Aksi Buang Susu: Disparitas Regulasi Sistemik
Bisnis | 2024-11-22 19:36:44Rangkaian aksi buang susu, bagi-bagi susu hingga mandi susu digelar di berbagai daerah. Para peternak sapi perah menggelar protes atas tidak terserapnya produksi susu mereka oleh industri. Dalam catatan Dewan Persusuan Nasional, lebih dari 200 ton susu terbuang per hari pada rangkaian aksi tersebut.
Center of Reform on Economic (CORE) menyebut produksi susu dalam negeri hanya mampu memenuhi 21 persen dari kebutuhan susu Nasional, 79 persen sisanya bergantung kepada impor.
Ini kontradiktif dengan fakta bahwa produk susu lokal tidak terserap industri, artinya ada disfungsi regulasi dalam penyerapan produk susu untuk kebutuhan susu Nasional.
Merespon peristiwa tersebut Menteri Pertanian, Andri Amran Sulaiman, mengatakan pemerintah akan merubah regulasi untuk mewajibkan industri menyerap semua susu peternak lokal. Amran meyakini kebijakan tersebut akan berdampak pada gairah para peternak sapi perah dalam berproduksi.
Kebijakan Mentan tersebut akan diikuti Peraturan Presiden (Perpres) yang mewajibkan industri menyerap produksi susu dalam negeri. Aturan ini diharapkan dapat membalikkan kebijakan yang berlaku sejak krisis ekonomi tahun 1997/1998.
Waktu itu, Inpres No 2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional yang dicabut pada awal 1998 karena mengikuti letter of intent antara Pemerintah RI dengan IMF. Sejak saat itu, ketergantungan terhadap impor meningkat drastic, dari 40 persen pada 1997 menjadi 80 persen saat ini. (Republika, 11/11/2024).
Disassemble Regulasi Persusuan
Dilansir Republika (11/11/2024), Pengamat Pertanian Eliza Mardian, mengungkapkan keprihatinannya terhadap rendahnya daya saing peternak susu lokal di Indonesia. Ia menilai, meskipun Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan produksi susu, berbagai faktor penghambat seperti rendahnya produktivitas peternak skala kecil dan ketidakpastian pasar menjadi tantangan utama yang harus segera ditangani.
Eliza juga menyoroti adanya regulasi yang mengatur kemitraan antara perusahaan susu dengan peternak susu lokal tidak terimplementasi dengan baik di lapangan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33/2018, perusahaan pengolahan susu diwajibkan untuk bermitra dengan peternak lokal. Namun, pada faktanya hanya 20 persen pelaku usaha yang benar-benar menjalankan kemitraan ini.
Peternak lokal juga semakin terpinggirkan oleh produk impor yang lebih murah dan efisien, terutama susu bubuk dan skim yang mendominasi pasokan susu di Indonesia.
Perusahaan pengolahan susu lebih memilih susu bubuk impor dan skim karena biaya produksi yang lebih rendah dan memiliki masa simpan lebih lama dibanding susu cair peternak lokal.
Susu cair lokal dinilai memiliki masa simpan lebih pendek dan memerlukan sistem distribusi yang lebih cepat dan biaya logistik yang lebih tinggi.
Dalam sistem kapitalisme-liberalisme, asas yang digunakan adalah memperoleh keuntungan sebanyak banyaknya apapun caranya. Termasuk dalam hal ini adanya otak-atik regulasi pada letter of intent antara Indonesia dengan IMF yang menjadi awal terbuka lebarnya ketergantungan impor.
Pemerintah mengambil kebijakan tanpa mempertimbangkan kondisi dan keberlangsungan masyarkat. Ini kontradiktif dengan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”.
Hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan kewajiban bagi negara untuk merealisasikannya. Negara secara absolut wajib mengutamakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga negaranya diatas kepentingan lainnya.
Tidak adanya sanksi yang tegas atas pelanggaran regulasi diwajibkannya perusahaan olahan susu untuk bermitra dengan peternak lokal mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi keberlangsungan peternak lokal. Pemerintah seolah memberikan karpet merah para kapitalis untuk mendominasi pasar dalam mengukuhkan hegemoni kapitalismenya.
Penahanan izin impor lima perusahaan pengolahan susu seolah basa-basi untuk mengalihkan keresahan peternak. Karena pada faktanya perusahaan pengolahan susu impor lainnya yang dianggap “tidak bermasalah” masih tetap diberikan rekomendasi impor.
Dengan jejak otak-atik dan pelanggaran regulasi selama ini, siapa yang berani menjamin jika Perpres yang diusulkan Mentan untuk mewajibkan penyerapan susu dari semua peternak lokal akan terealisasi dengan baik?
Rasanya sulit berharap akan teralisasi jika asasnya masih kapitalisme-liberalisme.
Islamic Solution
Islam membumikan hukum dan aturan untuk menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Termasuk dalam hal muamalah dan politik indutri, Islam mengedapankan setiap kebijakan dan langkah harus bersandar pada mashlihunnaas (kemaslahatan umat).
Untuk menjamin keberlangsungan peternak lokal, Islam melalui negara memberikan bantuan bagi para peternak berupa pelatihan dari mulai perawatan sapi perah agar terhindar dari penyakit hingga membuat inovasi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas susu lokal. Sehingga produk susu lokal memiliki kualitas yang lebih baik dari produk susu impor dan mampu memenuhi kebutuhan susu dalam negeri.
Negara juga memberikan bantuan berupa modal dan memfasilitasi para peternak dalam menjaga eksistensinya.
Selain itu negara membuat regulasi yang tegak dan tegas terkait perlindungan keberlangsungan para peternak lokal serta memberikan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Negara hanya melakukan impor apabila kebutuhan susu dalam negeri belum terpenuhi setelah memastikan semua produk susu lokal terserap.
Negara hanya akan mengimpor susu dari negara-negara yang menjalin perjanjian. Negara tidak mengimpor susu dari negara harbi fi’lan (negara yang sedang memerangi Islam dan umat Islam).
Negara harus merdeka secara politik, sehingga dalam membuat regulasi tidak bergantung pada negara manapun ataupun kelompok elite global. Negara hanya berpegang pada aturan Allah swt yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam membuat regulasi untuk kemaslahatan umat.
Wallahu a’lam bishawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.