Kesalehan Superfisial: Paradoks Citra Religius dan Penyimpangan Moral
Kolom | 2024-11-11 04:47:55Belakangan ini, berita nasional didominasi oleh kasus amoral yang melibatkan tokoh agama. Sudirman, seorang tokoh agama sekaligus ketua Yayasan salah satu panti asuhan di Tangerang telah melakukan child grooming dan pelecehan seksual kepada anak-anak asuhnya dalam rentang waktu bertahun-tahun lamanya. Pertanyaan terbesar adalah mengapa sosok yang dianggap memiliki kesadaran spiritual dan moral yang tinggi ini bisa melanggar prinsip agama dengan melakukan perilaku menyimpang? Apa yang mendorong sosok tersebut memiliki dua sisi yang sangat bertolak belakang ini?
Lembaga pendidikan berasrama dan panti asuhan, yang idealnya menjadi tempat untuk mendidik anak-anak dengan nilai agama dan moral, dalam beberapa kasus justru didapati adanya penyimpangan moral. Banyak kasus penyimpangan amoral yang dilakukan oleh guru dan pengasuh kepada para anak didik dan anak asuh.
Penyimpangan yang dilakukan tersebut tentunya tidak lepas dari adanya dorongan internal individu. Beberapa pelaku kejahatan ini adalah korban yang mengalami trauma masa kecil. Mereka yang mengalami pelecehan seksual saat anak-anak berisiko lebih tinggi untuk menjadi pelaku berulang. Sayangnya, mereka tidak menyadarinya dan terus berada dalam lingkaran ini.
Para pelaku dinilai gagal dalam mengendalikan impuls seksual amoral ini, meskipun mereka menyadari bahwa tindakan tersebut buruk dan memiliki konsekuensi. Teori kontrol diri yang dikembangkan oleh Michael Gottfredson dan Travis Hirschi menjelaskan bahwa dengan kontrol diri yang rendah, pelaku akan bertindak cepat dan tidak mampu menunda impuls seksual yang kuat, sehingga bertindak tanpa memikirkan norma agama dan sosial dan dampaknya dalam jangka waktu yang panjang.
Selain kontrol diri yang rendah, juga ada kemungkinan bahwa pelaku mengalami regresi moral. Meskipun mengetahui perilaku tersebut tidak benar, mereka akan tetap melakukannya demi memenuhi kebutuhan emosional dan dorongan egosentris. Seperti yang dijelaskan oleh Kohlberg bahwa tindakan pelaku tersebut didorong oleh kebutuhan pribadi yang lebih tinggi dibandingkan prinsip moral.
Sebagai tokoh agama, pelaku cenderung merasionalisasi tindakan mereka dengan menyangkal kejahatan yang dilakukan demi melindungi citra diri mereka. Self serving bias ini membuat pelaku menilai Tindakan mereka secara positif. Mereka menganggap perilaku mereka adalah bentuk kasih sayang dan perhatian, bukan sebuah tindakan yang buruk.
Beberapa faktor internal diatas didukung pula dengan posisi pelaku sebagai otoritas tertinggi dalam struktur sosial lembaga tersebut. Adanya penyalahgunaan kekuasaan dan otoritas yang kuat ini menciptakan dinamika asimetris antara pelaku sebagai tokoh agama yang dominan dan korban selaku anak didik yang lemah. Inilah yang menyebabkan mereka tidak bersuara meskipun telah diperlakukan dengan keji oleh sosok yang dianggap agamis ini. Kondisi ini dijelaskan oleh Milgram dalam teori power and obedience, bahwa individu cenderung patuh pada otoritas, walaupun melanggar nilai-nilai moral. Korban cenderung tidak berdaya melawan kekuasaan yang besar sehingga memilih untuk patuh dan memendam kejadian tersebut.
Peristiwa ini tentunya menjadi mimpi buruk sepanjang hidup bagi para korban. Selain adanya kerusakan fisik, dampak psikologis yang mendalam juga dialami oleh korban. Korban akan mengalami trauma yang berpotensi berkembang semakin dalam menjadi PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Adanya mimpi buruk yang terus muncul, kecemasan berlebihan, hingga depresi berat dan berkepanjangan akan dialami korban. Keputusasaan juga akan membayang-bayangi hidupnya hingga korban tidak mampu menjalankan keberfungsian dirinya secara normal. Tak jarang korban merasa kehilangan harga diri dan penurunan citra diri. Hal ini pun akan mendorong korban untuk mengisolasi diri dari lingkungannya karena merasa malu, takut akan penilaian orang bahkan karena trauma itu sendiri.
Kasus ini memberikan tantangan yang tidak mudah. Proses pemulihan untuk korban membutuhkan integrasi dari berbagai pihak. Perlu upaya yang signifikan untuk memulihkan dan mengembalikan kesejahteraan psikologis para korban. Korban tentu memerlukan intervensi psikologis yang intensif dalam mengatasi dampak psikologis yang muncul, seperti terapi jangka panjang dan konseling berulang. Dukungan keluarga, orang terdekat dan Masyarakat luas juga berperan penting dalam proses ini, sehingga diharapkan tidak adanya stigma negatif yang ditujukan kepada korban.
Selain korban, para pelaku tampaknya juga perlu diberikan perhatian khusus, selain tentunya dijatuhkan hukuman yang tegas dan setimpal. Langkah awal yang bisa diambil adalah mengidentifikasi akar penyebabnya, sehingga dapat memberikan gambaran lebih jelas untuk menentukan intervensi yang sesuai. Harapannya, intervensi ini dapat memutus mata rantai kasus asusila ini, sehingga ketika pelaku telah bebas dari segala hukuman, perilaku amoralnya itu juga tidak terulang kembali.
Beranjak dari besarnya bahaya yang ditimbulkan akibat perilaku menyimpang ini, perlu adanya bekal sejak dini bagi anak-anak berupa edukasi seksual dan kesadaran diri. Anak harus dikenalkan dengan konsep privasi terhadap bagian-bagian tubuh. Tanamkan pula keberanian untuk mengatakan tidak dan menolak hal-hal yang membuat mereka merasa tidak nyaman, meski dari seorang yang mereka hormati sekalipun. Anak juga harus diajarkan untuk memahami kondisi-kondisi yang membahayakan dirinya atau situasi yang tidak pantas dan segera melaporkan kepada orang dewasa yang dipercayai jika hal tersebut terjadi. Pengajaran ini tentunya sejalan dengan pengembangan kepercayaan diri anak. Anak harus diberikan penguatan rasa percaya diri. Orang tua sangat berperan dalam pembentukan kepercayaan diri anak. Hal ini akan menjadi pondasi kuat bagi anak melawan kemungkinan terjadinya tekanan atau pelecehan di masa depan.
Kasus ini seperti gunung es yang hanya terlihat sedikit dipermukaan, sementara kasus-kasus serupa juga terjadi di tempat lain. Kurangnya kepekaan terhadap sinyal-sinyal dari para korban dan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) menyebabkan kasus ini seperti sulit dibendung. Seperti lingkaran setan, para pelaku umumnya adalah korban di masa lalu yang mengulangi perilaku itu kepada orang lain. Perlu peran dari berbagai pihak untuk memutus mata rantai kejahatan seksual yang berkedok jubah kewibawaan agama ini. juga penting dilakukan pendekatan multidimensional yang meliputi edukasi seksual, intervensi kepada korban dan perlunya reformasi pada Lembaga terkait. Dengan demikian, diharapkan kelak tidak ada lagi anak-anak yang dirusak mental dan masa depannya. Semoga!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.