Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image M Nazar IlhamXI.3

'Kata-kata yang Terlupakan'

Sastra | 2024-11-18 00:16:35



Di sebuah desa kecil, ada seorang anak bernama Alif. Usianya sudah 12 tahun, tapi di matanya, dunia ini terasa lebih besar daripada yang bisa ia pahami. Alif sering bermain bersama teman-temannya di ladang, berlarian mengejar kupu-kupu, atau duduk di bawah pohon sambil bercerita tentang mimpi-mimpi sederhana. Namun, ada satu hal yang selalu mengganggunya. Alif takut menjadi dewasa.
Setiap kali ayahnya berkata, “Kamu sudah besar, Alif. Sebentar lagi kamu akan masuk ke jenjang yang lebih serius,” dadanya terasa sesak. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang akan hilang—sesuatu yang belum bisa ia jelaskan.
Suatu hari, saat bermain di dekat sungai, Alif duduk termenung di atas batu besar. Teman-temannya sudah pulang, tetapi Alif tetap tinggal di sana, menatap arus air yang bergerak dengan tenang. Ibunya mendekatinya, membawa sekeranjang buah.
“Ada apa, Nak?” tanya ibunya, duduk di samping Alif.
Alif menggelengkan kepala, mencoba menahan perasaan yang sulit ia ungkapkan. “Ibu, apakah menjadi dewasa itu menakutkan?”
Ibunya terdiam sejenak, memandang anaknya dengan penuh kasih. “Menjadi dewasa memang penuh dengan tanggung jawab. Ada banyak hal yang harus dipikirkan. Tapi, itu juga tentang memilih jalan hidup yang kamu inginkan. Menjadi dewasa tidak berarti kehilangan kebahagiaan, Nak. Justru, itu adalah kesempatan untuk lebih mengenal dunia, dan dirimu sendiri.”
Alif merenung. Ia memikirkan kata-kata ibunya. Namun, rasa takut itu masih ada. Ia takut kehilangan kebebasan masa kecilnya, takut tidak lagi bisa bermain seperti dulu, takut tidak bisa lagi bercanda dengan teman-temannya tanpa khawatir tentang masa depan.
Suatu malam, saat Alif sedang duduk di tepi ranjangnya, ayahnya masuk ke kamar. Ayahnya duduk di sampingnya dan berkata pelan, “Kamu takut, kan? Menjadi dewasa?”
Alif hanya mengangguk. “Iya, Ayah. Rasanya... aku tidak siap.”
Ayahnya tersenyum lembut. “Tidak ada yang siap sepenuhnya, Nak. Setiap orang harus belajar untuk tumbuh. Tapi, ingatlah, bahwa saat kamu dewasa nanti, kamu akan tetap membawa kenangan indah masa kecilmu. Kamu bisa memilih untuk tetap menjaga kebahagiaan itu dalam hidupmu.”
“Ayah juga takut?” tanya Alif penasaran.
Ayahnya tertawa kecil. “Tentu saja. Tapi aku belajar bahwa hidup ini tidak harus terasa berat. Setiap langkah yang kita ambil, baik atau buruk, adalah bagian dari perjalanan. Dan yang terpenting, kita tidak pernah benar-benar sendirian.”
Alif menatap ayahnya dengan mata yang mulai sedikit terang. Ia merasa sedikit lebih tenang, meski ketakutannya belum sepenuhnya hilang. Tapi ia tahu, ia tak perlu terburu-buru untuk menjadi dewasa. Ada waktu untuk tumbuh, ada waktu untuk belajar, dan yang paling penting, ada waktu untuk merasakan kebahagiaan yang tak akan pernah ia lupakan—baik sebagai anak-anak, maupun kelak sebagai orang dewasa.
Ketakutannya itu tidak menghilang begitu saja, tetapi ia mulai mengerti bahwa tumbuh dewasa bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah awal dari perjalanan yang baru—yang penuh dengan kemungkinan, dan penuh dengan har
Dan dengan itu, Alif menutup matanya, membiarkan mimpi indah masa kecilnya mengisi setiap sudut hatinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image