Pilihan di Tengah Badai
Sastra | 2024-11-05 20:05:10
Hujan deras mengguyur kota sore itu. Rina memandang keluar jendela kantornya di lantai 15, menatap rintik air yang seolah tak akan pernah berhenti. Sepucuk surat pengunduran diri tergeletak di mejanya, belum ditandatangani. Sudah tiga hari dokumen itu ada di sana, menunggu keputusannya.
Lima tahun dia mengabdi di perusahaan ini. Lima tahun yang telah mengantarkannya ke posisi manajer di usia yang relatif muda, 28 tahun. Tapi kini, semuanya terasa berbeda. Sejak perusahaan diambil alih oleh manajemen baru enam bulan lalu, kultur kerja berubah drastis. Target yang tidak masuk akal, jam kerja yang mencekik, dan yang paling menyakitkan: praktik-praktik tidak etis yang mulai bermunculan.
"Kamu masih di sini?" Suara Pak Hendra, mentornya selama ini, mengejutkan Rina.
"Iya, Pak. Masih ada yang perlu saya pikirkan," jawab Rina sambil tersenyum tipis.
Pak Hendra, pria berusia 50-an itu, menghampiri meja Rina. Matanya yang bijak menatap surat pengunduran diri yang tergeletak di sana. "Sudah ambil keputusan?"
Rina menggeleng pelan. "Belum, Pak. Saya... masih bingung."
"Dengar, Rina," Pak Hendra menarik kursi terdekat. "Dalam hidup, kita akan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya."
Rina menghela napas panjang. "Tapi Pak, kalau saya mengundurkan diri, bagaimana dengan tim saya? Mereka sudah seperti keluarga sendiri."
"Justru karena itu kamu harus membuat keputusan yang tepat," Pak Hendra menjawab tegas. "Sikap yang kita ambil hari ini akan menentukan arah hidup kita ke depan. Kalau kamu tetap di sini dengan kondisi seperti ini, apa kamu yakin bisa melindungi timmu?"
Pikiran Rina melayang ke kejadian minggu lalu, saat dia dipaksa untuk memanipulasi laporan keuangan proyek. Dia menolak, tentu saja. Tapi ancaman PHK terhadap anggota timnya membuat posisinya semakin sulit.
"Saya takut, Pak," akhirnya Rina berbisik. "Takut mengambil risiko."
"Wajar takut. Tapi ketakutan tidak boleh menghentikan kita dari berbuat benar." Pak Hendra mengeluarkan selembar kertas dari sakunya. "Ini surat pengunduran diri saya. Sudah saya tandatangani tadi pagi."
Rina terkesiap. "Pak Hendra juga...?"
"Ya. Setelah 20 tahun di sini, saya memutuskan untuk pergi. Bukan karena saya tidak cinta perusahaan ini, tapi justru karena saya sangat mencintainya. Kadang, sikap terbaik yang bisa kita ambil adalah melepaskan."
Air mata Rina mulai menggenang. "Lalu bagaimana dengan masa depan kita, Pak?"
"Masa depan?" Pak Hendra tersenyum. "Saya sudah mendirikan konsultan manajemen sendiri. Dan saya butuh orang-orang berintegritas untuk membangun tim."
Rina menatap mentornya tidak percaya. "Maksud Bapak...?"
"Ya, saya menawarkan posisi di perusahaan baru saya. Tidak hanya untukmu, tapi juga untuk timmu. Gajinya mungkin tidak sebesar di sini, setidaknya di awal. Tapi kita akan membangun sesuatu yang benar, yang bisa kita banggakan."
Hujan di luar masih turun deras, tapi hati Rina mulai terasa lebih ringan. Dia meraih pulpen dan menandatangani surat pengunduran dirinya dengan tangan yang mantap.
"Terima kasih, Pak. Saya sudah tahu harus bagaimana sekarang."
"Ingat, Rina. Dalam hidup, kita harus berani menentukan sikap. Badai ujian akan selalu datang, tapi dengan sikap yang tepat, kita akan mampu bertahan dan bahkan tumbuh lebih kuat."
Saat mereka berdua membereskan meja masing-masing malam itu, hujan mulai reda. Di langit, pelangi samar mulai muncul, seolah menjadi pertanda bahwa setiap badai pasti akan berlalu, dan setiap keputusan berani akan membawa harapan baru.
Keesokan harinya, Rina mengumpulkan timnya. Dengan kepala tegak, dia menyampaikan keputusannya dan tawaran Pak Hendra. Tanpa diduga, seluruh anggota tim sepakat untuk ikut dengannya. Mereka tahu, ini bukan sekadar tentang pekerjaan, tapi tentang mempertahankan integritas dan nilai-nilai yang mereka yakini.
Tiga tahun kemudian, konsultan manajemen yang mereka dirikan telah berkembang pesat. Klien demi klien berdatangan, tertarik dengan reputasi mereka yang mengutamakan kejujuran dan profesionalisme. Rina, yang kini menjadi partner, sering teringat akan hari hujan itu, hari dimana dia memberanikan diri mengambil sikap.
Kadang, di tengah kesibukan pekerjaannya yang baru, Rina masih menatap keluar jendela saat hujan turun. Tapi kini, dia tidak lagi melihatnya sebagai badai yang menakutkan. Baginya, hujan telah menjadi pengingat bahwa dengan sikap yang tepat dan keberanian untuk mengambil keputusan, kita selalu bisa menemukan jalan keluar dari setiap kesulitan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.