Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sarkawi B. Husain

Belajar dari Sepakbola

Sejarah | 2024-11-03 22:06:26

BELAJAR DARI SEPAK BOLA

Oleh Sarkawi B. Husain

Buku: Mewarisi Sepak Bola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia

Penulis: R.N. Bayu Aji

Dalam beberapa tahun belakangan ini, sepak bola Indonesia mengalama transformasi yang cukup mengesankan. Terlepas dari beberapa kritik atas naturalisasi pemain, sepak bola kita menunjukkan prestasi yang membanggakan. Bagi negara kita, sejak zaman kolonial sepak bola telah menjadi magnet dan bahkan magis bagi masyarakat. Demikian bergengsinya olah raga ini, tidak jarang sebuah kampung menggunakan cara-cara tidak fair agar kampungnya menjadi juara. Masih segar dalam ingatan, ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, nenek saya memperlihatkan sebuah foto lama koleksinya di mana seorang pemuda terbaring sakit dengan paha dan kaki kanan yang membesar dibanding kaki kirinya. Menurut nenek saya, pemuda itu adalah korban santet karena dia menjadi salah satu pemain yang “ditakuti” dalam sepak bola antar kampung di kota kami.

Buku yang terbit beberapa tahun lalu karya Rojil Nugroho Bayu Aji dengan judul: “Mewarisi Sepak Bola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia” merupakan buku menarik yang isinya sebagian besar tentang sepak bola, khususnya di Indonesia. Sepanjang pengetahun saya, penulis buku ini memang menekuni historiografi sepak bola, khususnya sepak bola Tionghoa. Bahkan penulisnya sedang bermetamorfosa menjadi salah seorang komentator.

* * *

Buku ini terdiri atas tiga bagian utama: 1) Dinamika Sepak Bola dan Keolahragaan Indonesia; 2) Memaknai Warisan Budaya; dan 3) Meneguhkan Kebangsaan dan Keindonesiaan. Dalam bagian pertama, kita dapat membaca banyak artikel yang mengulas tentang sepak bola di Indonesia, khususnya sepak bila Tionghoa. Salah satu yang menarik dari bagian ini adalah penelusuran penulis terhadap historiografi sepakbola Indonesia. Menurutnya, sejarah panjang sepak bola Indonesia secara resmi ditandai oleh berdirinya perkumpulan Bataviasche Cricket –en Footbal –club Root Wit pada tahun 1893 oleh J.D. Reimer (hlm. 2).

Hampir dua dekade kemudian, induk sepak bola NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond) yang berkibat pada Belanda dibentuk pada tahun 1919. Hal ini kemudian disusul oleh berdirinya klub-klub sepakbola Bumiputera dan Tionghoa. Orang-orang Tionghoa misalnya, mendirikan HNVB (Hwa Nan Voetbal Bond), sedangkan masyarakat Bumiputera mendirikan PSSI pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta yang diinisiasi oleh tujuh klub (hlm. 2).

Ketujuh klub tersebut adalah Voetbal Indonesische Jacatra (VIJ), Bandoengsche Indonesische Voetbalbond (BIVB), Persatuan Sepakbola Mataram (PSM Yogyakarta), Voerlandsche Voetbalbond (VVB Solo), Madioensche Voetbalbond (MVB), Indonesische Voetbalbond Magelang (IVBM), Soerabaoasche Indonesische Voetbalbond (SIVB). Bagian satu ini tidak semuanya berbicara tentang sepak bola, tetapi juga membahas olah raga lain seperti badminton dan isu-isu penting lainnya politik olah raga Soekarno, Tafisa Games dan semangat kesatuan dan keragaman, dan lain-lain.

* * *

Pada bagian kedua terdapat empat tulisan yang tidak kalah menariknya dibanding tulisan pada bagian pertama. Salah satu tulisan yang menarik adalah riwayat adu doro yang hingga saat ini dengan mudah kita temui di jalan-jalan utama Surabaya. Menurut Bayu Aji, adu doro dapat dikatakan telah menjadi bagian dari masyarakat Surabaya. Dengan meminjam konsep ahli folklor Indonesia, James Dananjaya, Bayu Aji memandang bahwa tradisi adu doro dapat menajdi folklor karena merupakan permainan masyarakat yang mentradisi dan juga menjad warisan turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya (hlm. 84-85).

Jika bagian satu dan dua banyak berbicara tentang dunia olah raga dan permainan, maka tulisan-tulisan pada bagian ketiga dapat dikatakan sebagai refleksi Bayu Aji sebagai salah seorang anak bangsa terhadap kondisi Indonesia dan berbagai tantangannya. Satu hal yang menarik pada bagian terakhir ini adalah uraiannya tentang bagaimana belajar dari kegagalan pendidikan Pancasila yang selama ini diajarkan di sekolah-sejolah dan perguruan tinggi.

Menurut Bayu Aji, ketidakmampuan Pancasila dalam menangkap perubahan sosial yang berkembang dalam masyarakat, seringkali diawali oleh kesalahan mendasar atas pemahaman Pancasila itu sendiri (hlm. 131). Dengan kata lain, Bayu hendak mengatakan bahwa banyak kalangan gagal paham tentang Pancasila, sehingga Pancasila tidak lebih sebagai jargon dibanding rule of model berbangsa dan bermasyarakat. Oleh karena itu tambah Bayu Aji, Pancasila dalam tataran pendidikan tidak cukup hanya dilakukan sebagai formalitas muatan mata pelajaran dalam sistem belajar-mengajar. Pancasila tidak cukup hanya diajarkan dengan metode ceramah tanpa upaya pelaksanaan praktek dalam kehidupan nyata, dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

* * *

Seperti semua buku yang dikompilasi dari berbagai artikel atau makalah, kadang-kadang beberapa bagian masih perlu penjelasan lebih detail. Hal ini penting agar pembaca dapat menemukan benang merah dari ketiga bagian yang dibahas dalam buku ini. Namun demikian, buku ini memberikan pemahaman kepada kita bagaimana akar “Sepakbola Nusantara” bermula hingga wudujnya seperti saat ini. Bagaimanapun olah raga mengajarkan spirit, sportivitas, dan toleransi yang keduanya mestinya tercermin dalam kehidupan keseharian kita@.

Surabaya, 3 November 2024

Sarkawi B. Husain

Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Airlangga

E-mail: [email protected]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image