Antara Warisan Gen dan Pengaruh Lingkungan Pertemanan: Fenomena Merokok di Kalangan Mahasiswa
Gaya Hidup | 2024-11-27 15:48:15Fenomena merokok di kalangan mahasiswa semakin menjadi perhatian serius dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun merokok diketahui memiliki dampak buruk terhadap kesehatan, kebiasaan ini masih banyak dijumpai di lingkungan kampus. Beberapa pihak berpendapat bahwa kebiasaan merokok ini dapat dipengaruhi oleh warisan genetik, sementara yang lain berpendapat bahwa faktor lingkungan sosial, terutama pertemanan, jauh lebih berperan dalam membentuk kebiasaan ini. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai pengaruh dua faktor utama tersebut yaitu genetik dan sosial terhadap kebiasaan merokok di kalangan mahasiswa.
Merokok di kalangan mahasiswa bukanlah fenomena yang baru. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, prevalensi perokok aktif di Indonesia, khususnya di kalangan remaja dan mahasiswa, cukup tinggi. Mahasiswa, yang berada pada usia transisi antara remaja dan dewasa, sering kali menghadapi tekanan dari berbagai aspek kehidupan, termasuk lingkungan pertemanan. Dalam konteks ini, merokok sering kali menjadi cara untuk menyesuaikan diri dengan norma sosial yang ada di sekitar mereka. Namun, selain pengaruh sosial, faktor genetik juga turut berperan dalam membentuk kecenderungan untuk merokok.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa ada faktor genetik yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk menjadi perokok. Beberapa penelitian genetika telah menemukan hubungan antara variasi gen tertentu dengan kecenderungan seseorang untuk merokok dan ketergantungan terhadap nikotin. Salah satu faktor yang ditemukan adalah hubungan antara gen yang mengatur dopamin neurotransmitter yang terkait dengan sistem penghargaan otak dengan keinginan untuk merokok.
Pada individu dengan variasi gen tertentu, merokok bisa memberikan efek ‘kepuasan’ yang lebih besar. Nikotin, sebagai stimulan, mempengaruhi sistem dopaminergik otak, yang menghasilkan perasaan euforia atau kesenangan. Oleh karena itu, individu yang secara genetik lebih rentan terhadap kecanduan nikotin mungkin lebih sulit untuk berhenti merokok meskipun mereka sudah tahu akan dampak buruknya.
Meskipun demikian, meski faktor genetika dapat mempengaruhi, merokok tidak hanya bergantung pada faktor biologis ini. Kebiasaan merokok sering kali dimulai dan dipertahankan oleh faktor sosial yang ada di lingkungan sekitar seseorang.
Salah satu faktor paling signifikan yang mempengaruhi kebiasaan merokok adalah lingkungan sosial, khususnya pertemanan. Lingkungan kampus sering kali menjadi arena di mana kebiasaan ini terbentuk, karena mahasiswa pada usia ini sedang mencari identitas diri dan pengakuan dari kelompok sosial mereka. Pada banyak kampus, merokok dianggap sebagai bagian dari kebiasaan sosial yang “normal” di kalangan sebagian mahasiswa. Mereka yang tidak merokok bisa merasa terpinggirkan atau bahkan terisolasi dari kelompok sosial tertentu.
Penelitian menunjukkan bahwa pengaruh teman sebaya (peer pressure) merupakan faktor yang sangat kuat dalam membentuk perilaku merokok. Mahasiswa yang bergabung dengan kelompok pertemanan yang merokok sering kali lebih cenderung untuk mencoba merokok dan akhirnya menjadi perokok aktif. Dalam banyak kasus, tekanan dari teman-teman yang sudah lebih dulu merokok bisa membuat individu merasa bahwa merokok adalah bagian dari cara untuk diterima dalam kelompok tersebut.
Lebih lanjut, perilaku merokok juga bisa dianggap sebagai simbol status atau tanda kedewasaan. Di banyak komunitas mahasiswa, merokok kadang-kadang dipandang sebagai aktivitas yang “keren” atau “cool”, terutama saat dilakukan dalam kelompok. Hal ini membuat mahasiswa lebih cenderung untuk merokok sebagai upaya menyesuaikan diri dengan standar sosial yang ada di sekitar mereka.
Menghadapi fenomena ini, banyak kampus di Indonesia yang mulai memperkenalkan kebijakan bebas rokok untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi mahasiswa. Kebijakan ini bertujuan untuk membatasi akses mahasiswa terhadap rokok, terutama di area kampus. Di samping itu, kampus juga diharapkan dapat menjadi agen perubahan dengan mengedukasi mahasiswa tentang bahaya merokok melalui program-program kesadaran kesehatan.
Namun, meskipun kebijakan semacam ini dapat mengurangi kebiasaan merokok di lingkungan kampus, penanganan masalah ini tidak bisa hanya bergantung pada kebijakan semata. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, yang mencakup pendidikan, dukungan dari keluarga, serta perubahan budaya sosial yang mendorong gaya hidup sehat.
Selain kebijakan di kampus, media dan teknologi juga memiliki peran besar dalam mengurangi prevalensi merokok di kalangan mahasiswa. Kampanye antirokok yang dilakukan melalui media sosial dan platform digital menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya merokok. Selain itu, representasi merokok dalam film dan acara televisi yang sering kali menggambarkan merokok sebagai simbol keberanian atau status sosial perlu dievaluasi dengan hati-hati. Jika tidak dikendalikan, representasi semacam ini justru dapat memperkuat persepsi bahwa merokok adalah bagian dari gaya hidup yang “keren” atau “dewasa.”
Di sisi lain, banyak aplikasi kesehatan yang kini menyediakan fitur untuk membantu orang berhenti merokok, termasuk pelacakan kebiasaan merokok, serta dukungan komunitas bagi mereka yang ingin berhenti. Teknologi ini dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk membantu mereka mengatasi ketergantungan terhadap rokok.
Secara keseluruhan, fenomena merokok di kalangan mahasiswa tidak dapat dijelaskan hanya dengan satu faktor tunggal. Baik faktor genetika maupun pengaruh lingkungan pertemanan memiliki kontribusi besar terhadap terbentuknya kebiasaan ini. Oleh karena itu, solusi untuk mengurangi prevalensi merokok di kalangan mahasiswa harus melibatkan berbagai pendekatan, mulai dari kebijakan kampus yang mendukung lingkungan bebas rokok, pendidikan kesehatan yang berkelanjutan, hingga perubahan sosial yang mendorong mahasiswa untuk memilih gaya hidup sehat.
Lebih dari sekadar larangan atau kampanye, penanggulangan merokok membutuhkan pendekatan yang membangun kesadaran sosial, memperkuat ikatan antar teman sebaya, dan memberikan dukungan bagi mahasiswa yang ingin berhenti merokok. Dengan kombinasi upaya dari berbagai pihak, diharapkan kebiasaan merokok dapat diminimalisir dan mahasiswa dapat hidup lebih sehat serta produktif di masa depan.
Referensi:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2023). “Laporan Status Kesehatan Masyarakat Indonesia.”
World Health Organization (WHO). “Tobacco Use and Health Risks: A Global Overview.”
National Institute on Drug Abuse (NIDA). “Genetics and Tobacco Use.”
American Psychological Association (APA). “Peer Influence on Adolescent Smoking Behavior.”
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.