Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Hikayat Penjaga Timah Belitong

Sastra | 2024-11-10 10:35:13
Dokumen flickr


Tersurat dalam hikayat zaman dahulu kala, di Pulau Belitong yang kaya akan timah dan menawan akan keindahan alamnya, hiduplah seorang pemuda bernama Awang Perkasa. Ia berasal dari kampung nelayan di pesisir Tanjung Pandan, anak seorang penambang timah tradisional yang dikenal dengan sebutan "wong kongsi."
Pada masa itu, tahun 1850-an, Belitong berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang. Tanah Belitong terkenal akan kekayaan timahnya yang berlimpah, menarik perhatian para pedagang dari berbagai penjuru Nusantara hingga negeri Tiongkok.
Awang tumbuh menyaksikan para penambang timah tradisional berjuang keras mencari penghidupan di antara aturan-aturan ketat penguasa. Setiap hari, ia melihat ayahnya pulang dengan tubuh berlumpur dan wajah letih, namun tak pernah mengeluh. "Timah ini anugerah dari Yang Maha Kuasa untuk tanah kita," begitu pesan sang ayah kepadanya.
Suatu hari, ketika Awang sedang mencari kerang di pantai, ia bertemu dengan seorang tetua kampung bernama Tok Pawang. Orang tua ini terkenal akan kebijaksanaannya dan pengetahuannya tentang adat istiadat Melayu Belitong. Tok Pawang melihat sesuatu yang istimewa dalam diri Awang.
"Anak muda," kata Tok Pawang, "tahukah engkau bahwa tanah Belitong ini dijaga oleh para kelekak? Mereka adalah makhluk halus penjaga timah. Tidak sembarang orang dapat melihat mereka, hanya mereka yang suci hatinya dan memiliki tekad besar untuk membawa kesejahteraan bagi negerinya."
Mendengar kata-kata Tok Pawang, Awang tergerak hatinya. Ia memohon kepada Tok Pawang untuk mengajarinya ilmu kebatinan dan pengetahuan tentang adat istiadat Melayu Belitong. Tok Pawang menyanggupi, namun memberikan syarat yang berat.
"Engkau harus menjalani tujuh ujian suci," kata Tok Pawang. "Setiap ujian akan membawamu lebih dekat kepada rahasia tanah Belitong. Namun ingat, setiap tantangan yang engkau hadapi setimpal dengan ilmu yang akan engkau dapatkan."
Ujian pertama mengharuskan Awang bertapa di Gunung Tajam selama empat puluh hari. Di sana, ia harus bertahan dari godaan para makhluk halus dan belajar memahami bahasa alam. Angin yang berhembus membawa pesan, daun yang bergerak menyimpan pertanda.
Ujian kedua membawanya menyelami lautan dalam di sekitar Pulau Lengkuas. Ia harus menemukan mutiara sakti yang dijaga oleh naga laut. Dalam pencariannya, ia berteman dengan berbagai makhluk laut dan belajar bahwa kerendahan hati lebih berharga dari segala kesaktian.
Ujian ketiga mengharuskannya tinggal di hutan bakau selama tujuh hari tujuh malam, bermeditasi di antara akar-akar bakau yang kokoh. Di sini ia belajar dari ketangguhan pohon bakau yang mampu bertahan dalam dua alam: air dan daratan.
Ujian keempat membawanya ke tambang-tambang timah tua, mencari "timah putih" yang dapat berbicara. Dalam pencariannya, ia bertemu dengan arwah para penambang terdahulu yang mengajarkannya tentang pentingnya menghormati alam dan tidak serakah dalam mengambil hasil bumi.
Ujian kelima mengharuskannya memahami "Bahasa Tanah," yaitu kemampuan untuk membaca tanda-tanda alam yang menunjukkan keberadaan timah. Ia belajar dari para kelekak yang akhirnya menampakkan diri padanya.
Ujian keenam adalah ujian kesabaran, di mana ia harus menjadi penengah dalam perselisihan antara para penambang tradisional dengan pedagang asing yang ingin menguasai tambang timah. Dalam proses ini, ia belajar tentang diplomasi dan kebijaksanaan dalam memimpin.
Ujian terakhir dan terberat adalah ketika ia harus memilih antara kekayaan pribadi atau kesejahteraan kampungnya. Seorang saudagar kaya dari negeri seberang menawarkan harta berlimpah jika ia mau membantunya menguasai tambang-tambang timah di Belitong.
Dengan kebijaksanaan yang telah ia pelajari, Awang memilih untuk menolak tawaran tersebut. Ia justru mengajarkan kepada masyarakat kampungnya cara-cara menambang yang lebih baik dan lestari, serta bagaimana menjaga keseimbangan alam.
Keputusannya membawa berkah. Para kelekak yang terkesan dengan ketulusan hatinya memberikan "Ilmu Pemahaman Tanah" yang membuat tambang-tambang timah tradisional menjadi lebih makmur tanpa merusak alam. Awang kemudian diangkat menjadi pemimpin adat yang dihormati.
Kisah Awang Perkasa menjadi legenda yang dituturkan turun-temurun di tanah Belitong. Ia mengajarkan bahwa kekayaan sejati tidak terletak pada timah yang dapat digali dari dalam tanah, melainkan pada kebijaksanaan dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan para penghuninya yang tak kasat mata.
Hingga kini, para tetua di Belitong masih meyakini bahwa mereka yang menambang timah dengan keserakahan akan mendapat kutukan dari para kelekak. Sementara mereka yang menghormati tanah dan adat istiadat akan selalu diberkahi dengan rezeki yang mencukupi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image