Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image nazira aqilla

Tragedi Femisida: Mengapa Perempuan Masih Rentan di Negeri Sendiri?

Hukum | 2024-12-02 20:57:20

Kasus kriminalitas terhadap perempuan di Indonesia terus mencatatkan angka yang memprihatinkan. Salah satu bentuk ekstremnya adalah femisida. Istilah ini mungkin terdengar asing di telinga pembaca. Menurut Komisi Nasional Perempuan, femisida merujuk pada pengertian yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan motivasi kebencian berbasis gender, terutama pada perempuan. Fenomena ini bukan hanya persoalan individu, tetapi cerminan kegagalan sistem dalam melindungi setengah populasi bangsa. Di tengah upaya mendorong kesetaraan gender, data menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia masih sangat rentan menjadi korban kejahatan.

Menurut laporan Komnas Perempuan, pada 2023, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini meliputi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, hingga kasus femisida. Dalam Global Gender Gap Report 2022, Indonesia berada di peringkat 85 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender, menandakan masih lemahnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Kondisi ini diperparah oleh stigma sosial yang sering kali menyalahkan korban dan minimnya dukungan hukum serta psikologis.

Contoh kasus terbaru pada 2024 menunjukkan bahwa femisida tetap menjadi ancaman nyata. Pada September 2024, di Ternate, Maluku Utara, seorang ayah membakar anak perempuannya yang berusia 13 tahun hidup-hidup hanya karena bermain di luar rumah tanpa izin. Korban masih dirawat intensif akibat luka bakar dan trauma psikologis. Sementara itu, kasus vonis bebas untuk Ronald Tannur—yang didakwa membunuh kekasihnya, Dini, setelah serangkaian kekerasan—menggarisbawahi lemahnya penegakan hukum dan minimnya sensitivitas gender dalam sistem peradilan Indonesia .

Kejahatan terhadap perempuan membawa dampak multidimensional, baik bagi individu korban maupun masyarakat secara luas. Trauma yang dialami korban bisa berupa gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi, hingga rasa takut yang berkepanjangan. Lebih jauh, trauma ini dapat menghambat produktivitas korban dan memengaruhi hubungan sosial mereka. Secara sosial, tingginya angka kekerasan terhadap perempuan menandakan adanya ketidakseimbangan relasi kuasa dalam masyarakat, yang memperkuat budaya patriarki dan merugikan perempuan secara struktural.

Hukum Indonesia sebenarnya telah menyediakan landasan untuk melindungi perempuan dari kejahatan. Pasal 285 KUHP, misalnya, mengatur tentang pemerkosaan, sementara Pasal 351 KUHP melindungi dari penganiayaan fisik. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjadi payung hukum untuk melindungi korban KDRT. Namun, implementasi aturan-aturan ini sering kali menghadapi kendala, seperti kurangnya pemahaman aparat penegak hukum, minimnya bukti, dan enggannya korban melapor akibat tekanan sosial.

Mengatasi masalah ini memerlukan beberapa upaya pendekatan yang lebih holistik. Pertama, pemerintah perlu memperkuat perlindungan hukum melalui revisi undang-undang yang lebih spesifik terkait kekerasan berbasis gender. Kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 2022 adalah langkah progresif yang patut diapresiasi. Namun, implementasi aturan ini harus didukung oleh pelatihan kepada aparat penegak hukum dan peningkatan kesadaran masyarakat.

Kedua, pendampingan korban harus menjadi prioritas. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menyediakan layanan psikologis dan hukum yang mudah diakses. Fasilitas rumah aman atau shelter perlu diperbanyak di berbagai daerah agar korban merasa terlindungi dan dapat memulai pemulihan secara mental maupun fisik.

Ketiga, upaya edukasi masyarakat harus digencarkan. Mengubah budaya patriarki yang menjadi akar masalah memerlukan waktu dan komitmen. Edukasi tentang kesetaraan gender, hak-hak perempuan, dan pentingnya menghormati individu harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal. Kampanye publik juga dapat membantu menghapus stigma terhadap korban dan mendorong lebih banyak perempuan untuk berani melapor.

Kasus kejahatan terhadap perempuan, khususnya femisida, tidak hanya melukai korban, tetapi juga mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Tingginya angka kekerasan ini adalah alarm bagi kita semua bahwa ada ketidakadilan struktural yang perlu segera diatasi. Sudah saatnya negara, masyarakat, dan individu berperan aktif menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi perempuan. Perlindungan terhadap perempuan adalah investasi bagi masa depan bangsa yang lebih adil dan bermartabat.

Penulis:

Nazira Aqilla Hirmadiani

Program Studi Kedokteran 2024

Universitas Airlangga

Referensi:

  1. Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik gender dan anak: Data dan indikator kesetaraan gender di Indonesia 2022. Jakarta: BPS.
  2. Komnas Perempuan. (2023). Catatan tahunan Komnas Perempuan: Kekerasan terhadap perempuan. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
  3. Setyowati, T., & Hartanto, W. (2020). Implementasi hukum pidana dalam kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Jurnal Hukum dan Keadilan, 8(1), 101-115.
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
  5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
  6. World Economic Forum. (2022). Global Gender Gap Report 2022. Retrieved from https://www.weforum.org/reports/global-gender-gap-report-2022
  7. Yusuf, M., & Lestari, S. (2021). Dampak psikologis kekerasan berbasis gender: Studi kasus pada perempuan korban KDRT. Jurnal Psikologi Indonesia, 10(2), 45-59.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image