Membaca untuk Berkaca, Menulis untuk Memberantas Orientalis
Eduaksi | 2022-02-16 18:39:08Dinamika dan pola kehidupan di dunia akan terus berkembang. Berbagai generasi hadir silih berganti. Masing-masing generasi tersebut menghadapi tantangan zaman tersendiri. Hari ini bukan lagi masanya angkat senjata yang akan kita alami, karena mereka, kaum orinetalis, sudah mulai tidak menjadikannya alat menyerang dalam kondisi konstitusi dunia saat ini. Kualitas intelektual di periode ini justru menjadi medan perang yang harus kita taklukkan dan waspadai. Sebab, serangan-serangan yang diluncurkan saat ini mayoritas menarget ideologi lawan-lawannya.
Pemuda berdiri di garda terdepan untuk melakukan pertahanan serta perlawanan. Hal itu terjadi karena pemuda sebagai penggerak perubaha, memiliki kekuatan penuh untuk melakukan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh bangsa dan agama di masa kini. Oleh karena itu, pemuda membutuhkan dua komponen penting sebagai senjata untuk melakukan sebuah perlawananan dan pertahanan. Kedua komponen tersebut adalah budaya membaca dan menulis atau sering juga disebut literasi baca-tulis.
Membaca dan menulis merupakan dua komponen yang harus berjalan secara beriringan. Keduanya ibaratkan sepasang sandal jepit yang tidak dapat terpisahkan. Alasannya tak lain karena memiliki peranan penting untuk menghadapi tantangan di suatu zaman. Goodman di dalam salah satu tulisannya mengungkapkan bahwa baca tulis merupakan kegiatan yang menjadikan penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai penulis.
Membaca dan menulis merupakan strategi awal yang perlu melekat pada diri seorang pemuda untuk menghadapi tantangan zaman. Membaca sendiri dianalogikan sebagai alat untuk berkaca dengan jalan mencari berbagai macam referensi untuk menghasilkan ide, informasi, serta gagasan baru. Sedangkan menulis adalah alat untuk mereka mengaplikasikan semua yang telah mereka tuai dari proses membaca dan menganalisis. Maka tidak heran, banyak penulis yang menganggap aktivitas menulis sebagai alat untuk memberantas kaum orientalis yang merupakan dalang dari penyerangan ideologi di masa kini.
Masifnya perkembangan teknologi di era modernisasi ini juga membuat para orientalis sangat mudah memasukkan ideologi-ideologi yang mereka anut. Tentunya melalui berbagai macam tulisan yang dibuat dengan motif untuk merusak akidah umat islam. Maka dari itu, sudah sepatutnya kita mengintensifkan budaya literasi sebagai bentuk pertahanan diri untuk tetap berada di jalan rida ilahi.
Dakwah di era modernisasi pun seharusnya dijadikan sebagai peluang besar untuk terus melebarkan sayap panji-panji islam. Sebab kondisi ini dihiasi dengan fasilitas yang berlimpah. Media sosial seperti facebook, instagram, twitter, hingga whatsapp seakan menjadi wasilah untuk kita berdakwah dengan literasi baca-tulis.
Apabila kita melihat data statistik yang dikeluarkan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), ditampilkan bahwa terdapat 63 juta penduduk Indonesia yang menggunakan internet setiap harinya per tahun 2021. Jika saja temuan tersebut dimanfaatkan oleh kita, kaum muda, kaum yang dikenal dengan intelektualnya untuk menyebarkan ajaran-ajaran islam melalui tulisan. Maka tentu tulisan-tulisan tersebut dapat kemudian dikonsumsi oleh masyrakat banyak. Sehingga nantinya dua komponen ini akan menjadi senjata yang sangat mematikan untuk memberantas para orientalis yang berusaha secara sistematis merusak akidah serta peradaban umat islam.
Bayangkan saja, jika senjata api dapat melenyapkan seratus orang di suatu tempat, maka tulisan dapat dengan mudah menyadarkan ratusan atau bahkan ribuan orang di berbagai tempat. Karena dengan menulis mampu menjangkau luasnya dunia. Malah, tidak perlu bertemu secara langsung, cukup dengan satu klik di jejaring sosial, tulisan-tulisan kita sudah bisa nampang di beranda banyak orang.
Bacaan dan tulisan sejatinya merupakan senjata yang tidak akan pernah kehabisan peluru untuk melumpuhkan musuh-musuh islam, sekalipun pengguna senjata itu sudah tidak lagi menginjakkan kakinya di muka bumi. Imam Asy-Syafi'i pernah berkata, “Tanganku akan hancur di dalam tanah, yang tinggal hanyalah tulisanku yang dimuat di dalam buku.”
Tak lupa, Pak Sapardi pernah menyampaikan bahwa menulis adalah kerja untuk keabadian. Keabadian macam apa yang nantinya kita pilih tentunya beragam dan bervariasi. Namun, sebagai seorang manusia yang selalu bersyahadat setiap harinya, sudah barang tentu bekerja demi menunjang keabadian akhirat adalah harga mati yang bahkan lebih tinggi derajatnya demi meraih tempat terbaik di sisi-Nya.
Apabila masih dirasa kurang, cobalah renungkan satu lagi pendapat dari Imam besar kita, Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah. Beliau berkata, "Ilmu itu seperti hewan buruan, dan tulisan adalah pengikatnya...". Perkataan beliau relevan dengan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang artinya, "Ikatlah ilmu dengan menulisnya". Dari dua mutiara di atas bukankah sudah tidak diragukan lagi bahwa membaca (dalam hal ini mencari ilmu) dan menulis adalah dua hal yang sangat fundamental dan saling terikat? Tentunya begitulah adanya.
Maka dari itu, bacalah sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan kita sejak awal diturunkannya Al-Qur'an. Menulislah sebagaimana para Sahabat, Tabi'in , dan para 'Ulama melakukannya. Kalau tidak bisa menjadi pintunya ilmu sebagaimana 'Ali Radhiyallahu 'Anhu, maka setidaknya jadilah gagang pintunya. Yang memicu terbukanya pintu ilmu dan membawa manfaat sekaligus ancaman bagi para orientalis.
Bacalah apapun dan tulislah apapun. Namun jangan pernah pikun bahwa tauhid harus terus tertanam dalam jiwa sebagai filter diri. Untuk kemudian mengontemplasikan semua yang sudah terpanen dari pohon bacaan menjadi senjata pengetahuan yang mungkin bisa ribuan kali lebih dahsyat dari senjata-senjata pemusnah masal yang pernah ada dalam selongsong tulisan.
Penulis : Muhamad Rifki Fauzan dan Ridwan Zamroni (awokwokwok)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.