#3 Serial Joko Tingkir: Fitnah dan Pengasingan
Sastra | 2024-11-20 12:56:59Mentari pagi menyinari balairung istana Demak, tetapi suasananya jauh dari hangat. Para bangsawan, prajurit, dan penasihat kerajaan telah berkumpul. Pembicaraan tersebar di sudut-sudut ruangan, masing-masing penuh spekulasi tentang agenda hari itu. Sultan Trenggono, dengan pakaian kebesaran berwarna emas, duduk di singgasana. Matanya memandang tegas ke arah depan, tempat Joko Tingkir berdiri. Ia mengenakan pakaian sederhana, tanpa ornamen kebesaran, tetapi posturnya tegak seperti seorang pendekar. “Joko Tingkir,” suara Sultan menggema. “Aku telah mendengar tuduhan berat terhadapmu. Kau dituduh bersekongkol dengan Pajang untuk melemahkan Demak. Apa kau ingin membela dirimu?” Joko mengangkat wajahnya. Tatapannya tegas, tetapi tidak ada amarah di sana. “Ampun, Paduka. Tuduhan itu tidak berdasar. Hamba tidak pernah mengkhianati Demak, apalagi Paduka yang hamba hormati.” Sultan mengangguk perlahan. Namun sebelum ia bisa berkata, seorang bangsawan maju dari barisan. Pangeran Ario, sepupu Sultan yang sejak lama menyimpan iri hati terhadap Joko Tingkir, membuka suaranya. “Paduka, hamba membawa bukti. Utusan Pajang terlihat berbicara dengan Joko di luar tembok istana. Ada saksi yang mendengar rencana mereka untuk merebut wilayah Demak!” “Ampun, Paduka,” potong Joko, nadanya tegas. “Utusan itu datang untuk urusan dagang. Hamba berbicara dengan mereka untuk memastikan keamanan perbatasan. Tidak ada pembicaraan tentang politik, apalagi rencana makar.” Pangeran Ario tertawa kecil. “Kau pandai berbicara, Joko. Tapi saksi-saksi kami tidak mungkin berbohong.” Sultan mengangkat tangannya. “Pangeran Ario, di mana saksi-saksimu?” Ario terdiam sejenak, lalu memberi isyarat kepada seorang pria tua yang berdiri di pintu balairung. Pria itu maju dengan langkah ragu-ragu, membawa gulungan kain sebagai bukti. “Saya melihat Joko berbicara dengan utusan Pajang, Baginda. Mereka terlihat seperti membuat perjanjian,” katanya, tetapi suaranya terdengar tidak yakin. Joko menatap pria itu dengan tajam. “Siapa yang memintamu mengatakan ini? Kau tahu itu tidak benar.” Saksi itu menunduk, menghindari tatapan Joko. Sultan, yang melihat ketidakpastian dalam kesaksian itu, merasa semakin berat untuk memutuskan.
2. Keputusan Sultan TrenggonoSultan Trenggono menarik napas panjang. Ia mengenal Joko Tingkir sebagai seorang ksatria yang setia. Namun, situasi politik Demak terlalu rumit untuk diabaikan. Para bangsawan telah lama memendam rasa tidak suka terhadap menantunya itu, dan membela Joko secara terang-terangan bisa memicu konflik. “Joko Tingkir,” Sultan akhirnya berkata, suaranya rendah namun tegas. “Aku tidak meragukan kesetiaanmu. Tetapi tuduhan ini telah tersebar luas. Demi menjaga stabilitas kerajaan, aku harus mengambil keputusan yang sulit.” Joko Tingkir menundukkan kepala. “Apa titah Paduka?” “Aku memutuskan untuk mengasingkanmu sementara. Pergilah ke wilayah Bengawan Solo. Tinggallah di sana sampai keadaan tenang. Aku yakin, suatu saat kebenaran akan terungkap.” Ruangan itu hening. Para bangsawan saling pandang, sebagian tampak puas, sebagian lainnya cemas. Joko Tingkir akhirnya mengangkat kepalanya. “Hamba menerima titah Paduka. Namun, izinkan hamba bersumpah di hadapan Baginda dan semua yang hadir di sini, bahwa hamba tidak pernah sekalipun berniat mengkhianati Demak.” Sultan mengangguk, matanya menunjukkan rasa bersalah. “Pergilah dengan kehormatan, Joko. Aku percaya kau akan kembali sebagai ksatria yang lebih kuat.”
3. Perjalanan Menuju PengasinganJoko Tingkir meninggalkan istana Demak tanpa banyak bicara. Di sepanjang perjalanan menuju Bengawan Solo, ia merenungkan fitnah yang menimpanya. Kecemburuan dan ambisi politik telah menjadikannya korban, tetapi ia tidak akan menyerah pada keadaan. Malam itu, di tengah hutan, ia beristirahat di bawah pohon besar. Suara binatang malam memenuhi udara, tetapi Joko tetap waspada. Nalurinya sebagai pendekar mengatakan ada bahaya yang mengintai. Benar saja, sekelompok bandit muncul dari kegelapan. Pemimpinnya, seorang pria besar dengan pedang panjang, berbicara lantang. “Serahkan semua yang kau miliki, atau kami akan mengambil nyawamu!” Joko berdiri perlahan, menghadap mereka dengan tenang. “Aku hanya membawa diriku sendiri. Tapi jika kalian memaksa, aku tidak segan-segan melawan.” Bandit itu tertawa. “Sendirian melawan kami? Kau pasti bercanda.” Sebelum mereka menyerang, Joko bergerak cepat. Dengan ilmu silatnya yang mumpuni, ia melumpuhkan dua bandit dalam hitungan detik. Sisanya mundur ketakutan, tetapi pemimpin mereka maju dengan amarah. Pertarungan berlangsung sengit. Meski akhirnya Joko menang, ia menderita luka cukup parah di bahunya. Bandit itu melarikan diri, meninggalkan Joko yang terhuyung-huyung di tempatnya.
4. Pertemuan dengan Ayu Laras
Ketika Joko hampir kehilangan kesadaran, seorang perempuan muda muncul dari balik pepohonan. Dengan langkah cepat, ia mendekati Joko dan memeriksa lukanya. “Bapak, bangunlah,” katanya lembut. Joko membuka matanya perlahan. “Siapa kau?” “Aku Ayu Laras. Kau terluka. Jangan banyak bicara. Aku akan membantumu,” jawab perempuan itu sambil menopang tubuh Joko. Ayu membawanya ke desa kecil tempat tinggalnya. Di sana, ia merawat Joko dengan ramuan herbal dan makanan sederhana. Selama beberapa hari, Joko beristirahat, dan perlahan-lahan mulai pulih. “Kenapa kau di sini, jauh dari Demak?” tanya Ayu suatu malam, saat mereka duduk di depan api unggun. “Karena fitnah,” jawab Joko, suaranya penuh kepahitan. “Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan kembali dan membersihkan namaku.” Ayu tersenyum kecil. “Aku percaya kau bisa melakukannya. Kau punya kekuatan dan keyakinan. Itu lebih dari cukup.” Hubungan mereka tumbuh dalam kehangatan dan kepercayaan. Ayu, dengan kelembutannya, membantu Joko menemukan kembali harapan di tengah keterasingannya.
5. Janji di Bawah Bintang Di suatu malam, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Joko duduk bersama Ayu. Ia menatap ke arah sungai yang mengalir tenang, lalu berkata, “Ayu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi aku berjanji, aku akan melawan semua fitnah ini dan kembali dengan nama yang bersih.” Ayu memegang tangannya. “Kau tidak sendirian, Joko. Jika kau membutuhkan bantuanku, aku akan ada untukmu.” Joko terdiam, merasa terharu oleh ketulusan Ayu. Dalam hatinya, ia tahu bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.
6. Penutup Bab
Bab ini mengisahkan perjuangan Joko Tingkir melawan fitnah yang menghancurkan reputasinya, perjalanan beratnya menuju pengasingan, dan pertemuannya dengan Ayu Laras yang menjadi titik terang dalam kegelapan. Dengan tekad yang kuat, Joko bersumpah untuk kembali ke Demak, membawa kebenaran dan kehormatan sebagai ksatria sejati. ---
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.