Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image M.Raihan Fikri

Hantu di Balik Cermin

Sastra | 2024-11-15 10:31:00

"Hantu di Balik Cermin"

Di sebuah desa kecil yang terletak di ujung utara, ada sebuah rumah tua yang konon dihuni oleh makhluk tak kasat mata. Rumah itu sudah lama kosong, meskipun kabar mengenai keberadaannya sering beredar di kalangan penduduk desa. Banyak yang mengatakan, rumah itu dihantui oleh arwah seseorang yang mati secara tragis, namun tidak ada yang tahu pasti cerita lengkapnya.

Malam itu, pakhri, seorang mahasiswi yang sedang menjalani KKN, bersama dua temannya, Raihan dan adrian, memutuskan untuk menjelajahi rumah tersebut. Ketiganya memang sudah sering mendengar cerita-cerita aneh tentang rumah tua itu, tetapi rasa penasaran mereka lebih besar daripada ketakutan.

"Ayo, kita masuk ke dalam. Cuma sekali-sekali, kan?" kata Raihan dengan nada bersemangat. Meskipun sedikit takut, ia mencoba untuk mengesampingkan rasa takut itu.

Adrian, yang tadinya ragu, akhirnya mengangguk. "Tapi, kalau ada yang aneh, kita langsung keluar, ya?" ujar adrian dengan suara sedikit gemetar.

Pakhri memimpin mereka memasuki halaman rumah. Pintu depan rumah itu sudah rusak, dengan pelitur yang mengelupas dan bingkai pintu yang hampir copot. Ketika mereka melangkah masuk, bau apek dan debu langsung menyambut hidung mereka. Ruang depan rumah itu terlihat gelap, hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah jendela yang pecah.

"Ini rumah seperti tak terjamah selama bertahun-tahun," kata pakhri sambil menyapu debu dari meja kayu tua di ruang tengah.

"Tapi kenapa ada cermin besar di sana?" tanya Raihan, menunjuk ke pojok ruangan yang tampak suram. Cermin itu berdiri tegak di atas lantai, meski bingkainya sudah patah di beberapa bagian.

Pakhri mendekatkan diri ke cermin itu, matanya tercermin dalam permukaan kaca yang buram. Ada sesuatu yang aneh di sana. Ia merasa cermin itu seolah-olah mengawasi mereka. "Cermin ini seperti punya kisahnya sendiri," kata pakhri pelan.

Adrian, merasakan bulu kuduknya meremang. "Jangan terlalu dekat-dekat, pakhri," katanya. "Aku tidak suka dengan cermin itu."

Pakhri tertawa, berusaha menenangkan temannya. "Kalian terlalu berpikir keras. Ini cuma cermin biasa."

Namun, saat pakhri menatap lebih lama ke dalam cermin, ia merasakan ada yang tidak beres. Bayangannya di dalam cermin terlihat sedikit lebih lama bergerak, seolah ada yang lain di baliknya. Cermin itu mulai berkabut, dan bayangan pakhri tampak semakin kabur.

"Eh, ada apa itu?" adrian menunjuk dengan wajah pucat, matanya terbelalak.

Pakhri menoleh dan melihat apa yang dilihat adrian. Di dalam cermin, di balik bayangannya, tampak sebuah sosok wanita berpakaian putih, dengan rambut panjang yang tergerai, berdiri membelakangi mereka. Sosok itu tidak bergerak, hanya diam mematung.

"Siapa itu?" Raihan bertanya, suaranya bergetar.

Tiba-tiba, suara tertawa lembut terdengar dari dalam cermin. Lalu, sosok itu perlahan mulai berputar, menghadap ke arah mereka. Wajah wanita itu tampak kabur dan tidak jelas, tetapi ada satu hal yang membuat Pakhri, Raihan, dan Adrian membeku ketakutan—matanya kosong, hanya dua lubang hitam yang dalam.

"Ada yang salah!" teriak Adrian, mundur perlahan.

Tapi, saat mereka berbalik untuk melarikan diri, pintu rumah tiba-tiba tertutup dengan keras. Mereka terperangkap di dalam.

"Cermin itu dia dia hidup!" Pakhri berusaha berteriak, namun suara itu hanya terdengar teredam di telinganya.

Tiba-tiba, suara berderak datang dari lantai. Mereka melihat bayangan-bayangan bergerak cepat melintasi dinding, dan dari celah-celah jendela, muncul tangan-tangan putih yang menempel di kaca. Ada sesuatu yang mendekat dari belakang mereka.

"Ke mana kita harus pergi?!" teriak Raihan, ketakutan.

Pakhri mencoba membuka jendela, tetapi tak bisa. "Tidak ada jalan keluar, kita terjebak!" serunya.

Sosok di dalam cermin mulai melangkah keluar. Langkahnya berat dan menggema. Wanita berpakaian putih itu tampak semakin nyata, seakan-akan ia bisa merasuk ke dalam dunia nyata. Wajahnya kini terlihat jelas—penuh dengan luka-luka mengerikan, seolah telah mati dengan cara yang sangat kejam.

"S-Siapa siapa kau?" tanya Pakhri, suaranya gemetar.

Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia hanya melangkah mendekat, langkah demi langkah, semakin dekat dan semakin nyata. Setiap kali ia bergerak, lantai rumah berderak seakan menggerang kesakitan.

"Adrian, Raihan, kita harus keluar dari sini! Cepat!" Pakhri berteriak, menarik tangan kedua temannya.

Namun, langkah mereka terhenti ketika sosok itu berhenti tepat di depan mereka. Wajah wanita itu tersenyum tipis, namun senyumnya bukanlah senyum yang menenangkan. Itu adalah senyum yang penuh penderitaan, senyum dari arwah yang terperangkap.

"Lihat," kata wanita itu dengan suara yang lebih seperti bisikan angin. "Aku ingin kamu tahu siapa yang telah mengubah hidupku. Siapa yang menghancurkanku."

Adrian menjerit, matanya membelalak ketakutan. "Apa yang kau inginkan?"

Wanita itu mulai berbicara lebih keras, suaranya kini seperti raungan. "Kamu kalian adalah keturunan dari orang-orang yang menyebabkan kematianku. Sekarang, saatnya aku mengambil kembali apa yang dulu hilang!"

Seketika, cermin di belakang mereka pecah, dan dari reruntuhannya, muncul bayangan-bayangan lain—arwah-arwah yang terkunci di dalam rumah itu.

"Selamat datang di rumahmu yang baru," kata wanita itu, suara berat dan penuh dendam.

Pakhri, Raihan, dan Adrian merasa tubuh mereka semakin berat, kaki mereka tidak bisa bergerak, seolah-olah dunia di sekitar mereka berputar, dan mereka perlahan mulai tenggelam dalam kegelapan. Tak lama setelah itu, suasana kembali sunyi, hanya ada jejak-jejak yang tertinggal di atas lantai, dan rumah tua itu kembali sunyi. Namun, siapa pun yang datang ke sana, akan merasakan kehadiran mereka—kehadiran yang tak pernah bisa hilang.

Mereka menjadi bagian dari cerita rumah tua itu, terperangkap dalam waktu dan bayangan yang tak terungkapkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image