Resensi Buku: Barus Melting Pot Dunia
Sejarah | 2024-11-05 20:32:37Barus Melting Pot Dunia
Oleh Sarkawi B. Husain
Judul Buku: Barus Seribu Tahun yang Lalu
Penulis: Claude Guillot
Penerbit: KPG-EFEO-Association Archipel-Pusat Penelitian arkeologi Nasional
Akhir Maret 2017, sejarah masuknya Islam di Nusantara heboh. Pasalnya, Presiden RI Joko Widodo pada rangkaian Silaturahmi Nasional Jamiyah Batak Muslim Indonesia (JBMI), 24-25 Maret 2017, di Mandailing Natal menetapkan Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara. Dengan penetapan itu, maka Samudra Pasai atau Peureulak yang selama ini diketahui dan diajarkan di sekolah-sekolah sebagai tempat masuknya Islam yang pertama di Nusantara menjadi perdebatan.
Perdebatan tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, tidak hanya tentang di mana pertama kali Islam masuk, tetapi juga menyangkut tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Inilah yang menyebabkan M.C. Ricklefs - seorang Indonesianis yang sangat disegani – mengatakan bahwa penyebaran agama Islam ke Nusantra merupakan proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Akan tetapi proses itu juga yang paling tidak jelas.
* * *
Buku ini merupakah hasil dari salah satu kegiatan yang dilakukan dalam rangka ketja sama antara Ėcole francaise d’Extréme-Orient dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arekologi Nasional Indonesia. Kedua lembaga ini memiliki banyak kerja sama riset yang salah satunya adalah penelitian tentang arkeologi Barus. Buku ini merupakan hasil riset tersebut menyusul buku lain yang berjudul Lobu Tusa, Sejarah Awal Barus yang terbit pada tahun 2002.
“Kenekatan” Presiden Joko Widodo menetapkan Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara, tentu bukanlah tanpa alasan. Dalam sejarah Indonesia maupun dunia, Barus merupakan salah satu kota yang terkenal di Asia paling tidak sejak abad ke-6 Masehi. Hal ini terutama karena hasil hutannya, kamper, kemenyan, sderta emas. Nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu melalui Hamzah Fansuri, seorang penyair penyair filsuf terkenal (hlm. 13).
Buku ini terdiri atas empat belas bab yang dapat dibagi atas tiga bagian besar. Bagian pertama tentang proses ekskavasi atau penggalian dan kesimpulan sejarah (Bab I dan II). Bagian kedua merupakan temuan-temuan yang diperoleh dalam proses penggalian. Bagian sangat menarik karena pembaca disuguhi berbagai macam temuan dan penejelasannya seperti tembikar dari Asia Selatan, Keramik Cina, Tembikar Timur Tengah, Kendi dengan Bahan Halus, Tembikar “Lokal”, Kaca, Manik-Manik, Logam, Mata Uang dan Emas, Batu, dan Batu Bata (Bab III-XIII).
Pada bagian terakhir (Bab XIV) disajikan beberapa sumber efigrafi Islam di Barus. Bagian ini tidak kalah menariknya karena Ludvik Kalus yang menulis bagian ini menjelaskan berbagai efigrafi yang tertulis dalam banyak nisan. Menurut Kalus, Barus tidak sekedar sebagai tempat perdagangan kamper dan bahan-bahan lain. Perdagangan memang mendatangkan pedagang yang berasal dari berbagai wilayah, tergantu pada zamannya, kata Kalus, tetapi di tempat ini hubungan antara orang yang berasal dari berbagai kawasan dan yang memiliki kepercayaan yang berbeda, pasti telah memungkinkan adanya diskusi tentang agama atau memungkinkan adanya diskusi mengenai agamaatau memudahkan pengumpulan berbagai cara berfikir, hingga mungkin menimbulkan sintesis baru (hlm. 331).
Salah satu keunggulan buku ini adalah upayanya mengungkap hubungan Barus dengan berbagai kota di Nusantara dan kota-kota lain di dunia, seperti hubungan Barus dan Bagian Utara Sumatera, Barus dan Pantai Barat Sumatera, Barus dan Jawa, Barus dan Sriwijaya, Barus dan India, Barus dan Teluk Benggala, Barus dan Timur Tengah, Barus dan Cina (hlm. 46-60). Salah satu kesimpulan penting dalam buku ini adalah bahwa Barus merupakan salah satu tempat perdagangan di pantai wilayah barat Nusantara yang terutama berfungsi sebagai tempat persinggahan dan temapt pemuatan bagi pedagang asing yang mencari bahan baku, wangi-wangian, dan obat-obatan yang diperoleh dari kawasan pedalaman.
Namun demikian, Barus tampaknya tdak tertarik dengan politik, sehingga Barus tidak mengenal nasib gemilang seperti yang dialami oleh pelabuhan-pelabuhan Melayu lainnya yang kemudian menjadi kesulatanan. Hal yang terjadi kemudian adalah Barus menjadi sebuah titik temu budaya Nusantara, India, dan Timur Tengah yang khas. Dari tempat-tempat seperti inilah muncul peradaban dan bahasa Melayu modern (hlm. 64).
* * *
Kajian yang dilakukan Claude Guillot dan delapan penulis lainnya ini, tentu tidak berpretensi untuk mendukung sikap presiden Joko Widodo yang menetapkan Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara. Akan tetapi, buku ini berhasil dengan gemilang menunjukkan pada kita betapa kota ini sudah menjadi melting pot dunia sejak puluhan abad yang lalu. Buku ini berhasil menunjukkan pada kita kalau Barus telah menjadi titik temu budaya Nusantara, India, Timur Tengah yang khas dan mewah sejak berabad-abad lalu@.
Surabaya, 5 November 2024
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.