Sayap yang Patah
Sastra | 2024-11-07 14:14:46
Langit senja menyapa dari jendela kamar Ara. Seorang gadis berusia 17 tahun yang kini terbaring lemah di atas kursi roda. Matanya yang sendu menatap burung-burung yang bebas terbang di luar sana. Setahun yang lalu, dia adalah salah satu atlet gimnastik berbakat di sekolahnya. Namun semuanya berubah sejak kecelakaan itu terjadi.
"Ara, waktunya terapi," suara lembut ibunya memecah keheningan.
Ara hanya mengangguk pelan. Sudah setahun ini dia menjalani terapi, tapi belum ada tanda-tanda dia bisa berjalan normal lagi. Para dokter mengatakan ada kemungkinan 50:50, tapi Ara mulai kehilangan harapan.
"Bu, aku lelah," bisik Ara saat ibunya mendorong kursi rodanya menuju ruang terapi.
"Sayang, ingat apa kata dokter? Kamu masih punya harapan. Jangan menyerah, ya?"
Ara terdiam. Dia ingat bagaimana dulu dia bisa melakukan gerakan-gerakan gimnastik yang memukau. Sekarang? Jangankan melompat, berdiri saja dia masih kesulitan.
Di ruang terapi, Ara bertemu dengan Kak Rio, terapis barunya. Berbeda dengan terapis sebelumnya, Kak Rio memiliki cara sendiri dalam memotivasi pasiennya.
"Ara, kamu tahu kenapa kupu-kupu bisa terbang?" tanya Kak Rio di sela-sela sesi terapi.
Ara menggeleng.
"Karena dia berani keluar dari kepompongnya. Proses yang menyakitkan, tapi dia tidak menyerah. Dan lihat hasilnya? Dia bisa terbang dengan sayap indahnya."
Kata-kata itu menusuk hati Ara. Selama ini, dia memang seperti terkurung dalam kepompong kesedihannya sendiri.
"Tapi bagaimana kalau aku gagal, Kak? Bagaimana kalau aku tidak bisa berjalan lagi?" tanya Ara dengan suara bergetar.
"Kegagalan itu seperti jatuh saat belajar berjalan, Ara. Anak kecil tidak berhenti mencoba hanya karena dia jatuh sekali, dua kali, atau berkali-kali. Mereka terus bangkit sampai akhirnya bisa berjalan dengan tegak."
Hari demi hari berlalu. Ara mulai membuka dirinya pada proses terapi. Meski masih sering merasa frustrasi, dia tidak lagi menyerah semudah dulu. Setiap kali merasa putus asa, dia teringat kata-kata Kak Rio tentang kupu-kupu.
Suatu hari, saat sedang berlatih dengan parallel bar, Ara terjatuh. Air mata mengalir di pipinya, bukan karena rasa sakit, tapi karena rasa frustasi.
"Aku tidak bisa, Kak!" teriaknya.
"Kamu bisa, Ara. Jatuh bukan berarti gagal. Gagal bukan berarti selamanya. Ayo, coba lagi."
Dengan bantuan Kak Rio, Ara kembali mencoba. Kali ini, dia berhasil berdiri lebih lama dari sebelumnya.
Enam bulan berlalu. Perlahan tapi pasti, kondisi Ara mulai membaik. Dia sudah bisa berdiri dan berjalan beberapa langkah dengan bantuan kruk. Meski belum sempurna, tapi kemajuan ini memberinya harapan baru.
Di rumah, Ara mulai membuka album foto lamanya. Ada foto-foto saat dia masih aktif berlatih gimnastik. Dulu, melihat foto-foto itu hanya membuatnya sedih. Tapi kini, foto-foto itu justru memberinya kekuatan.
"Bu," panggil Ara suatu malam. "Aku ingin kembali ke sekolah."
Ibunya terkejut sekaligus bahagia mendengar keinginan putrinya. Selama ini, Ara menolak untuk kembali ke sekolah karena malu dengan kondisinya.
"Kamu yakin, sayang?"
"Ya, Bu. Mungkin aku tidak bisa lagi menjadi atlet gimnastik, tapi aku masih bisa melakukan hal lain. Aku tidak mau terus terkurung dalam ketakutanku."
Hari pertama kembali ke sekolah memang tidak mudah. Beberapa siswa memandanginya dengan tatapan iba, tapi Ara sudah siap menghadapinya. Dia ingat kata-kata Kak Rio: "Keberanian bukan berarti tidak takut, tapi tetap melangkah meski dalam ketakutan."
Di sekolah, Ara menemukan passion barunya dalam menulis. Dia mulai menulis blog tentang pengalamannya pulih dari kecelakaan, berbagi cerita dengan mereka yang juga sedang berjuang melawan keterbatasannya.
Setahun kemudian, Ara sudah bisa berjalan normal meski kadang masih membutuhkan bantuan tongkat. Dia mungkin tidak bisa kembali menjadi atlet gimnastik, tapi dia telah menemukan tujuan baru dalam hidupnya.
"Kak Rio," kata Ara suatu hari, "terima kasih sudah mengajariku tentang arti keberanian yang sesungguhnya."
"Apa itu?" tanya Kak Rio sambil tersenyum.
"Bahwa menjadi berani bukan berarti tidak pernah gagal, tapi berani untuk terus mencoba meski kita pernah gagal. Seperti kupu-kupu yang berani keluar dari kepompongnya, atau seperti anak kecil yang berani bangkit setelah jatuh berkali-kali."
Kak Rio mengangguk bangga. "Dan lihat dirimu sekarang, Ara. Kamu sudah menjadi kupu-kupu yang indah dengan caramu sendiri."
Ara tersenyum. Ya, mungkin sayapnya pernah patah, tapi dia telah belajar untuk terbang dengan cara yang berbeda. Kegagalan memang menyakitkan, tapi tidak pernah ada kata terlambat untuk bangkit dan mencoba lagi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.