Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Suara Hati yang Terbungkam

Sastra | 2024-11-24 13:39:05
Sumber foto: Canva

Di sebuah kampung nelayan di pesisir Belitong, di mana pasir putih bertemu dengan air laut yang berkilau keemasan, tinggallah seorang lelaki tua bernama Pak Long Seman. Rumah panggungnya yang sederhana berdiri kokoh di antara pohon kelapa yang melambai-lambai ditiup angin laut. Sudah tiga puluh tahun ia menghidupi keluarganya dengan menjadi nelayan, namun belakangan ini rezeki semakin sulit didapat.
Pagi itu, saat matahari belum sepenuhnya bangkit dari peraduannya, Pak Long Seman sudah duduk termenung di beranda rumahnya. Matanya yang berkeriput menatap jauh ke horizon, tempat langit dan laut seakan berpelukan dalam semburat jingga. Pikirannya melayang pada pertemuannya kemarin dengan Datuk Sera'i, seorang saudagar kaya yang baru saja kembali dari perantauannya di Singapura.
"Pak Long," begitu ia teringat suara Datuk Sera'i yang penuh wibawa, "zaman sudah berubah. Tak ada lagi tempat untuk nelayan tradisional seperti kita. Sekarang sudah era kapal besar dan alat modern."
Datuk Sera'i yang dulunya juga nelayan kecil, kini berbicara dengan nada tinggi dan memandang rendah cara hidup tradisional. Uang telah mengubah tidak hanya nasibnya, tetapi juga cara bicaranya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan dilapisi emas, namun terasa dingin dan kosong.
Di tengah lamunannya, Mak Cik Nor, tetangga sebelah rumahnya yang sudah seperti kakak sendiri, datang membawakan secangkir kopi hitam yang mengepul.
"Pak Long, jangan terlalu dipikirkan kata-kata Datuk Sera'i," ujar Mak Cik Nor dengan suara lembutnya yang penuh pengertian. "Orang yang dimabuk harta sering lupa diri."
Mak Cik Nor, meski hanya seorang penjual kue tradisional di pasar, memiliki kebijaksanaan yang dalam. Pendidikannya yang tinggi – ia adalah satu-satunya perempuan seusianya di kampung yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren di Jawa – membuatnya berbicara dengan pilihan kata yang tertata dan penuh makna.
"Betul tu, Mak Cik," sahut Busu Seliha yang tiba-tiba muncul dari arah dapur dengan membawa penganan tradisional. Perempuan paruh baya yang dikenal dengan kelembutannya ini selalu menjadi penengah dalam setiap perselisihan di kampung. "Kita ni harus ingat, bukan harta yang menentukan nilai seseorang, tapi akhlak dan budi pekertinya."
Pak Long Seman mengangguk perlahan, mencerna kata-kata kedua perempuan bijak itu. Ia teringat bagaimana dulu Datuk Sera'i sering datang ke rumahnya, duduk bersama menikmati kopi dan berbagi cerita tentang laut. Kini, setelah hartanya berlimpah, Datuk Sera'i seakan membangun tembok tinggi antara dirinya dan masyarakat kampung.
Suatu hari, ketika awan hitam mulai menggantung di langit Belitong, sebuah kejadian mengubah dinamika di antara mereka. Kapal besar milik Datuk Sera'i mengalami kerusakan di tengah laut, terjebak dalam badai yang mengamuk. Tanpa pikir panjang, Pak Long Seman yang mendengar kabar tersebut langsung meluncurkan perahunya yang kecil namun tangkas, membelah ombak yang menggulung untuk menyelamatkan Datuk Sera'i dan awaknya.
Setelah diselamatkan, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Datuk Sera'i berbicara dengan nada yang berbeda. Tidak ada lagi kesombongan dalam suaranya, yang ada hanya kerendahan hati dan rasa terima kasih yang mendalam.
"Maafkan saya, Pak Long," ucap Datuk Sera'i dengan suara bergetar. "Selama ini saya telah dibutakan oleh harta, sampai lupa bahwa nilai seseorang tidak diukur dari apa yang dimilikinya, tapi dari ketulusan hatinya."
Mak Cik Nor yang menyaksikan kejadian itu berbisik kepada Busu Seliha, "Lihatlah bagaimana Allah mengatur segalanya. Terkadang kita perlu diingatkan bahwa kedudukan dan harta bisa hilang dalam sekejap mata."
"Benar tu, Mak Cik," balas Busu Seliha sambil mengangguk. "Yang penting bukan bagaimana kita berbicara, tapi apa yang ada di dalam hati kita."
Sejak kejadian itu, perubahan besar terjadi dalam diri Datuk Sera'i. Ia mulai menggunakan hartanya untuk membangun sekolah di kampung, tempat anak-anak nelayan bisa belajar tanpa perlu khawatir tentang biaya. Ia juga mendirikan koperasi nelayan, membantu para nelayan tradisional seperti Pak Long Seman untuk tetap bertahan di tengah modernisasi.
Suara Datuk Sera'i kini tidak lagi dipenuhi kesombongan, melainkan kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman hidup. Pengetahuannya tentang bisnis modern ia bagikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, menciptakan jembatan antara tradisi dan kemajuan.
Mak Cik Nor, dengan ilmu agamanya, sering mengingatkan penduduk kampung bahwa ilmu tanpa akhlak bagaikan pohon tanpa buah. Sementara Busu Seliha, dengan kelembutan hatinya, mengajarkan bahwa moral yang baik akan tercermin dalam setiap tutur kata dan tingkah laku.
Di beranda rumahnya yang sederhana, Pak Long Seman kini duduk dengan hati yang tenang. Matanya yang tua menatap laut dengan penuh syukur. Ia telah menyaksikan bagaimana uang bisa mengubah nada bicara seseorang menjadi angkuh, bagaimana pengetahuan bisa membuat seseorang berbicara dengan bijak, dan bagaimana moral yang baik akan selalu tercermin dalam tutur kata yang santun.
Angin laut yang berhembus membawa aroma garam, mengingatkan semua penduduk kampung bahwa di tengah perubahan zaman, ada nilai-nilai yang harus tetap dijaga: kerendahan hati dalam berbicara, kebijaksanaan dalam menyampaikan ilmu, dan ketulusan dalam setiap kata yang terucap.
Kisah dari kampung nelayan di pesisir Belitong ini menjadi pengingat bahwa kekayaan sejati tidak diukur dari harta yang dimiliki, tetapi dari bagaimana seseorang menjaga tutur katanya, bagaimana ia menggunakan ilmunya untuk kebaikan, dan bagaimana ia menjunjung tinggi moral dalam setiap langkah kehidupannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image