Rahasia Bumbu Pak Hendra
Sastra | 2024-11-26 13:05:59Aroma kopi menguar dari kantin SMK Nusantara, berpadu dengan wangi gorengan yang baru diangkat dari penggorengan. Seperti biasa, pagi itu Pak Hendra duduk di sudut, menyendok nasi dari kotak bekal biru yang sudah agak memudar warnanya. Matanya sesekali menatap kosong ke luar jendela, memandangi dedaunan yang bergoyang diterpa angin pagi. Ada kesunyian yang familiar dalam rutinitas hariannya – sesuatu yang telah dia jalani selama setahun terakhir.
Tak jauh dari tempatnya, terdengar suara Pak Rachmat yang baru saja menempelkan pengumuman di papan mading kantin. Pak Rachmat, dengan kerut-kerut kebijaksanaan di wajahnya, tersenyum puas memandangi pengumuman yang baru saja ditempelnya.
"Lomba memasak khusus bapak-bapak guru! Kategori mie goreng dan nasi goreng. Hadiah jutaan rupiah!" Pak Rachmat membacakan dengan lantang, suaranya yang berat menggema di kantin yang mulai ramai.
"Wah, saya ikut dong!" sahut Pak Jefri, guru bahasa Inggris yang terkenal dengan gaya flamboyannya. Kemeja merah mencoloknya bergerak mengikuti gestur tangannya yang teatrikal. "Saya sudah langganan MasterChef nih, pasti menang! Gordon Ramsay aja kalah sama saya!"
Pak Suryadi, guru kimia, tak mau kalah. Kacamatanya berkilat penuh percaya diri. "Bumbu rahasia saya sudah siap. Kombinasi sempurna antara rempah dan sains! Sudah saya hitung kadar pH-nya supaya pas di lidah!"
Di sudut mejanya, Pak Hendra tetap diam. Tangannya yang kasar mengaduk-aduk nasi dalam kotak bekalnya. Matanya fokus pada nasi di hadapannya, seolah tak peduli dengan kehebohan di sekitar. Namun telinganya menangkap bisikan Pak Jefri yang menusuk.
"Lihat tuh, guru montir. Jangankan masak, paling sehari-hari cuma bisa ngutak-atik mesin. Bau oli semua!"
Hati Pak Hendra mencelos. Bukan karena ejekan itu – dia sudah terbiasa dengan stereotip tentang guru kejuruan – tapi karena mereka tak tahu bahwa tangan yang mereka anggap hanya bisa memegang kunci pas itu, dulu pernah menciptakan hidangan untuk para diplomat dan pengusaha ternama.
Tawa mengejek terdengar, tapi segera terhenti ketika Pak Joko, guru matematika yang dikenal bijak, menghampiri meja Pak Hendra. Pak Joko selalu punya cara membaca situasi yang berbeda dari yang lain. Di balik kacamata tebalnya, matanya menyiratkan keingintahuan yang tulus.
"Pak Hendra, ikut lomba yuk?" ajaknya sambil duduk, meletakkan secangkir kopi yang masih mengepul.
"Saya... tidak tertarik, Pak." Ada keraguan dalam suara Pak Hendra, sesuatu yang tidak luput dari pengamatan Pak Joko.
"Ayolah, saya lihat bekal bapak selalu terlihat enak. Pasti bisa masak." Pak Joko tersenyum hangat. "Lagipula, kadang kita perlu keluar dari zona nyaman kita."
Pak Hendra terdiam sejenak, matanya menerawang. Dalam benaknya terlintas wajah istrinya, tersenyum sambil mengajarinya rahasia bumbu nasi goreng yang sempurna. "Baiklah," akhirnya dia berkata pelan, seolah berbisik pada kenangan.
Hari lomba tiba dengan gegap gempita. Dapur sekolah yang biasanya sepi kini riuh dengan dentingan peralatan masak dan seruan-seruan bersemangat. Pak Jefri membawa peralatan lengkap, bahkan membawa rice cooker pribadi yang dia pamerkan sebagai "imported from Japan." Pak Suryadi sibuk memamerkan koleksi bumbu dalam botol-botol berlabel, yang dia susun rapi seperti sedang praktikum kimia.
Sementara itu, Pak Hendra hanya membawa tas kecil berisi bumbu dan sebungkus mie. Di dalam tas itu tersimpan juga sebuah saputangan usang – pemberian terakhir istrinya – yang selalu dia bawa kemanapun. Gerakannya tenang namun pasti, seperti sedang melakukan ritual yang sakral. Tangannya dengan cekatan memotong bawang, menumis bumbu, dan mengaduk mie. Ada presisi dalam setiap gerakannya yang tidak luput dari pengamatan Pak Joko.
"Lihat caranya memegang pisau," bisik Pak Joko pada Pak Rachmat. "Itu teknik profesional."
Aroma harum mulai menguar dari wajan Pak Hendra, membawa kenangan akan masakan rumahan yang penuh cinta. Beberapa guru yang lewat mulai berhenti dan mengendus. Bahkan Pak Jefri diam-diam melirik ke arah kompor Pak Hendra, rasa percaya dirinya mulai goyah melihat kepiawaian sang guru otomotif.
Di tengah kesibukannya memasak, pikiran Pak Hendra melayang pada malam-malam di dapur rumahnya dulu. Dia ingat tawa istrinya setiap kali dia salah menuang kecap, atau senyum bangganya saat akhirnya dia berhasil membuat nasi goreng yang sempurna. Tanpa sadar, air matanya menetes ke dalam wajan, bercampur dengan bumbu-bumbu yang mendesis.
Saat penjurian tiba, mie goreng dan nasi goreng Pak Hendra mendapat pujian luar biasa dari para juri. "Ini bukan sekadar mie goreng biasa," komentar salah satu juri dari jurusan tata boga. "Ada sentuhan profesional di sini. Tapi lebih dari itu... ada cinta dalam masakan ini."
Pengumuman pemenang membuat ruangan hening. Pak Hendra menyabet juara umum, mengalahkan Pak Jefri dan Pak Suryadi yang hanya bisa ternganga. Pak Jefri menatap piala di tangannya dengan pandangan kosong, semua keangkuhannya luruh seketika.
"Sebenarnya," Pak Joko berdiri dan tersenyum, matanya berbinar bangga, "Pak Hendra adalah mantan chef hotel bintang lima di Singapura. Lima belas tahun berkarir di sana sebelum memutuskan mengajar di SMK."
Semua mata tertuju pada Pak Hendra yang masih berdiri canggung dengan piala di tangannya. Jemarinya yang biasa berlumuran oli kini gemetar memegang trofi. Untuk pertama kalinya, dia berbicara panjang di depan rekan-rekannya.
"Resep ini... bukan resep hotel," suaranya pelan namun mantap, sarat dengan emosi yang selama ini terpendam. "Ini resep istri saya. Dia meninggal setahun lalu karena kanker. Sejak itu... saya tidak pernah memasak lagi."
Ruangan menjadi senyap. Bahkan suara denting sendok pun tak terdengar. Pak Hendra melanjutkan dengan suara bergetar, tangannya menggenggam erat saputangan di sakunya.
"Setiap hari saya membawa bekal yang saya masak sendiri, karena... karena saya rindu masakan istri. Dengan memasak resepnya, saya merasa dia masih ada. Lomba ini... adalah pertama kalinya saya memasak untuk orang lain sejak kepergiannya."
Air mata mengalir di pipi Pak Suryadi. Pak Jefri menunduk, menyembunyikan rasa malunya. Semua ocehan dan ejekannya selama ini terasa begitu kecil dan tak berarti. Pak Rachmat menepuk pundak Pak Hendra dengan hangat, dalam gesturnya ada permintaan maaf atas nama semua orang.
"Maafkan kami, Pak," ucap Pak Jefri tulus, suaranya yang biasanya lantang kini pecah oleh rasa haru. "Kami telah salah menilai Bapak."
Sebulan kemudian, kantin SMK Nusantara menambahkan menu baru: "Mie Goreng & Nasi Goreng Bu Hendra". Pak Hendra sendiri yang melatih ibu-ibu kantin membuatnya, dengan sabar mengajarkan setiap detail yang dulu diajarkan istrinya. Kini, dia tidak lagi makan sendirian. Mejanya selalu ramai oleh rekan guru yang ingin mendengar kisahnya di dunia kuliner, atau sekadar berbagi cerita tentang kehidupan.
"Istri saya selalu bilang," kata Pak Hendra suatu hari, sambil memandang keluar jendela kantin tempat dia dulu selalu duduk sendiri, "masakan yang enak bukan dari bumbunya, tapi dari hati yang memasak." Dia tersenyum, menatap foto kecil yang selalu dibawanya dalam dompet – foto seorang wanita dengan senyum secerah mentari pagi. "Dan dia benar. Cinta memang bumbu paling istimewa."
Sejak hari itu, tidak ada lagi guru yang memandang sebelah mata pada guru otomotif pendiam yang dulunya chef. Karena mereka tahu, di balik setiap piring masakan, ada cerita yang dalam tentang cinta dan kenangan. Dan di sudut kantin itu, di meja tempat Pak Hendra biasa duduk, kini terpasang foto kecil seorang wanita tersenyum – Bu Hendra, yang cintanya masih bisa dirasakan dalam setiap suapan masakan yang membawa namanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.