Pernikahan: Antara Impian dan Ketakutan di Mata Gen Z
Lainnnya | 2024-12-02 19:10:18Pernikahan Sebagai Komitmen Seumur Hidup
Pernikahan sebagai tahap hidup yang positif nyatanya mulai dikesampingkan dan dinilai berbeda oleh Generasi Z. Pernikahan merupakan peristiwa yang diidamkan mayoritas di mana seseorang bersatu dengan yang dicintainya. Kehendak untuk melangsungkan pernikahan yang dipandang baik secara normatif tersebut nyatanya tidak selalu dianggap positif. Fenomena ketidakinginan untuk menikah tentu menjadi masalah, padahal hanya dengan pernikahan yang dapat memberikan perlindungan secara hukum sekaligus cara agar sebuah hubungan kehidupan berpasangan dapat diterima dan diakui secara sosial oleh masyarakat.
Perspektif Gen Z Tentang Komitmen Seumur Hidup
Fenomena ketidakinginan menikah pada Generasi Z di Indonesia terjadi karena beberapa faktor, antara lain karir, pendidikan, gaya hidup, ekonomi. Selain itu anggapan bahwa pernikahan akan membuat batasan yang cukup besar dalam kehidupan. Alasan finansial dan bayangan perceraian juga menjadi dasar alasan untuk memilih tidak menikah. Selain itu, bagi laki-laki pilihan untuk tidak menikah merupakan pilihan yang tepat, mengingat tanggung jawab yang dibebankan kepada suami nantinya. Sehingga banyak pertimbangan yang dipikirkan dan tak hanya berdasarkan keputusan yang singkat.
Yang paling banyak saya temui di sekitar lingkungan saya yaitu karena faktor karir. Generasi Z cenderung ingin lebih fokus pada karir mereka sebelum menikah, karena mereka percaya bahwa karir yang baik dapat memberikan kehidupan yang lebih stabil dan bahagia di masa depan. Kekhawatiran mengenai stabilitas finansial juga menjadi pertimbangan penting. Biaya hidup yang semakin tinggi, ketidakpastian ekonomi, serta beban biaya pendidikan membuat beberapa orang merasa belum siap untuk berkomitmen secara finansial dalam pernikahan. Sehingga pernikahan bukan menjadi hal yang diinginkan oleh Generasi Z
Selain itu, adanya faktor trauma dengan masa lalu. Trauma dengan masa lalu dalam hubungan asmara, terutama melibatkan pasangan juga dapat memengaruhi pandangan dan keputusan seseorang mengenai pernikahan di masa depan. Alasan mengapa rasa ragu atau ketakutan dari pengalaman hubungan yang buruk bisa menjadi pertimbangan untuk menikah diantaranya, takut mengulang kesalahan, ketidakpercayaan terhadap pasangan, perasaan tidak layak menerima cinta, pandangan yang rusak tentang hubungan.
Faktor Keinginan Untuk Menikah
Namun, meskipun ada beberapa faktor yang mempengaruhi fenomena tidak ingin menikah pada Generasi Z, masih ada juga faktor-faktor yang membuat mereka ingin menikah secepatnya. Faktor pertama adalah keinginan untuk memiliki pasangan hidup dan membangun keluarga. Faktor kedua adalah lingkungan sosial, di mana banyak teman atau saudara mereka sudah menikah dan memiliki keluarga, sehingga menimbulkan keinginan untuk melakukan hal yang sama.
Pengaruh “Marriage is Scary”
Fenomena “Marriage is scary” dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat, terutama Generasi Z. Media sosial memiliki dampak yang kuat terkait pandangan orang-orang tentang pernikahan itu menakutkan. Melalui media sosial, Generasi Z kerap mendapatkan informasi terkait narasi negatif dari pernikahan. Ketika seseorang terus terpapar informasi tersebut, maka akan membuat orang tersebut semakin yakin untuk tidak menikah atau memilih lajang. Apabila Generasi Z menghindari adanya pernikahan secara terus menerus, akan berdampak pada krisis penduduk.
Pernikahan Di Mata Agama
Dalam sudut pandang agama, pernikahan memiliki kedudukan yang sangat penting dan sakral. Bahkan, pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam kehidupan. Selain dinilai sebagai ibadah, pernikahan juga merupakan perjanjian suci yang menjadi sebab kehalalan perempuan dan laki-laki menyalurkan kebutuhan biologisnya. Melalui ikatan pernikahan seseorang dapat memperoleh keturunan. Pernikahan dalam Islam dipahami sebagai sebuah kepentingan yang bersifat dunia akhirat.
Keputusan Melakukan Pernikahan
Penting diingat setiap individu memiliki jalannya masing-masing dalam mencapai kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup. Jangan terburu-buru membuat keputusan, beri waktu untuk diri sendiri sembuh dan membangun keyakinan lagi dalam hubungan atau pernikahan. Selain itu, perlu mengembangkan sikap dan pandangan positif terhadap pernikahan, belajar hubungan yang sehat dengan pasangan hidup. Di harapkan masyarakat dan keluarga perlu membuka ruang untuk berdiskusi tentang perubahan pandangan terhadap pernikahan tanpa stigma, menghormati pilihan individu. Setiap individu memiliki hak untuk memilih jalannya masing-masing dalam mencari kebahagiaan.
Artikel Opini
Jingga Juniartha Untung, Mahasiswa Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Universitas Airlangga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.