Diabetes pada Anak: Ancaman Baru Setelah Stunting, Bagaimana Menghadapinya?
Info Sehat | 2024-12-08 13:25:16
Baru-baru ini kita mendengar tentang pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kaget banyak anak-anak menderita diabetes. Dia menekankan pentingnya deteksi dini dan penanganan diabetes pada anak-anak. Mengingat kekhawatiran terhadap peningkatan diabetes tipe 1 pada anak-anak maupun dunia.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga mencatat peningkatan kasus diababetes melitus tipe 2 pada anak-anak, yang sebagian besar disebabkan oleh kebiasaan konsumsi minuman manis yang berlebihan. Baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2, kita mendapatkan fakta bahwa dunia anak-anak sedang mendapatkan ancaman dari kedua penyakit tersebut.
Anak-anak di Indonesia selain bergulat dengan stunting mereka juga mendapatkan ancaman yang akan mendatang berupa diabetes. Studi dari Swithers, S. E., & Davidson, T. L. (2013) menyatakan kelompok pemanis buatan seperti aspartam, sakarin, dan sucralose mengandung kalori yang sangat rendah atau tidak ada kalori sama sekali, mereka dapat mengubah cara tubuh merespons makanan dan gula.
Penyebabnya adalah pemanis buatan ini tidak memberikan efek rasa kenyang seperti gula asli, yang dapat mendorong konsumsi makanan secara berlebihan. Selain itu, gula sintetis juga memengaruhi metabolisme glukosa dan berkontribusi terhadap peningkatan resistensi insulin, yang merupakan faktor risiko utama dalam perkembangan diabetes. Dengan meningkatnya perhatian terhadap ancaman diabetes pada anak-anak, regulasi kesehatan menjadi elemen krusial untuk melindungi generasi muda dari risiko penyakit ini.
Sebuah studi menarik yang dilakukan oleh Saeed, K., et al. (2022) membahas bagaimana hubungan antara ketidaksetaraan sosial-ekonomi dan peningkatan kasus obesitas serta diabetes pada anak-anak, dengan fokus pada negara-negara berpendapatan rendah. Penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor yang berperan dalam tren peningkatan diabetes pada anak-anak yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi yang kurang beruntung.
Pertama, keluarga dengan pendapatan rendah sering kali kesulitan untuk membeli makanan sehat. Sebaliknya, keluarga dengan pendapatan lebih tinggi memiliki kemampuan lebih baik untuk membeli makanan bergizi dan memanfaatkan layanan kesehatan yang lebih baik. Kedua, orang tua yang memiliki kecenderungan pendidikan yang lebih layak dapat berperan penting dalam membentuk pola makan hidup sehat.
Ketiga, Di banyak negara berpendapatan rendah, keterbatasa terhadap akses fasilitas medis atau kurangnya pemahaman mengenai gejala diabetes pada anak-anak menghambat deteksi dini dan penanganan yang tepat, yang dapat memperburuk kondisi anak. Keempat, keluarga miskin sering kali mengonsumsi makanan yang lebih murah namun tidak bergizi, seperti makanan olahan yang tinggi kalori, gula, dan lemak jenuh.
Konsumsi makanan tidak sehat ini meningkatkan risiko obesitas dan diabetes tipe 2 pada anak-anak.Peningkatan risiko penyakit ini tentunya telah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat. Regulasi kesehatan di Indonesia memiliki peranan penting dalam penanganan kasus diabetes yang semakin melonjak. Sudah menjadi tanggung jwab pemerintaah untuk memastikan kesejahteraan anak di Indonesia, termasuk dalam menangani kasus diabetes yang semakin melonjak. Pasal 46 dan 47 dari UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 menekankan pentingnya upaya pencegahan penyakit tidak menular melalui promosi kesehatan dan pengendalian faktor risiko, seperti konsumsi gula berlebih dan pola makan tidak sehat.
Upaya ini melibatkan kampanye edukasi gizi yang dapat dilaksanakan melalui sekolah dan komunitas untuk mendorong kebiasaan sehat sejak dini. Namun, langkah preventif ini tidak cukup tanpa diimbangi oleh kewajiban pemerintah yang tercantum dalam Pasal 48, yaitu memastikan akses fasilitas kesehatan yang memadai bagi anak-anak yang sudah terdampak oleh penyakit kronis seperti diabetes. Kombinasi dari promosi kesehatan dan penyediaan layanan medis yang optimal menjadi pendekatan menyeluruh yang diperlukan untuk mengatasi ancaman diabetes pada anak-anak secara efektif.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menegaskan bahwa program BPJS Kesehatan harus mencakup layanan bagi penyakit kronis seperti diabetes. Akan tetapi, implementasi ini sering menghadapi tantangan, seperti kurangnya tenaga kesehatan yang memahami deteksi dini diabetes pada anak-anak di daerah terpencil. Ketersediaan tenaga kesehatan yang dapat menjangkau daerah tertinggal dan terluar juga menjadi kunci dalam mengatasi penanganan diabetes serta pendeteksian dini juga dapat dilakukan. Namun, di balik regulasi yang telah dirancang dengan baik, berbagai tantangan dalam implementasinya menjadi penghambat utama untuk mencapai hasil yang optimal. Tantangan ini tidak hanya mencakup aspek teknis seperti ketersediaan fasilitas kesehatan tetapi juga mencakup perubahan perilaku masyarakat dan koordinasi lintas sektor yang efektif.Kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghadapi penyakit diabetes dapat menjadi sorotan dewasa ini.
Masyarakat masih belum paham tentang pentingnya menerapkan pola hidup sehat. Menurut CISDI Health Outlook 2023, kurangnya edukasi dan sosialisasi tentang gaya hidup sehat menyebabkan masyarakat Indonesia cenderung memilih makanan cepat saji dan kurang aktivitas fisik. Hal ini berdampak pada meningkatnya angka obesitas dan penyakit tidak menular, termasuk diabetes dan hipertensiLaporan dari USAID menunjukan desentralisasi sistem layanan kesehatan di Indonesia menciptakan ketidakmerataan akses dan kualitas pelayanan menjadikan proses pendeteksian dini terhadap penyakit diabetes semakin sukar.
Dengan lebih dari 6.000 pulau berpenghuni, banyak penduduk di daerah terpencil kesulitan mengakses fasilitas kesehatan yang memadai. Faktor seperti kemiskinan, infrastruktur yang lemah, dan jarak geografis memperburuk masalah ini. Misalnya, hanya terdapat sekitar 0,6 dokter per 1.000 penduduk di Indonesia, jauh di bawah standar WHO yang merekomendasikan rasio 1:1.000. Meski terdapat lebih dari 1,26 juta tenaga kesehatan per Januari 2023, jumlah dokter masih tergolong minim, dengan hanya 151.095 dokter yang tersedia secara nasional. Ketimpangan distribusi tenaga kesehatan memperburuk akses di daerah tertinggal menjadi PR tersendiri bagi negara kita untuk menjadi layanan kesehatan yang layak, tenaga medis di Indonesia terlalu terpusat pada satu wilayah saja.
Diabetes pada anak-anak tidak hanya menjadi ancaman serius bagi kesehatan mereka tetapi juga membawa konsekuensi sosial-ekonomi yang signifikan bagi keluarga. Kondisi ini berdampak lebih besar pada keluarga dengan latar belakang ekonomi lemah, di mana biaya pengobatan yang tinggi dan kebutuhan perawatan jangka panjang sering kali menjadi beban yang tidak terelakkan. Studi Saeed, K., et al., yang menunjukkan bagaimana ketidaksetaraan ekonomi memperburuk risiko diabetes, biaya pengobatan yang juga tergolong tidak murah, serta layanan kesehatan yang masih belum menjangkau di daerah tertinggal dan terbelakang. Produktivitas keluarga juga akan terganggu apalabila terdapat salah satu dari anak mereka terjangkit diabetes.
Pada dasarnya untuk menghadapi ancaman diabetes pada anak-anak, langkah strategis diperlukan untuk meningkatkan layanan kesehatan yang tidak hanya berfokus pada pengobatan tetapi juga pada pencegahan dan penjaminan kesejahteraan keluarga. Ekonomi keluarga yang stabil menjadi kunci utama, mengingat kemampuan finansial menentukan akses terhadap makanan sehat, layanan medis, dan pendidikan kesehatan. Di sisi lain, kekurangan tenaga kesehatan yang merata, khususnya di daerah tertinggal, tidak bisa diselesaikan dengan sekadar mengimpor tenaga medis.
Solusi yang lebih berkelanjutan melibatkan penguatan pendidikan kedokteran dan peningkatan insentif bagi tenaga kesehatan lokal untuk bekerja di daerah terpencil. Dengan mengintegrasikan pendekatan ini, Indonesia dapat membangun sistem kesehatan yang lebih inklusif, memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk tumbuh sehat dan terbebas dari ancaman penyakit kronis seperti diabetes. Akhirnya, keberhasilan upaya ini terletak pada kolaborasi semua pihak, baik pemerintah, komunitas, maupun individu, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan anak-anak sebagai investasi masa depan bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.