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tekanan akademis hingga sulitnya beradaptasi dengan lingkungan baru. Paradoksnya, mereka yang memilih merantau adalah individu-individu pilihan. Mereka adalah generasi muda yang berani, yang rela meninggalkan zona nyaman demi mengejar cita-cita. Namun keberanian itu tidak lantas membuat mereka kebal terhadap rasa rindu.
‘Homesick’ bukanlah akhir dari segalanya. Saya percaya banyak mahasiswa yang telah mengembangkan strategi untuk mengelola perasaan ini seperti menyibukkan diri dengan kegiatan di kampus seperti berorganisasi, jalan-jalan mengelilingi lingkungan baru, berolahraga, komunikasi rutin dengan keluarga melalui video call, membuat jadwal kunjungan pulang, atau sekadar berbagi cerita dengan teman serantau menjadi terapi tersendiri. Teknologi memainkan peran penting. Media sosial dan aplikasi komunikasi membantu menjembatani jarak. Foto-foto keluarga, rekaman suara, bahkan resep masakan keluarga yang dibagikan menjadi obat rindu yang tak ternilai.
Menurut penelitian dan literatur, dukungan sosial yang kuat, baik dari teman-teman di tempat baru maupun dari keluarga di rumah, serta strategi coping yang efisien, dapat membantu mahasiswa rantau mengatasi ‘homesick’. Intervensi dini dan pendekatan holistic untuk mengatasi kerinduan akan kampung halaman sangat penting, tidak hanya untuk kesejahteraan emosional siswa, tetapi juga untuk kinerja akademik dan penyesuaian sosial di lingkungan baru mereka.
Pada akhirnya, merantau adalah pilihan paling intim untuk mencintai diri sendiri dengan cara yang paling ekstrim. Bukan sekadar perjalanan geografis, melainkan perjalanan spiritual menuju diri sejati. Memeluk kesulitan merupakan guru kehidupan yang paling jujur. Mahasiswa rantau menciptakan peta perjalanan yang unik, dengan jejak-jejak luka dan prestasi yang saling berdampingan. Memang transformasi tidaklah selalu indah. Ada malam-malam kelam dimana kerinduan akan rumah terasa mencekam, ketidakpastian menggerogoti keyakinan. Namun, justru dalam momen-momen itulah mahasiswa rantau belajar menemukan kekuatan sejati. Resiliensi bukanlah tentang tidak pernah jatuh, melainkan tentang bagaimana diri kita bangkit, berkali-kali, tanpa kehilangan semangat. Inilah definisi paling tulus dari cinta sejati pada diri sendiri, memilih pertumbuhan meski sulit, memilih keberanian meski dipenuhi ketakutan, memilih untuk tetap menulis puisi kehidupan dengan tinta kerinduan dan semangat yang tak terbendung.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.