Kaum Tertindas: Mengapa Kita Terjebak Dalam Siklus Penindasan?
Politik | 2024-11-22 10:32:13Daffa Irfani Putri Aulia, Saya sebagai Mahasiswa UNAIR mengkaji dalam suatu buku yaitu pendidikan kaum tertindas.
Dalam buku legendarisnya, Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire memaparkan realitas yang mendalam tentang hubungan dialektis antara kaum penindas dan tertindas. Freire menggambarkan sebuah lingkaran setan di mana kekuasaan yang timpang terus mengakar dan menciptakan hierarki yang menindas. Gagasan ini masih relevan di tengah kompleksitas sosial politik masyarakat Indonesia saat ini. Sebagai bangsa yang telah merdeka selama lebih dari tujuh dekade, kita sering kali bangga menyebut diri sebagai masyarakat demokratis. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa demokrasi kita kerap terjebak dalam oligarki yang justru melanggengkan ketimpangan. Relasi antara pemerintah, korporasi besar, dan masyarakat akar rumput adalah cerminan dari relasi penindas dan tertindas yang dikritik Freire. Pola Penindasan Modern Penindasan hari ini tidak selalu hadir dalam bentuk fisik seperti di masa penjajahan kolonial. Pola penindasan kini lebih subtil, tersembunyi di balik kebijakan yang tampaknya netral namun sarat kepentingan. Sebagai contoh, implementasi proyek pembangunan skala besar seperti pembangunan infrastruktur atau Ibu Kota Negara (IKN) sering kali membawa narasi kemajuan. Namun, siapa yang paling diuntungkan? Apakah rakyat kecil yang tanahnya tergusur demi megahnya proyek tersebut, atau elite yang semakin memperkaya diri? Masyarakat adat dan petani adalah kelompok yang paling sering terpinggirkan. Mereka kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang menjadi penopang hidupnya. Dalam kasus-kasus seperti ini, pemerintah sering kali tampil sebagai “pelaksana teknis” yang mengamankan kepentingan korporasi besar dengan dalih pembangunan ekonomi. Di sisi lain, rakyat kecil yang kehilangan ruang hidupnya sering kali tidak memiliki kapasitas untuk melawan. Freire menyebut ini sebagai internalisasi penindasan, di mana kaum tertindas bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang ditindas. Mereka menerima kondisi sebagai “takdir” atau “harga yang harus dibayar” demi pembangunan. Kaum Tertindas yang Melanggengkan Penindasan Salah satu ironi besar dalam konteks ini adalah bagaimana kaum tertindas sering kali turut melanggengkan sistem yang menindas mereka. Freire menyebutkan bahwa ketika kaum tertindas akhirnya mendapatkan kekuasaan, mereka sering kali mereproduksi pola-pola penindasan yang sama. Kita dapat melihat fenomena ini dalam dunia politik. Figur-figur yang muncul dari kelas bawah sering kali kehilangan idealisme setelah menduduki jabatan strategis. Janji memperjuangkan hak-hak rakyat berubah menjadi kompromi-kompromi politik demi mempertahankan kekuasaan. Di sinilah letak persoalan mendasar: perubahan struktural tidak akan terjadi jika pola pikir dan budaya kekuasaan tidak diubah. Membongkar Sistem Penindasan Membongkar sistem penindasan tidak hanya memerlukan perubahan kebijakan, tetapi juga perubahan paradigma. Freire menawarkan konsep pendidikan kritis sebagai solusi. Pendidikan kritis adalah proses di mana individu tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga menjadi subjek aktif yang mampu menganalisis dan memahami struktur penindasan. Pendidikan kritis ini menjadi relevan dalam konteks Indonesia, di mana sistem pendidikan masih didominasi oleh pendekatan “banking system”. Dalam pendekatan ini, siswa dianggap sebagai wadah kosong yang diisi oleh pengetahuan dari atas, tanpa ruang untuk berpikir kritis. Akibatnya, sistem pendidikan kita mencetak individu-individu yang patuh terhadap otoritas tanpa mempertanyakan struktur yang menindas mereka. Jika kita ingin memutus rantai penindasan, maka pendidikan harus menjadi alat untuk membebaskan, bukan alat untuk melanggengkan hierarki. Kurikulum harus didesain untuk mendorong siswa memahami masalah sosial, berpikir kritis, dan berani mengambil tindakan. Perlawanan Harus Berbasis Kesadaran Freire mengajarkan bahwa pembebasan tidak akan datang dari atas, tetapi dari kesadaran kritis di kalangan kaum tertindas. Kesadaran ini lahir ketika mereka mulai memahami bahwa penindasan bukanlah takdir, melainkan hasil dari struktur yang bisa ddiubah Gerakan sosial yang berbasis akar rumput harus diperkuat. Dalam konteks Indonesia, organisasi masyarakat sipil, kelompok tani, dan komunitas adat memainkan peran penting dalam membangun kesadaran ini. Mereka adalah garda terdepan dalam memperjuangkan keadilan sosial. Namun, perjuangan ini tidak mudah. Seperti yang Freire ungkapkan, penindas tidak akan menyerahkan kekuasaan dengan sukarela. Perubahan membutuhkan keberanian untuk melawan narasi dominan dan menciptakan solidaritas di antara kaum tertindas. Harapan untuk Masa Depan Meskipun tantangan besar, sejarah mengajarkan kita bahwa perubahan selalu dimulai dari segelintir orang yang berani bermimpi dan bertindak. Kaum muda Indonesia memiliki peran strategis dalam membangun masa depan yang lebih adil. Dengan akses terhadap teknologi dan informasi, generasi muda memiliki peluang untuk mematahkan siklus penindasan. Namun, peluang ini hanya bisa dimanfaatkan jika kita berani melawan budaya pasif. Kita tidak bisa lagi menjadi penonton yang puas dengan janji-janji manis elite politik. Saatnya membangun budaya kritis di mana setiap individu sadar akan peran dan tanggung jawabnya dalam menciptakan perubahan. Paulo Freire benar ketika mengatakan bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk melawan penindasan. Tetapi, pendidikan itu tidak akan datang dari sistem yang dikendalikan oleh penindas. Pendidikan ini harus kita ciptakan sendiri, melalui diskusi, perlawanan, dan ssolidaritas Akhirnya, masa depan Indonesia ada di tangan kita semua. Pilihannya jelas: tetap terjebak dalam siklus penindasan, atau menjadi agen perubahan yang membebaskan diri kita dan orang lain. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan resmi redaksi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.