Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yayang Nanda Budiman

Food Vlogger dan Seni Mengulas Kuliner Secara Berimbang

Kuliner | 2024-11-21 11:51:59

Belakangan, profesi food vlogger, food reviewer—atau apapun itu namanya— menjadi salah satu kegiatan yang cukup menjanjikan. Dulu, mungkin kita hanya mengenal Pak Bondan Winarno sebagai pengulas makanan legendaris yang selalu memberikan pendapat yang sangat berimbangan dan bijaksana.

Sebelum maraknya food vlogger seperti sekarang, kritikus makanan biasanya memiliki latar belakang dan pengalaman yang mendalam di dunia kuliner atau gastronomi. Namun, dengan hadirnya media digital, kini siapa pun bisa mengulas makanan dan membagikannya di berbagai platform seperti Tiktok, Youtube hingga Instagram.

Ilustrasi food vlogger (Gambar oleh: Pixabay)

Tapi sekarang, semakin banyak wajah baru di media sosial yang berperan dalam mengulas kuliner, fenomena ini merupakan ekses dari tingginya angka peminat tontonan kuliner baik sebatas hiburan maupun sebagai teman kala makan.

Tidak serupa dengan proses kontestasi Pemilu yang dipagari ambang batas, kesempatan menjadi food vlogger di era digital jauh lebih luas, inklusif dan demokratis.

Tak bisa dipungkiri, kehadiran food vlogger sangat membantu konsumen dalam mengambil keputusan. Namun, bagi pemilik usaha, situasinya seperti dua sisi koin—bisa menguntungkan sekaligus merugikan.

Di lapangan, banyak pemilik usaha yang tidak selalu menerima kehadiran dan kritik dari mereka. Sebab, jika ada ulasan negatif di media sosial, dampaknya bisa membuat warung makan tersebut sepi pengunju ng.

Namun, kendati konten yang mereka produksi cukup menghibur dan menyenangkan, ada sejumlah kebiasaan buruk yang sangat disesalkan. Salah satu kasus yang belakangan tengah menjadi sorotan perhatian publik adalah sebuah konten video yang diunggah oleh seorang food vlogger Debi Pratama menjadi viral di media sosial.

Tak sedikit netizen yang mendesak untuk memboikot konten kreator tersebut pasca video ulasannya di sebuah warung rawon legend di Jogja dianggap terlalu berlebihan dan terkesan menghina.

Peribahasa "Pembeli adalah raja" tidak bisa diterjemahkan secara ugal-ugalan. Akibatnya, pembeli seolah mendapat legitimasi untuk bertindak semaunya. Padahal, raja yang bijaksana harus paham akan batasan yang tak semestinya dilanggar, kecuali ia seorang raja yang tiran.

Apalagi jika kita sebagai pembeli mempunyai pengaruh dengan ratusan ribu pengikut di sosial media, setiap tindakan dan ucapan harus 5 kali lebih ketat dalam menyaring agar tak menjadi boomerang baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Jangan sampai apa yang telah kita lakukan—secara sadar atau tidak—menyebabkan runtuhnya usaha orang lain, para pegawai yang kehilangan kerjanya hingga nasib keluarga mereka yang dipertaruhkan. Jangan sampai atas hasrat konten dan FYP justru mengesampingkan rasionalitas dan empati terhadap orang lain.

Menyikapi sejauh mana menerjemahkan kebebasan berekspresi dalam konteks review kuliner masih menimbulkan sejumlah perdebatan. Pasalnya, pertentangan yang terjadi bukan perihal siapa yang melakukan ulasan, tapi efek yang ditimbulkan pasca ulasan tersebut dibuat konten dan disebarluaskan.

Bagaimanapun, memperdebatkan soal selera adalah hal yang sia-sia. Manusia mempunyai indera pengecap dengan lebar, panjang dan kepekaan yang tak sama. Selaku penonton yang bijak, letakkan ulasan food vlogger sebatas tambahan informasi dan referensi, bukan sebagai kebenaran mutlak. Meletakan ekspektasi yang berlebihan karena terperangkap dalam narasi dan mimik sang kreator kala menikmati makanan hanya akan membuahkan kekecewaan.

Dalam mereview kuliner tak selalu kita harus terjebak dalam respons yang klise, hiperbolis dan sensasional. Berikanlah ulasan secara berimbang dan fokus pada hal yang bersifat substansial. Cara ini bukan untuk meredam kritik, tapi bagaimana kritik itu dikemas secara lebih diplomatis.

Menikmati makanan yang enak adalah hak asasi manusia. Tapi, penilaian atas rasa "enak" sangat subjektif dan tidak ada peralatan yang tepat untuk menjustifikasi. Pastinya, mungkin ada kalanya mereka menemui kuliner yang tidak sesuai ekspektasi. Dan akan sangat berbahaya jika mereka mengekspresikan pendapat bahwa makanan itu nggak enak hanya karena nggak sesuai selera—apalagi mencantumkan nama tempatnya.

Ulasan dari food vlogger punya pengaruh besar dalam membentuk opini publik. Jadi, ulasan buruk dapat berisiko bagi rezeki orang lain. Jika makanan yang diulas nggak sesuai selera, mendingan jangan ditayangkan ke publik sekalian.

Di lain hal, apakah ulasan food vlogger bersifat netral dan imparsial? Belum tentu. Bagaimana jika produk kuliner yang ia review adalah endorsement? Jika itu benar, sebaiknya penonton juga dapat menilai mana konten yang bersifat iklan dan bukan.

Oleh karena itu sangat disayangkan, tak sedikit food vlogger yang keterbatasan literasi soal kuliner. Mereka merasa hanya dengan makan lahap di hadapan kamera dengan bumbu sejumlah kalimat template nan klise sudah cukup, padahal di balik sebuah hidangan yang disajikan selalu ada banyak cerita yang menarik untuk dibicarakan.

Barang tentu, food vlogger tidak perlu mengeksplorasi setiap teknik memasak sedetail chef Juna. Namun, setidaknya mereka harus tahu apa saja yang menjadi komposisi bahan baku makanan yang mereka nikmati sehingga dapat memprestasikan pengalaman yang ialami secara berimbangan atas apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari makanan yang mereka nikmati.

Setiap konsumen memiliki hak untuk menyampaikan kritik dalam berbagai bentuk dan dilindungi oleh UU Konsumen yang menegaskan bahwa konsumen berhak didengar pendapat dan keluhannya.

Namun, akan lebih baik jika kritik disampaikan langsung kepada pemilik usaha. Tindakan ini biasanya akan diterima dengan baik dan menjadi solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Dengan cara ini, restoran dapat memperbaiki diri dan mengatasi kekurangan yang ada.

Ketika kita bicara soal etika, itu menyangkut apa yang dianggap baik dan benar. Nah, definisi baik dan benar ini bisa berbeda-beda bagi setiap orang. Jadi, bagi seorang food vlogger, etika dalam memberikan ulasan sangat bergantung pada kebijaksanaan mereka sendiri. Selalu ingat, food vlogger perlu menemukan keseimbangan antara memberikan review yang jujur dan mempertimbangkan dampak dari ulasannya terhadap bisnis yang mereka ulas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image