Kesultanan Bulungan: Akhir Kelam di Bumi Kalimantan Utara
Sejarah | 2024-12-02 19:00:46Kesultanan Bulungan, sebagai salah satu kerajaan terkemuka di Kalimantan Utara, memainkan peran penting dalam sejarah kawasan ini sebelum menghadapi akhir yang tragis pada pertengahan abad ke-20. Artikel ini membahas perjalanan Kesultanan Bulungan, dari masa kejayaannya hingga keruntuhannya yang disebabkan oleh dinamika perpolitikan nasional.
Mengenal Kesultanan Bulungan
Kesultanan Bulungan atau Bulongan merupakan kesultanan yang pernah berdiri di wilayah Republik Indonesia dan Federasi Malaysia, tepatnya berada di wilayah provinsi Kalimantan Utara dan Sabah, yang meliputi wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan, Tawau, Kalabakan, dan sebagian Semporna. Kesultanan Bulungan didirikan pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir yang bergelar Amirul Mukminin (memerintah 1731-1777) dan raja terakhir bernama Datuk Tiras yang bergelar Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin (memerintah 1931-1958).
Sejarah Kesultanan Bulungan
Secara etimologi Kesultanan Bulungan, menurut Datuk Abdul Hamid Bin Datuk Bendahara Paduka Raja, kata Bulungan berasal dari kata Bulutengon (Bambu) yang dikarenakan terdapat bolong-bolong, maka muncul kalimat jamak Bulongan atau Bulungan.
Semula wilayah Bulungan dihuni oleh suku-suku yang menganut aliran kepercayaan animisme, kemudian cikal bakal munculnya Kesultanan Bulungan bermula dari tahun 1561, yaitu kedatangan putra kerabat raja Brunei yang beragama Islam bernama Datuk Lancang dan dikawal oleh panglima Datuk Laksana ke Desa Baratan dengan tujuan untuk menikahi Asung Luan. Selanjutnya Datuk Lancang mendirikan kerajaan dan mengangkat dirinya sebagai seorang raja. Dari sinilah awal mula terbentuk dan berdirinya Kerajaan Bulungan.
Pada tahun 1731, Wira Amir menggantikan sang ayah yang bernama Wira Digadang dengan gelar Sultan Amirul Mukminin dan mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Bulungan dengan menjadikan Islam sebagai agama resmi dan untuk pengajaran keagamaan, didatangkan seorang ulama besar dari wilayah Jazirah Arab yang bernama Syekh Abdul Rahman Bilfaqih.
Pada tahun 1769, Kesultanan Bulungan mengalami perpindahan dari Desa Baratan ke Desa Salimbatu, dengan tujuan untuk memudahkan dalam berhubungan dengan kerajaan atau kesultanan lainnya. Jejak Kesultanan Bulungan di Desa Salimbatu terlihat dari adanya makam para penyebar ajaran Islam, yaitu Said Ahmad Al-Maghribi (wafat 1832), Said Abdullah Bilfaqih (wafat 1882), dan Said Ali Alwi Idrus (wafat 1900).
Kesultanan Bulungan memiliki sumber daya alam yang melimpah, di antaranya yaitu minyak bumi dan gas alam, sehingga pada tahun 1834, Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Kesultanan Bulungan dan membuat perjanjian pada tanggal 27 September 1834 dengan dalih untuk menjamin keamanan wilayah Kesultanan Bulungan. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Sultan Muhammad Alimuddin Amirul Mukminin Kaharuddin I (memerintah 1817-1861) dan sejak saat itu, Kesultanan Bulungan dijajah oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada tahun 1873, Sultan Khalifatul Adil (memerintah 1873-1875) memindahkan Kesultanan Bulungan dari Desa Salimbatu ke Tanjung Palas dengan didirikannya Istana Tanjung Palas.
Pasca diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Kesultanan Bulungan aktif dalam mengikuti perundingan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, dikarenakan Belanda ingin menjajah kembali. Pada tanggal 15 April 1946, Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin (memerintah 1931-1958) mengutus Datuk Muhammad Gelar Bendahara Paduka Raja untuk melakukan perundingan dengan Belanda di Malino, Sulawesi Selatan, tetapi gagal. Setelahnya Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin kembali mengutus Datuk Muhammad Gelar Bendahara Paduka Raja ke Yogyakarta untuk bertemu dengan Presiden Sukarno dan menyatakan bahwa Kesultanan Bulungan berdiri di belakang Pemerintah Republik Indonesia.
Pasca pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda sempat membujuk Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin untuk bergabung dengan Republik Indonesia Serikat atau RIS bentukan Belanda, tetapi sultan menolak ajakan tersebut. Pada tahun 1950, dengan resmi Kesultanan Bulungan menyerahkan kedaulatannya kepada Republik Indonesia dan pasca penyerahan kedaulatan tersebut, didirikanlah monumen di sekitar area Istana Tanjung Palas dan diadakan upacara pengibaran bendera merah putih serta menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Oleh Pemerintah Republik Indonesia, Kesultanan Bulungan diberikan sebuah otonomi khusus sebagai daerah istimewa Swapraja, yaitu daerah istimewa setingkat kabupaten dengan diangkatnya Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin sebagai kepala daerah Swapraja Bulungan. Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin wafat pada tahun 1958 dan sejak saat itu Kesultanan Bulungan sudah tidak ada sultan dan para kerabat sepakat untuk mengangkat Datuk Muhammad Gelar Bendahara Paduka Raja sebagai pemangku sultan hingga wafat pada tahun 1962.
Akhir Kelam Kesultanan Bulungan
“Waktu itu saya masih kecil, baru berusia 10 tahun. Saya melihat dengan mata kepala sendiri pembakaran itu. Tentara menculik dan membunuh kerabat istana,” ucap Ibrahim sebagaimana dikutip dari Lentera Timur edisi 26 Juni 2012.
“Peristiwa itu tidak akan kami lupakan. Tuhan yang akan membalasnya,” ucap Ibrahim secara lirih.
Pria dengan nama lengkap Ibrahim Bin Datuk Bendahara menjadi salah satu saksi hidup saat rombongan prajurit Tentara Nasional Indonesia atau TNI membakar istana Kesultanan Bulungan (Tanjung Palas) di Kalimantan bagian utara, dekat dengan perbatasan Malaysia, pada tanggal 23-24 Juli 1964.
Peristiwa tragis tersebut dikenal dengan nama Tragedi Bultiken yang merupakan akronim dari Bulungan, Tidung, dan Kenyah, yaitu tiga suku utama yang sejak dahulu kala telah menghuni wilayah Kesultanan Bulungan tersebut.
Kronologi Tragedi Bultiken
Dikutip dari buku Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa karya Ali Amin Bilfaqih, pada tanggal 2 Juli 1964, Kesultanan Bulungan kedatangan tamu dari pejabat militer Kodam Mulawarman, yaitu Simatupang dan Buntaran.
Kedatangan mereka dianggap aneh, karena kedua tamu tersebut datang secara baik-baik dan terlibat obrolan santai dengan Sultan Bulungan, bahkan obrolan tersebut diselingi dengan tawa penuh keakraban. Setelah beberapa lama berbincang, Simatupang dan Buntaran pamit mengundurkan diri, kemudian sang sultan berkenan untuk mengantar kedua tamunya tersebut sampai ke tangga istana. Selepas tengah malam menjelang keesokan hari berikutnya, terjadilah operasi penyerbuan yang diikuti oleh aksi pembantaian terhadap bangsawan Kesultanan Bulungan.
Pada waktu dini hari tanggal 3 Juli 1964, puluhan tentara bersenjata lengkap dari Kodam Mulawarman berdatangan dan mengejutkan penduduk Bulungan yang hendak shalat Subuh. Tepat pukul 6 pagi, warga dikumpulkan dan tampillah Sumina Husain, komandan Kodim 0903 Tanjung Selor, dengan menyerukan, “para bangsawan Bulungan ingin memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah,” sebut Sumina Husain di hadapan warga yang telah berkumpul.
Dikutip dari Lentera Timur pula, bahwa seruan Sumina Husain tersebut kembali ditegaskan oleh Simatupang, salah satu yang semalam bertamu di istana Bulungan. Sejumlah warga yang melihat Simatupang dan Buntaran bertamu dan diterima baik oleh Sultan Bulungan tidak percaya perihal tudingan tersebut. Namun, aparat tetap bersikeras dan bahkan Simatupang memerintahkan salah satu anak buahnya untuk menembak mati seorang tokoh adat yang menyangkal tuduhan tersebut.
Pasca tragedi pada tanggal 3 Juli 1964, beberapa hari setelahnya terjadi aksi lanjutan. Istana ditutup paksa, harta bendanya dijarah, dan satu demi satu bangsawan Bulungan tiba-tiba menghilang (termasuk sang sultan), ditangkap, dan dibunuh, padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu apa-apa.
“Kerabat kami satu per satu diculik. Ada yang dibunuh. Setidaknya ada 58 orang korban keganasan tentara,” ucap Ibrahim.
Menurut laporan Koran Kaltim edisi 14 Maret 2013, bahwa setidaknya terdapat 87 orang yang menjadi korban tragedi tersebut dan 37 orang di antaranya tewas. Dikutip dari buku East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy karya Burhan Djabier Magenda, bahwa pada tanggal 24 Juli 1964, Panglima Kodam Mulawarman Suhario memerintahkan tentara untuk menangkap seluruh bangsawan Bulungan. Mereka dibagi dalam beberapa beberapa grup. Seluruh bangsawan laki-laki dimasukkan ke dalam satu perahu, sedangkan perempuan dan anak-anak dimasukkan ke perahu yang lain. Rencana mereka akan dibawa ke Tarakan dan selanjutnya dibawa ke Balikpapan. Namun, rencana tersebut dibatalkan dan terdapat 30 orang yang akhirnya dieksekusi oleh prajurit dari Kodim 0903 Tanjung Selor, kemudian mayat mereka dilempar begitu saja ke lautan.
Pada waktu kejadian, seluruh penduduk diperintahkan untuk turut serta membantu para tentara untuk membakar dan menghancurkan Istana Tanjung Palas dengan ancaman bahwa jika ada warga yang kedapatan tidak mengikuti arahan dari tentara, maka akan dianggap melawan perintah negara dan dicap sebagai pemberontak.
Benarkah Adanya Tuduhan Makar Tersebut?
Belum terungkap dengan pasti bagaimana rincian tuduhan makar yang dituduhkan TNI terhadap Kesultanan Bulungan. Yang jelas, sebenarnya kerajaan yang telah berdiri sejak abad ke-16 tersebut tidak pernah mencari masalah karena tidak memiliki angkatan perang yang kuat. Bahkan, pada masa pendudukan kolonial Belanda pun, Kesultanan Bulungan memilih perjanjian damai dengan Belanda.
“Bulungan dan Belanda itu bersahabat. Kami tidak berperang melawan Belanda,” ucap Jimmy Nasrun, tokoh pemuda Bulungan sekaligus pengajar di salah satu perguruan tinggi di Kalimantan Utara sebagaimana dikutip dari Lentera Timur edisi 19 Juni 2012.
Apa yang sebenarnya terjadi terkait tuduhan makar yang dilontarkan oleh TNI tersebut masih simpang-siur. Dugaan kedekatannya dengan Belanda di masa pendudukan kolonial bisa dianggap sebagai persoalan framing terhadap citra Kesultanan Bulungan pasca Indonesia merdeka. Berkaitan dengan faktor wilayah yang tidak jauh dengan Federasi Malaysia bisa menjadi indikator, meskipun Kesultanan Bulungan lebih memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Padahal, saat masih berjaya, wilayah Kesultanan Bulungan meliputi daerah Kalimantan Utara, Sabah, dan pulau Sipadan serta Ligitan, yang saat ini menjadi bagian dari Federasi Malaysia.
Dikutip dari buku East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy karya Burhan Djabier Magenda, disebutkan bahwa Panglima Kodam Mulawarman Suhario menerima dokumen yang memperlihatkan indikasi keberpihakan Kesultanan Bulungan kepada Malaysia saat gencar-gencarnya kampanye Ganyang Malaysia, seiring dengan banyaknya anggota keluarga Kesultanan Bulungan yang bepergian ke Sabah menjadi dalih penguat.
Kunjungan-kunjungan tersebut sebenarnya bisa dianggap wajar, hal ini dikarenakan keluarga Kesultanan Bulungan memiliki relasi kekeluargaan dengan Kesultanan Sabah, sehingga konteks konfrontasi dengan Federasi Malaysia membuat tafsir yang menjadi lentur untuk tidak mengatakan dibuat secara post-factum.
Menurut Burhan Djabier Magenda, Markas Besar Angkatan Darat tidak sepenuhnya setuju terhadap tindakan brutal yang dilakukan oleh Kodam Mulawarman, tetapi sikap yang ditunjukkan cenderung diam dan tidak mengambil langkah tegas untuk menghentikan aksi Suhario di Kalimantan. Koneksi yang kuat dan situasi politik yang memanas seiring dengan kampanye Ganyang Malaysia, membuat posisi Suhario menjadi kokoh dan tidak mudah disingkirkan, alih-alih ada yang berdalih bahwa Suhario mendapat dukungan yang kuat dari pusat.
Pasca Tragedi Bultiken
Setelah peristiwa tragis Bultiken pada tahun 1964, banyak kalangan warga Bulungan, terutama dari kalangan Kesultanan Bulungan yang lolos dari tragedi tersebut lari menyelamatkan diri ke Malaysia yang letaknya tidak terlalu jauh, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim.
“Kami dituduh makar, melawan pemerintahan yang sah. Akibatnya, banyak kerabat kami yang lari ke Malaysia dan memilih menjadi warga negara Malaysia ketimbang Indonesia,” ucap Ibrahim.
Salah satu orang penting yang berhasil selamat dari tragedi tersebut yaitu pewaris takhta Kesultanan Bulungan, bernama Datuk Maulana Muhammad Al-Ma’mun Bin Maulana Muhammad Djalaluddin, yang meminta suaka politik ke pemerintah Malaysia. Sampai saat ini, tokoh yang seharusnya dinobatkan menjadi Sultan Bulungan X tersebut masih menjadi warga negara Malaysia. Sedangkan Sultan Bulungan yang saat tragedi tersebut terjadi dan sempat menerima kehadiran Simatupang dan Buntaran di istana, menghilang tanpa kabar. “Raja Muda (Sultan Bulungan) hilang. Sampai sekarang tidak jelas keberadaannya,” ucap Ibrahim.
Kesimpangsiuran terkait tragedi Bultiken pada tahun 1964 tersebut masih belum terkuak hingga sekarang. Desakan terhadap pemerintah agar dilakukan penyelidikan dan rekonstruksi untuk mengungkap persoalan apa yang sebenarnya terjadi sampai sekarang masih belum mendapatkan respons yang berarti.
“Sayangnya, negara kita tidak memberikan perhatian kepada fakta-fakta keberadaan Kesultanan Bulungan ini,” ucap Wahab Kiak, pemerhati Sejarah Bulungan sebagaimana dikutip dari Koran Kaltim edisi 14 Maret 2013.
Kenangan atas peristiwa tragis tersebut masih membekas bagi warga Bulungan dan keturunannya yang bermukim di sana. Meskipun berstatus sebagai warga negara Indonesia, tidak sedikit penduduk Bulungan cenderung menggantungkan hidupnya kepada negara tetangga (Malaysia).
“Tak ada nasionalisme di sini. Kami makan dan belanja barang-barang yang hampir semuanya dari Malaysia. Ekonomi masyarakat di Bulungan sangat maju saat itu. Jika tidak bergabung dengan Indonesia, kami (mungkin) sama sejahteranya seperti Singapura,” ucap Jimmy Nasrun sebagaimana dikutip dari Lentera Timur.
Siapa Sebenarnya Suhario?
Dikutip dari buku Kalimantan Timur: Apa, Siapa, dan Bagaimana karya Abdul Muis Hassan, Suhario Padmodiwirio atau lebih dikenal Hario Kecik merupakan seorang pejuang revolusi kemerdekaan Indonesia, khususnya di masa pertempuran Surabaya 1945 dan kemudian menjadi Panglima Kodam Mulawarman pada tahun 1959-1965. Dalam sejarah Bulungan, khususnya bagi kalangan para sesepuh masyarakat Bulungan tidak sedikit yang menuding bahwa Suhario Padmodiwirio sebagai sosok dalang dalam tragedi Bultiken 1964.
Dikutip dari buku Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan Karta Hadimadja, pengganti Suhario sebagai Panglima Kodam Mulawarman, yaitu Sumitro menceritakan kisah Suhario yang Ia kenal. “Waktu zaman gerilya dulu, saya komandan batalion di Malang dan dia (Suhario) komandan Korps Mahasiswa. Saya tetap ingat, pada tahun 1958, saya ketemu dengan dia di Fort Benning (Infantry Centre). Dia selesai sekolah Regular Officer Advance Course bersama Panggabean, Brotosewojo, Priatna, Kris Sudono, dan Muskita. Saya baru masuk bersama Willy Sudjono dan Iskandar Ranu. Suhario tinggal karena ikut Airborne Course dan kakinya, kalau tidak salah, keseleo (verzwikt) dan digips.”
Hubungan antara Sumitro dengan Suhario sempat agak tegang sewaktu Menteri Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani menugaskan Sumitro untuk menggantikan Suhario sebagai Panglima Kodam Mulawarman. Nampaknya Ahmad Yani paham mengenai sepak terjang Suhario selama di Kalimantan Timur dan Ia juga dianggap dekat dengan Presiden Sukarno.
“Saya mengerti mengapa pimpinan Angkatan Darat mau menarik Suhario. Memang sudah lama kami di Jakarta mendengar bahwa Suhario yang jadi panglima di Kalimantan Timur itu terlalu dekat dengan PKI. Saya mendengar, bahwa setiap kali Hario ke Jakarta, dia keluar masuk istana tanpa seizin Ahmad Yani. Ini artinya, dia sangat dekat dengan Bung Karno. Sekali Ia pernah kepergok oleh Ahmad Yani di istana,” ucap Sumitro.
Sebagaimana dikutip dalam memoarnya tersebut, bahwa banyak sekali cerita menarik terkait prosesi pergantian jabatan Panglima Kodam Mulawarman tersebut. Di antaranya yaitu suasana kota Balikpapan menjelang kepergian Suhario, bahwa saat itu sambutan organisasi onderbouw PKI terhadap Sumitro sangat dingin. Saat pertama kali menginjakkan kakinya di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Sumitro sudah diteror dengan tulisan spanduk, “Selamat Jalan Bapak Suhario,” lalu di belakangnya ada spanduk, “Selamat Datang Saudara Sumitro.” Sumitro pun jelas marah dibuatnya, “wah, kok ini ada ‘bapak’ dan ada ‘saudara’! Waktu itu tersentak hati saya sejenak, tersinggung, tetapi saya diam saja dan sementara saya berpikir, ‘apa-apaan ini,’ massa sepertinya sudah dihasut untuk membedakan Suhario dengan saya.”
Pada malam harinya, Kodam Mulawarman mengadakan acara perpisahan untuk Suhario dan memperkenalkan Sumitro di gedung bioskop. Suhario berpidato selama empat jam dan membuat telinga Sumitro tidak nyaman saat Suhario mengatakan, “sebenarnya saya masih senang di sini, masih mau lebih lama di sini, tetapi orang Jakarta tidak mengerti revolusi.” Jelas Sumitro dibuat tidak senang, apalagi kemudian muncul istilah yang ditujukan kepadanya, yaitu “jenderal kanan yang tidak mengerti revolusi.” Hal ini kemudian dipertanyakan oleh Sumitro kepada Suhario pada keesokan harinya, saat mereka bertemu di Shell Guest House. Menurut Sumitro, Suhariolah yang berada di balik kejadian-kejadian teror poster tersebut dan Sumitro mengungkapkan kekesalannya.
“Jangan bohong! Kamu di belakangnya. Kamu ngaku senang diganti oleh kawan sendiri. Kamu pidato empat jam. Enggak kurang lama kamu pidato di sana berapa tahun kamu di sini? Njeplak seenakmu sendiri Urusan apa kamu sebut Jakarta tidak mengerti revolusi. Kamu masih tentara atau tidak? Saya tahu Cik kamu pandai menembak, tetapi kamu tidak pernah perang Cik, kamu tidak pernah perang,” ucap Sumitro mengungkapkan kekesalannya sambil menunjuk Suhario dengan jari telunjuknya.
Beberapa hari pasca kepergian Suhario, Sumitro kemudian membubarkan PKI dan onderbouw di wilayah Kodam Mulawarman, seperti Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia atau SOBSI, Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani, Pemuda Rakyat, dan serikat-serikat pekerja yang terafiliasi dengan PKI lainnya. Selain dari kalangan sipil, diketahui juga dari beberapa oknum militer yang ikut ditahan karena kedekatannya dengan PKI.
Sumitro sendiri menyayangkan sikap Suhario yang dianggapnya berlebihan, sebagaimana yang telah tertulis, “yang saya sayangkan adalah bekas-bekas Kesultanan Kutai Tenggarong yang sangat dirusak secara berlebih-lebihan oleh pendahulu saya. Sok revolusioner!” Wajar saja Sumitro menyayangkan hal tersebut, dikarenakan hal itu menimbulkan dampak trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat. Jika istana Kesultanan Kutai saja dirusak, meskipun Abdul Muis Hassan sempat menyelamatkannya dengan disegel, bukan hal yang mustahil jika istana Kesultanan Bulungan yang jauh di utara dan jauh dari pemberitaan media, dirusak atas komando orang yang sama saat itu?
Dikutip dari buku Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI karya Ibnu Purna, disebutkan bahwa tragedi Bultiken 1964 merupakan aksi semata oleh oknum TNI yang dikendalikan oleh PKI. Hal tersebut dikarenakan atas perintah Panglima Kodam Mulawarman Suhario yang disebut dekat dengan politik sayap kiri. Berdasarkan keterangan tersebut apakah Suhario punya kedekatan khusus dengan PKI? Sumitro dalam memoarnya memberikan gambaran bagaimana sikap yang berbeda antara PKI dan Suhario, serta Sumitro nampaknya kurang yakin bahwa Suhario terindikasi dekat dengan PKI.
“Sebenarnya, seingat saya, Hario bukan terlalu dekat dengan PKI seperti yang diduga oleh banyak orang. Dia, saya kira, dulu-dulu dekat dengan PSI. Saya yakin dia bukan PKI. Bagaimana Ia bisa dikatakan PKI? Hidupnya di Fort Benning mewah dan selain mempunyai mobil, saya dengar Ia beli kendaraan baru.”
Dikutip dari buku Hikayat Datoe Lancang-Putri Kayan karya Datuk Iskandar Zulkarnaen, bahwa saat tragedi Bultiken 1964 tersebut terjadi, Suhario memerintahkan seluruh harta benda di Istana Tanjung Palas untuk dijarah. Suhario dikatakan membutuhkan dua kapal, yaitu KM Renteh dan KM Merah untuk membawa harta jarahannya tersebut ke Surabaya. Apakah terdapat benang merah kejadian penjarahan tersebut dengan kepemilikan barang mewah seperti yang dituturkan oleh Sumitro? Butuh riset yang lebih mendalam dan sampai hari ini pun, harta milik Kesultanan Bulungan tidak ada kabarnya, seperti hilang ditelan bumi.
Dikutip dari buku Ikut Mengukir Sejarah karya Abdul Muis Hassan, menurut pandangan Muis Hassan yang waktu itu menjadi Gubernur Kalimantan Timur kedua bahwa Ia tidak ingin terlalu berseberangan dengan Suhario. Suhario di mata Abdul Muis Hassan digambarkan sebagai sosok yang periang, suka guyon tetapi bisa keras dalam tindakan. Suhario kadang terlalu cepat mengambil keputusan tanpa menyadari bahwa tindakannya bisa merugikan orang lain. Ia tidak segan menggunakan tangannya, bila perlu dan digambarkan pula oleh Abdul Muis Hassan bahwa di mata masyarakat, Suhario dinilai terlalu banyak ikut campur urusan pemerintahan daerah, khususnya semasa berlakunya SOB (Staat van oorlog en beleg) atau dikenal keadaan darurat.
Pasca runtuhnya rezim Orde Lama dan naiknya rezim Orde Baru, nasib Suhario digambarkan tidak begitu beruntung. Saat ia melangsungkan pendidikan di War College di Moskow, Uni Soviet, Indonesia sedang transisi kepemimpinan dan Ia tidak memilih untuk pulang ke Indonesia. Barulah pada tahun 1977, Ia balik ke Indonesia dan sempat ditahan oleh rezim Orde Baru. Pasca reformasi Suhario kembali muncul lagi ke publik sebagai penulis novel. Suhario Padmodiwirio sendiri menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 19 Agustus 2014 di Surabaya, Jawa Timur pada usia 93 tahun.
Daftar Pustaka
Buku
Bilfaqih, Ali Amin. Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa. s.l.: Eka Jaya Mandiri, 2006.
Hadimadja, Ramadhan Karta. Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Hassan, Abdoel Moeis. Ikut Mengukir Sejarah. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu, 1994.
Hassan, Abdoel Moeis. Kalimantan Timur: Apa, Siapa, dan Bagaimana. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu, 2004.
Magenda, Burhan Djabier. East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1991.
Purna, Ibnu. Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999.
Zulkarnaen, Datuk Iskandar. Hikayat Datoe Lancang-Putri Kayan. Samarinda: Pustaka Spirit, 2010.
Artikel Daring
Julianti, Ike. “Mengenal Sejarah Asal Muasal Kesultanan Bulungan” benuanta.co.id, 1 Agustus 2023. Tersedia pada https://benuanta.co.id/index.php/2023/08/01/mengenal-sejarah-asal-muasal-kesultanan-bulungan/117826/16/37/42/ [diakses pada 29 November 2024].
Raditya, Iswara N. “Tragedi Pembantaian Bulungan di Perbatasan Malaysia” tirto.id, 22 Agustus 2017. Tersedia pada https://tirto.id/tragedi-pembantaian-bulungan-di-perbatasan-malaysia-cu4N [diakses pada 30 November 2024].
Video (You Tube)
Pegawai Jalanan. “Peristiwa Supersip Bultiken di Kesultanan Bulungan” Dipublikasikan tanggal 24 Februari 2020. Durasi video: 17:16. Tersedia pada https://youtu.be/ph1jvYD10_c?si=6M-XiQ6wAi0WfNWQ. Diakses pada tanggal 30 November 2024.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.