AloneTogether: Paradoks Kesepian di Era Digital
Iptek | 2024-11-21 18:18:03
Pernahkah Anda merasa sepi meskipun terhubung dengan ratusan atau bahkan ribuan orang melalui media sosial? Di era kemajuan internet saat ini, aplikasi pesan instan, media sosial, dan panggilan video hampir tiada henti memungkinkan kita untuk berkomunikasi dan menciptakan berbagi momen. Namun, dunia maya yang membuat kita lebih dekat satu sama lain ini justru malah membuat kita mengalami suatu paradoks menarik yakni meskipun kita berada di sekitar banyak orang, perasaan kesepian justru semakin terasa.
Istilah ini dapat disebut "Alone Together" mengacu pada fenomena di mana kita merasa lebih terhubung dengan orang lain tetapi pada saat yang sama juga merasa jauh dari mereka. Sebelum kita berbicara tentang kesepian di era modern, mari kita lihat bagaimana dunia maya telah mengubah cara kita berinteraksi. Teknologi telah membuat komunikasi lebih mudah daripada sebelumnya. Platform media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, dan TikTok memungkinkan kita tetap terhubung dengan teman, keluarga, bahkan orang-orang yang mungkin tidak pernah kita temui secara langsung.
Selain itu, akses ke informasi dan hiburan semakin mudah. Kita sekarang dapat menonton acara TV atau mendengarkan podcast favorit kita dimanapun dan kapanpun. Sekarang bahkan pertemuan atau konferensi kerja yang dulunya harus dilakukan secara tatap muka, kini dapat dilakukan secara virtual memungkinkan kolaborasi lintas negara dengan mudah. Banyak orang menganggap koneksi digital ini sebagai kemajuan, tetapi di lain sisi ada masalah yang perlu diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, meskipun penggunaan perangkat digital lebih banyak, tingkat kesepian di dunia modern malah meningkat.
Survei yang dilakukan oleh Cigna pada tahun 2019 menemukan bahwa hampir 46% orang dewasa di Amerika Serikat merasa kesepian. Hal ini terjadi meskipun hampir semua orang memiliki akses ke perangkat digital dan media sosial. Ketika kita mulai mempertanyakan kualitas hubungan yang terjadi di dunia maya, justru fenomena ini menjadi lebih jelas keadaan nya. Kedekatan nyata tidak selalu dihasilkan oleh kehadiran di dunia digital.
Setelah menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial, banyak orang merasa lebih terisolasi. Ironisnya, meskipun kita sering melihat orang berinteraksi dan berbagi momen bahagia, perasaan kesepian kita dapat semakin dalam karena perbandingan sosial yang kita lakukan. Fenomena Social Comparison, membandingkan diri kita dengan orang lain berdasarkan apa yang kita lihat di media sosial menjadi salah satu penyebab utama kesepian di era modern ini.
Ketika kita melihat cerita hidup orang lain yang terlihat sempurna atau gambaran hidup mereka yang ideal, kita bisa merasa bahwa kehidupan kita tidak sebaik mereka. Kemudian menyebabkan rasa rendah diri, cemas, insecure dan kesepian. Ketakutan akan ketinggalan, juga dikenal sebagai FOMO.
Keinginan untuk mengamati dan mengikuti apa yang dilakukan orang lain di media sosial, melihat mereka menikmati liburan, berpartisipasi dalam acara sosial, atau bahkan melakukan hal- hal menyenangkan lainnya tanpa kita merupakan hal yang sering membuat kita membandingkan kehidupan diri sendiri dengan orang lain. Akibatnya, kita merasa terisolasi dan cemas bahwa kehidupan kita tidak cukup menarik dibandingkan dengan orang lain.
Bayangkan jika kita dapat dengan mudah mengikuti kehidupan orang-orang mengirim pesan kepada teman di belahan dunia lain, dan bergabung dengan komunitas online besar. Namun, di sisi lain kita merasa kosong ketika kita berada di balik layar. Interaksi kita menjadi lebih dangkal, lebih berkonsentrasi pada berbagi data daripada membangun hubungan yang kuat.
Saat kita terlalu sibuk membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain di media sosial, kita akhirnya selalu merasa tidak cukup. Algoritma yang dibuat membuat kita selalu terhubung memperburuk perasaan kesepian ini.
Platform media sosial menciptakan "gelembung filter" menjauhkan kita dari perspektif yang berbeda dengan menyajikan konten yang sesuai dengan minat kita. Berakibat terjebak dalam lingkaran kecil informasi yang semakin memperkuat bias diri sendiri.
Kesepian dapat memiliki konsekuensi yang sangat serius. Penelitian menunjukkan bahwa kesepian dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan fisik lainnya, serta menghambat kemampuan kita untuk membangun hubungan yang sehat dan bermakna. Bagaimana kita bisa mengatasi rasa kesepian di era komputer dan internet? Membatasi waktu penggunaan perangkat bukanlah jawabannya. Perlu dilakukan perubahan yang lebih mendalam, seperti:
1. Membangun relasi yang nyata: Luangkan waktu untuk bertemu dengan orang terdekat Anda secara langsung, berpartisipasi dalam kegiatan bersama, dan berbagi pengalaman.
2. Bergabung dengan komunitas: Cari komunitas yang memiliki minat yang sama dengan Anda, baik secara online maupun offline. Berbicara dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama dapat membantu Anda merasa lebih terhubung.
3. Latih keterampilan sosial: Jangan ragu untuk mengambil kursus atau workshop yang dapat membantu Anda lebih baik dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
4. Praktikkan kesadaran diri dengan memperhatikan emosi dan pikiran Anda. Cobalah untuk mengambil jeda dan fokus pada hal-hal yang terjadi di sekitar Anda.
Selain mengubah cara kita berinteraksi satu sama lain, era digital juga membawa tantangan baru. Salah satu masalah yang perlu kita hadapi bersama adalah kesepian. Dengan memahami penyebabnya kemudian menggunakan pendekatan yang tepat, kita dapat mengatasi perasaan ini untuk membangun hubungan yang lebih sehat dan bermakna. Perlu diingat bahwa teknologi hanyalah alat, kitalah yang menentukan bagaimana menggunakannya. Semua orang pernah mengalami kesepian; namun, dengan pengetahuan dan upaya yang tepat kita dapat mengatasi kesepian tersebut demi menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan berkualitas.
Alyssa Putri Rachmawati, Mahasiswa Universitas Airlangga Prodi Ilmu Informasi dan Perpustakaan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.