Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anindhito Gading Rasunajati

Sutan Syahrir: Lika Liku Perjalanan Hidup Seorang Bapak Bangsa

Sejarah | 2024-11-05 12:58:12
Sutan Syahrir. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Sutan Syahrir merupakan tokoh yang memiliki pamor sebagai seorang negarawan. Namun, meskipun Syahrir memiliki peran yang penting menjelang kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, tetapi Syahrir justru menghabiskan akhir hayatnya dengan status tahanan. Artikel ini akan membahas secara kilas balik perjalanan hidup Sutan Syahrir hingga detik – detik terakhirnya, mulai dari penangkapan, sakit – sakitan, hingga meninggal dunia dalam keterasingan.

Masa Awal

Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada tanggal 5 Maret 1909, dari pasangan Mohammad Rasad yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Negeri Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara. Ayahnya merupakan seorang kepala jaksa di Pengadilan Negeri (Landraad) Medan dan sewaktu Syahrir berusia empat tahun, ayahnya diangkat menjadi penasehat Sultan Deli, sehingga masa kecilnya dihabiskan di Deli, Sumatra Utara.

Masa Pendidikan

Sutan Syahrir memulai pendidikannya dengan bersekolah di Europeesche Lagere School atau ELS (setingkat Sekolah Dasar) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO (setingkat Sekolah Menengah Pertama) di Medan, Sumatra Utara.

Semasa sekolah, Syahrir dikenal sebagai anak yang gemar membaca buku dan dia tiap harinya menghabiskan waktunya untuk membaca buku – buku dari berbagai pengarang terkenal, seperti buku karya Don Quixote, Baron Von Münchhausen, hingga Karl Marx. Selain kegemarannya membaca buku, Syahrir juga memiliki hobi bermain biola dan bahkan menampilkan kegemarannya tersebut di muka umum. Lulus pada tahun 1926, Sutan Syahrir melanjutkan jenjang sekolahnya di Algemene Middelbare School atau AMS (setingkat Sekolah Menengah Atas) di Bandung, Jawa Barat. Selama di Bandung, Syahrir aktif dalam kegiatan kelompok seni Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia yang bernama Batovis. Ia juga aktif dalam sebuah perkumpulan yang mendorong gagasan kesatuan nasional Indonesia yang bernama Jong Indonesie.

Peserta Kongres Pemuda II, 27 – 28 Oktober 1928. [Sumber Foto: Lamongankab.go.id]

Selama aktif di Jong Indonesie, Syahrir beserta kawan – kawannya membentuk sebuah sekolah dengan nama Tjahja Volksuniversiteit yang bertujuan untuk memberikan akses pendidikan bagi kalangan bawah. Pada tahun 1928, Sutan Syahrir beserta perwakilannya juga terlibat dalam deklarasi sumpah pemuda 28 Oktober 1928 di Batavia (sekarang Jakarta).

Sutan Syahrir menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1929 dan Syahrir melanjutkan pendidikan tingginya dengan memasuki Fakultas Hukum, Universiteit van Amsterdam. Selama berkuliah di Belanda, ia kenal dengan Mohammad Hatta yang telah terlebih dahulu berkuliah di Economische Hogeschool (sekarang Erasmus Universiteit Rotterdam) dan Syahrir ikut bagian dari organisasi Perhimpunan Indonesia di bawah pimpinan Mohammad Hatta.

Mohammad Hatta. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Masa Perjuangan

Pada tahun 1931, Sutan Syahrir memutuskan untuk berhenti kuliah dan memilih kembali ke Indonesia dan terjun langsung dalam medan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam prosesnya bersama Mohammad Hatta, Syahrir memberikan dukungan penuh terhadap kelompok nasionalis pro kemerdekaan. Jalan politik yang diambil oleh Syahrir dilatarbelakangi oleh sikap patriotik dan pemikirannya yang menjunjung tinggi persamaan derajat antar sesama manusia.

Sukarno. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Sewaktu pendudukan Jepang pada tahun 1942, Sukarno dan Hatta memilih untuk menjalin kerja sama dengan Jepang, sedangkan Syahrir memilih untuk membangun jaringan gerakan bawah tanah anti fasis, dikarenakan Syahrir yakin bahwa Jepang tidak akan memenangkan Perang Dunia II. Jaringan gerakan bawah tanah Syahrir mayoritas diisi oleh kaum – kaum muda PNI Baru yang bersikap progresif.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Pada tanggal 14 Agustus 1945, Syahrir mendesak Mohammad Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dikarenakan Syahrir telah mendengar kabar lewat radio bahwa pemerintah pendudukan Jepang telah menyerah kepada sekutu akibat dihancurkannya dua kota di Jepang, yaitu Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, lewat bom atom oleh Amerika Serikat. Namun, meskipun awalnya Sukarno dan Hatta menolak desakan Syahrir beserta golongan muda lainnya, tetapi pasca terjadinya peristiwa penculikan Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta akhirnya setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Perjalanan Karir

Pasca diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, hal tersebut menjadi titik penting sebagai awal perjalanan karir politik seorang Sutan Syahrir. Karirnya bermula dari diterimanya Syahrir sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP pada tanggal 25 Oktober 1945, sekaligus menjadi Ketua Badan Pekerja KNIP. Selanjutnya pada tanggal 14 November 1945, Syahrir mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai Perdana Menteri pertama di Indonesia sekaligus sebagai salah satu Perdana Menteri termuda di dunia, yaitu diangkat menjadi Perdana Menteri di usia 36 tahun. Selain menjadi Perdana Menteri, Sutan Syahrir juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Awal karirnya tersebut tidak berjalan dengan mulus, pada tanggal 26 Juni 1946 (kemudian dikenal Peristiwa 3 Juli 1946), Sutan Syahrir menjadi korban penculikan yang dilakukan oleh kelompok oposisi yang menamakan dirinya Persatuan Perjuangan dan kelompok tersebut dipimpin oleh Mayor Jenderal Sudarsono. Pasca terjadinya penculikan, Syahrir hanya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan pelaksana tugas Perdana Menteri langsung diambil alih oleh Sukarno. Namun, pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden Sukarno menunjuk kembali Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri.

Delegasi Indonesia di Sidang Dewan Keamanan PBB, Agustus 1947. [Sumber Foto: Kompas.com]
Biju Patnaik. [Sumber Gambar: Wikimedia.org]

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri, Sutan Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di forum Perserikatan Bangsa – Bangsa. Bersama dengan Agus Salim dan atas bantuan pilot berkebangsaan India, yaitu Biju Patnaik, Syahrir berangkat ke New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.

Pada tanggal 14 Agustus 1947, bersama dengan Agus Salim, Sudjatmoko, Sumitro Djojohadikusumo, dan Charles Tambu, Sutan Syahrir tampil di muka sidang Dewan Keamanan PBB dan berpidato di hadapan para wakil bangsa – bangsa sedunia. Syahrir menguraikan bahwa upaya penjajahan kembali Indonesia oleh Belanda merupakan kegiatan eksploitasi yang berunsur kolonialisme.

Menurut beberapa media yang meliput sidang tersebut, salah satunya yaitu New York Herald Tribune menyebut bahwa pidato Sutan Syahrir merupakan salah satu pidato yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan PBB, juga beberapa media lainnya menjuluki Sutan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.

Logo Partai Sosialis Indonesia, tampak Sutan Syahrir Sedang Berpidato. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Pada tanggal 12 Februari 1948, Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia atau PSI dengan tujuan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa Indonesia. Meskipun berhaluan kiri dan memiliki ajaran Marx – Engels, Syahrir beranggapan bahwa PSI berlandaskan pada sosialisme kerakyatan yang demokratis serta berpolitik luar negeri yang bebas dan aktif. Pada pemilihan umum pertama di Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 1955, PSI hanya memperoleh suara sebesar 16% suara, hal ini dikarenakan peran aktif partai yang cenderung sebagai partai pendidikan kader dan bukan sebagai partai massa, sehingga menjadi sebuah kesalahan fatal ketika pemilihan umum 1955.

Pada tanggal 17 Agustus 1960, bersamaan dengan Masyumi, PSI resmi dibubarkan oleh Presiden Sukarno sebagaimana telah tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 201 Tahun 1960. Pembubaran PSI tersebut disebabkan oleh keterlibatan Sumitro Djojohadikusumo yang dianggap mendukung pemberontakan PRRI/PERMESTA, tetapi hal tersebut sebenarnya tidak mewakili partai. Walaupun tidak semua anggota partai terlibat dalam pemberontakan, tetapi keputusan Presiden Sukarno tetap membubarkan PSI.

Penangkapan

Pada akhir tahun 1961, Badan Pusat Intelijen atau BPI menemukan sebuah dokumen yang konon berisikan nama sebuah organisasi yang bernama Verenigde Ondergrondse Corps atau Korps Perkumpulan Bawah Tanah dan Vernielings Organisatie Corps atau Korps Organisasi Penghancur. BPI menganggap bahwa organisasi VOC merupakan gerakan subversif yang membahayakan negara dan didukung oleh jaringan intelijen Belanda dan Amerika Serikat. Organisasi tersebut sering dihubung-hubungkan kepada para oposisi Pemerintahan Orde Lama, seperti Sutan Syahrir, Ide Anak Agung Gde Agung, Mohammad Roem, dan Sultan Hamid II.

Mohammad Roem. [Sumber Foto: Wikimedia.org]
Sultan Hamid II dari Pontianak. [Sumber Foto: Wikimedia.org]
Subadio Sastrosatomo. [Sumber Foto: Wikimedia.org]
Ide Anak Agung Gde Agung. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Pada tanggal 7 Januari 1962, terjadi aksi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di Jalan Cendrawasih, Makassar, Sulawesi Selatan dan Presiden Sukarno berhasil selamat. Pada tanggal 15 Januari 1962, Panglima Kodam Hasanuddin Muhammad Jusuf berhasil menangkap dua orang warga negara Belanda yang diduga menjadi otak pembunuhan Presiden Sukarno tersebut.

Kepala Badan Pusat Intelijen Subandrio kemudian menghubungkan peristiwa pembunuhan tersebut dengan jaringan gerakan bawah tanah, yang kemudian memunculkan istilah Bali Connection. Bali Connection merupakan istilah Subandrio yang ditujukan kepada para tokoh nasional yang menghadiri upacara pemakaman ngaben Raja Gianyar Ide Anak Agung Ngurah Agung, ayah dari Ide Anak Agung Gde Agung pada tanggal 18 Agustus 1961. Para tokoh nasional yang menghadiri upacara tersebut, yaitu Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Sultan Hamid II, dan Subadio Sastrosatomo.

Muhammad Jusuf. [Sumber Foto: Kompas.id]
Subandrio. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Subandrio menuduh bahwa di sela kegiatan tersebut, para tokoh yang berkumpul juga sekaligus merencanakan adanya sebuah tindakan subversif dengan tujuan untuk merobohkan Pemerintahan Orde Lama dan membunuh Presiden Sukarno. Dalam suatu wawancara dengan wartawan asal Amerika Serikat, Subandrio berkelakar bahwa “tidak ada tempat bagi orang – orang yang seperti itu (bagi mereka yang merencanakan upaya makar)”. Pada tanggal 16 Januari 1962, mantan ketua KNIP, Perdana Menteri pertama Republik Indonesia, dan salah satu Bapak Republik Indonesia dijemput secara paksa dari rumahnya pada pukul 4 pagi dan Syahrir pun ditahan di mess Polisi Militer, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta.

Tanggapan Sukarno dan Mohammad Hatta Perihal Penangkapan Syahrir

Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Karya Cindy Adams. [Sumber Gambar: Gramedia.com]

Berkaitan dengan kabar yang beredar mengenai upaya subversif yang dilakoni oleh beberapa tokoh nasional yang berujung pada penangkapan Sutan Syahrir dan beberapa tokoh lainnya, dapat diketahui bagaimana jalan pikiran Presiden Sukarno saat itu mengenai tanggapannya soal situasi yang terjadi.

Dikutip dari buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno berkata, “Aku dapat memahami, bila orang – orang yang tidak senang mencoba membunuhku. Karena itu aku pun memahami, bahwa aku harus membalas dan berusaha menangkapnya. Beberapa waktu lalu Syahrir mengadakan komplotan untuk menumbangkanku dan merebut pemerintahan. Syahrir sekarang berada dalam tahanan. Aku tidak dendam. Aku menyadari, ini adalah pertarungan hebat antara dua pihak yang bertentangan dalam mana aku terlibat. Pertarungan untuk mempertahankan hidup.”

Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961 – 1965 Karya Rosihan Anwar. [Sumber Gambar: Lib.ic.sch.id]

Ketika mendengar kabar bahwa Sutan Syahrir ditangkap, Mohammad Hatta merasa kecewa dan kemudian Hatta mengirimkan sepucuk surat kepada Sukarno terkait protes atas penangkapan Sutan Syahrir tersebut. Dikutip dari buku Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961 – 1965 karya Rosihan Anwar, Hatta berujar, “Saya yakin, Syahrir dan lainnya itu prinsipil menentang segala macam teror dalam politik, karena bertentangan dengan sosialisme, dan dengan peri kemanusiaan. Mereka itu tidak segan melakukan oposisi yang tegas dalam politik, seperti ternyata dalam pergerakan mereka dahulu, tetapi akan ikut dengan perbuatan teror, itu tidak masuk akal.”

Masa Tahanan dan Jatuh Sakit

Pasca penangkapan pada tanggal 16 Agustus 1962, mula – mula Sutan Syahrir ditahan di mess Polisi Militer, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Selanjutnya Syahrir beserta tahanan lainnya dipindahkan ke Jalan Daha, Kebayoran Baru, Jakarta.

Sewaktu masa penahanan, ada kisah menyentuh di saat terjadinya penahanan Sutan Syahrir. Mohammad Roem menyaksikan kisah tersebut, di saat Roem memasuki kamar tahanan Syahrir untuk mengantarkan surat kabar, Roem menyaksikan Syahrir sedang mencium foto anak – anaknya dengan hidung yang merah dan air mata yang basah. Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa besarnya kerinduan Syahrir terhadap keluarganya selama ditahan.

Pada bulan November 1962, Syahrir dipindahkan ke rumah tahanan militer Madiun, Jawa Timur. Selama di Madiun, menurut kesaksian Mohammad Roem, Syahrir sering terlihat menyendiri. Pada waktu malam hari biasa para tahanan sering bermain bridge untuk mengisi waktu, tetapi Syahrir jarang ikut bergabung. Selama penahanan di Madiun inilah, Syahrir mulai jatuh sakit. Hal tersebut dikarenakan tekanan darah tingginya yang kembali naik dan kemudian Syahrir dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat atau RSPAD, Jakarta. Setelah menjalani perawatan selama 8 bulan, Syahrir dinyatakan sembuh dan kemudian Syahrir kembali ditahan. Kali ini Syahrir ditahan di sebuah rumah tahanan Jalan Keagungan, Jakarta. Namun, dikarenakan perawatan dari dokter yang tidak teratur, maka kesehatan Sutan Syahrir kembali menurun.

Pada tanggal 19 Februari 1965, Sutan Syahrir dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Budi Utomo atau RTM Budi Utomo, Jakarta. Menurut Rosihan Anwar, RTM Budi Utomo merupakan tempat yang paling tidak layak buat Syahrir. Hal ini dikarenakan RTM Budi Utomo merupakan bekas penjara tua yang tidak memenuhi standarisasi kesehatan yang layak, terlebih Syahrir ditempatkan di sebuah sel yang lembab, tepatnya ditempatkan persis di sebelah kamar mandi dan toilet.

Jaksa Agung Kadarusman, S.H. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Pada tanggal 22 Februari 1965, Syahrir terserang penyakit stroke. Beberapa waktu setelahnya, Syahrir kembali terserang penyakit stroke dan kali ini Syahrir terserang di kamar mandi. Teman-temannya yang sesama ditahan mengajukan protes agar Syahrir diberikan perawatan atas penyakitnya tersebut. Namun, karena status Syahrir sebagai seorang tahanan, maka untuk memperoleh perawatan perlu mendapatkan izin khusus dari Jaksa Agung (saat itu dijabat oleh Kadarusman, S.H.) dan izin tersebut tidak pernah datang. Setelah beberapa kali diupayakan untuk izin, pada akhirnya Syahrir kembali memperoleh perawatan di RSPAD, Jakarta. Setelah diupayakan perawatan, bagian tangan dan kaki kanannya dapat kembali bergerak, tetapi kemampuan untuk bicaranya hilang.

Pasang Surut Pengusaha Pejuang Karya Ali Akbar Navis. [Sumber Gambar: Catalog.uiii.ac.id]

Menurut pengakuan Hasyim Ning, sebagaimana dikutip dari otobiografinya yang berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang Karya Ali Akbar Navis, di saat-saat perawatannya Syahrir, Hasyim Ning bergegas untuk menemui Presiden Sukarno dan melaporkan bahwa Syahrir sedang terkena penyakit stroke dan sedang dirawat di RSPAD serta memberikan saran bahwa Syahrir harus dibawa ke luar negeri, dikarenakan para dokter di dalam negeri waktu itu masih belum mampu untuk menangani kondisi Syahrir.

"Bapak, Bung Syahrir sudah demikian parah sakitnya. Kalau tidak berobat ke luar negeri, tak lama lagi ia akan mati," ucap Hasyim.

"Mengapa kamu ribut-ribut tentang Syahrir?," ucap Sukarno.

"Aku berutang budi kepadanya," ucap Hasyim.

"Kamu? Orangnya sendiri tidak minta!," ucap Sukarno.

"Aku yang minta," ucap Hasyim.

"Kamu bukan saudaranya. Kamu tidak siapa-siapanya!," ucap Sukarno.

Sutan Syahrir dan Poppy Syahrir. [Sumber Foto: Historia.id]

Setelah memberikan laporannya terhadap Presiden Sukarno, Hasyim merasa sedih atas jawaban tersebut. Hasyim sempat berpikir untuk menghubungi istri Syahrir, yaitu Poppy Syahrir agar berbicara langsung dengan Presiden Sukarno. Ide tersebut diterima dan Poppy Syahrir sendiri yang langsung meminta kepada Presiden Sukarno agar Sutan Syahrir dapat menjalani perawatan di luar negeri. Presiden Sukarno mengabulkan permintaan tersebut dengan memberikan syarat, bahwa perawatan tersebut tidak dilakukan di Belanda. Pada akhirnya pilihan jatuh ke Swiss, karena keluarga Syahrir bisa sedikit berbahasa Jerman dan bahasa tersebut digunakan oleh mayoritas warga Swiss.

Menjalani Sisa Hidup di Luar Negeri Hingga Wafat

Tahi Bonar Simatupang. [Sumber Foto: Wikimedia.org]

Pada tanggal 21 Juli 1965, Sutan Syahrir beserta keluarganya berangkat ke Swiss. Selama di Swiss, keluarga Syahrir menetap di apartemen di pinggiran kota Zurich, Swiss. Selama di sana, beberapa teman Syahrir sering berkunjung ke kediamannya tersebut, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Perang RI, Tahi Bonar Simatupang. “Kami makan siang dan saya bercakap-cakap sebentar dengan Zus Pop. Syahrir tidak dapat berbicara, tetapi tetap memperlihatkan perhatian yang besar terhadap apa yang kami bicarakan.”

Wafatnya Sutan Syahrir. [Sumber Foto: Civitasbook.com]

Beberapa waktu kemudian, tekanan darah Syahrir kembali melonjak tinggi dan Syahrir harus dilarikan ke rumah sakit pada tanggal 2 April 1966 dan Syahrir terbaring koma. Setelah 7 hari terbaring koma, tepatnya pada tanggal 9 April 1966, Sutan Syahrir menghembuskan nafas terakhirnya di usia 57 tahun, jauh dari tanah air yang sangat dicintainya. Setelah itu jenazah Syahrir diterbangkan ke Indonesia.

Pada tanggal 19 April 1966, jenazah Sutan Syahrir diiringi oleh puluhan ribu orang dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk memberikan penghormatan terakhir. Menurut kesaksian Rosihan Anwar, bahwa terdapat kurang lebih sekitar 250.000 orang yang menghadiri pemakaman Sutan Syahrir dan dilaporkan bagian depan prosesi pemakaman sudah mencapai TMP Kalibata, sedangkan orang terakhir dalam prosesi masih berada di dekat Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.

“Saya kira Jakarta belum pernah menyaksikan begitu banyak rakyat mengiringkan jenazah,” tulis Ide Anak Agung Gde Agung.

Saat prosesi pemakaman, Mohammad Hatta menyampaikan pidato perpisahan yang mengharukan. “Ia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka, ikut serta membina Indonesia merdeka, tetapi Ia sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka.”

Mohammad Hatta Menghadiri Pemakaman Sutan Syahrir, Tampak Terlihat Suharto Sedang Memayunginya, 19 April 1966. [Sumber Foto: The Asahi Shimbun]

Diangkat Sebagai Pahlawan

Dalam sebuah wawancara di Jakarta pada tahun 1987, Poppy Syahrir memberikan sebuah keterangannya terkait pengangkatan Sutan Syahrir sebagai Pahlawan Nasional.

“Ketika Syahrir meninggal, dari Menteri Johannes Leimena, yang akan menjadi inspektur pada pemakaman, bahwa Syahrir diangkat menjadi pahlawan nasional dan meminta persetujuan kami untuk pemakaman negara. Kami berdua (bersama Sudjatmoko) yang datang ke Zurich selama hari – hari terakhir Syahrir, dan saya menangis. Alangkah berubahnya, beberapa hari yang lalu tahanan dan kini pahlawan!”

Pada tanggal 15 April 1966, Presiden Sukarno melalui Keputusan Presiden Nomor 76 Tahun 1966 mengukuhkan Sutan Syahrir menjadi pahlawan nasional, yaitu sebuah penghargaan yang mengakui jasa – jasa dalam perjuangan Sutan Syahrir bagi bangsa dan negara.

Daftar Pustaka

Buku

Adams, Cindy. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2014.

Anwar, Rosihan. Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961 – 1965. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1981.

Legge, John David. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.

Mandaralam, Syahbuddin. Apa dan Siapa Sutan Sjahrir. Jakarta: Rosda Jayaputra, 1987.

Mrazek, Rudolf. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.

Navis, Ali Akbar. Pasang Surut Pengusaha Pejuang. Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986.

Skripsi

Yohana. “Sutan Sjahrir, Sosialisme, dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.” Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2010.

Artikel Daring

Adryamarthanino, Verelladevanka dan Nibras Nada Nailufar. “Sutan Sjahrir: Masa Muda, Kiprah, Penculikan, dan Akhir Hidup” Kompas.com, 22 Juni 2021. Tersedia pada https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/22/080000479/sutan-sjahrir--masa-muda-kiprah-penculikan-dan-akhir-hidup [diakses pada 2 November 2024].

Matanasi, Petrik. “Jalan Sejarah Sutan Sjahrir Sebelum Jadi Pahlawan Nasional” Tirto.id, 8 April 2019. Tersedia pada https://tirto.id/jalan-sejarah-sutan-sjahrir-sebelum-jadi-pahlawan-nasional-czUD [diakses pada 2 November 2024].

Video (You Tube)

Hendri Teja. "Hari – Hari Terakhir Sutan Sjahrir (1962 – 1966)" Dipublikasikan tanggal 17 Juni 2024. Durasi video: 12:29. [diakses pada 31 Oktober 2024].

Indonesia Insider. "Akhir Tragis Sang Bapak Bangsa | Sutan Syahrir" Dipublikasikan tanggal 22 Desember 2022. Durasi video: 12:31. [diakses pada 31 Oktober 2024].

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image