Secangkir Kebahagiaan
Sastra | 2024-11-02 08:50:21Manggar, 1985
Aroma kopi robusta Belitung menguar kuat dari deretan warung kopi yang berjajar di sepanjang jalan utama kota Manggar. Matahari sore memantulkan cahayanya di atap-atap seng warung kopi yang sudah dinaungi pohon ketapang tua. Roni masih terpaku di depan mesin ketik tuanya di sudut Warung Kopi Atet, tempat favoritnya menulis sejak ia menjadi wartawan untuk koran mingguan lokal lima tahun lalu.
"Kopi ketiga, Ron?" tanya Koh Atet sambil membawa secangkir kopi panas dalam cangkir porselen putih bermotif naga merah. Pria paruh baya dengan kacamata bulat itu sudah seperti paman sendiri bagi Roni.
"Iya, Koh. Masih harus selesaikan tulisan tentang tambang timah," jawab Roni sambil tersenyum. Di mejanya, berserakan kertas-kertas berisi catatan wawancara dengan para veteran penambang timah yang kini harus beralih profesi seiring meredupnya kejayaan timah Belitung.
Warung kopi Atet adalah salah satu dari ratusan warung kopi yang membuat Manggar dijuluki Kota 1001 Warung Kopi. Setiap warung memiliki ceritanya sendiri, seperti halnya setiap cangkir kopi memiliki rasanya yang khas. Ada yang terkenal dengan kopi campur telur, ada yang spesial dengan kopi jahe, tapi Warung Atet terkenal dengan kopi susunya.
"Jangan lupa makan dulu, Ron," saran Pak Hamid, redaktur senior yang sudah 20 tahun lebih meliput berita di Belitung. "Nasi lemak Cik Lin masih hangat tuh."
Roni mengangguk. Di usianya yang baru 27 tahun, ia adalah wartawan termuda di kantornya. Baginya, setiap tulisan adalah kesempatan untuk mendokumentasikan perubahan yang terjadi di kotanya – dari masa kejayaan timah hingga masa transisi yang penuh ketidakpastian ini.
Sore itu, seperti biasa, ia akan berjalan kaki pulang melewati deretan warung kopi yang mulai ramai. Radio AM dari berbagai warung mengumandangkan lagu-lagu pop Mandarin dan dangdut, bercampur dengan gelak tawa para pengunjung yang bercengkerama sambil menikmati kopi mereka. Di setiap sudut, ia bisa melihat pegawai tambang, nelayan, dan pedagang yang menjadikan warung kopi sebagai tempat melepas lelah.
Di persimpangan menuju rumahnya, Roni berhenti di warung bunga Mei Lan. Gadis perankan Tionghoa itu selalu menyediakan bunga segar yang ia dapat dari kebun-kebun penduduk sekitar.
"Seperti biasa, Kak?" tanya Mei Lan dengan senyum lembutnya. Bunga melati segar tersemat di sanggul hitamnya.
"Iya, Mei. Tiga tangkai melati untuk Ibu," jawab Roni. "Hari ini ramai?"
"Lumayan, Kak. Banyak yang beli untuk sesajen. Besok kan Imlek." Mei Lan membungkus melati dengan daun pisang. "Kakak masih nulis tentang tambang timah?"
"Iya. Cerita tentang bagaimana orang-orang mencari kebahagiaan baru setelah tambang mulai sepi."
"Sama seperti keluargaku ya, Kak. Dulu Ayah kerja di tambang, sekarang buka warung kopi. Tapi dia selalu bilang justru sekarang lebih bahagia. Katanya dulu cuma mikirin hasil, sekarang bisa nikmatin tiap cangkir kopi yang dia sajikan."
Roni tersenyum. "Itu dia, Mei. Kadang kita terlalu sibuk mengejar apa yang kita pikir akan membuat kita bahagia, sampai lupa bahwa kebahagiaan itu ada di setiap tegukan kopi, setiap senyum pelanggan, setiap cerita yang kita dengar dan tulis."
"Kakak benar. Seperti aku jualan bunga ini. Mungkin nggak seberapa hasilnya, tapi seneng rasanya lihat orang-orang tersenyum waktu beli bunga, entah buat sembahyang atau buat orang yang mereka sayang."
Langit mulai gelap ketika Roni sampai di rumah panggung kayunya. Ibunya sedang menonton TV hitam-putih 14 inci, siaran TVRI yang menayangkan acara Aneka Ria Safari.
"Sudah pulang, Nak?" sambut ibunya. "Tadi Ibu masak mi rebus special. Kong Aseng kasih sambal udang kering baru."
Roni memberikan melati yang masih segar kepada ibunya. "Ini buat Ibu. Besok kan Imlek, Mei Lan bilang bunganya bisa untuk sesajen juga."
Ibunya tersenyum, menghirup aroma melati yang mekar. "Dulu waktu masih kerja di tambang, Ayahmu selalu bilang mau beli rumah besar kalau sudah kaya. Tapi tau nggak? Saat-saat paling bahagia justru waktu kita semua kumpul di rumah panggung ini, makan mi rebus, dengerin radio."
Malam itu, sebelum tidur, Roni menambahkan beberapa kalimat di buku catatannya:
"Kebahagiaan itu seperti secangkir kopi khas Manggar. Bukan pada tegukan terakhir yang mengosongkan cangkir, tapi pada setiap tegukan yang menghangatkan hati. Ia ada dalam aroma yang menguar, dalam obrolan yang mengalir, dalam tawa yang berbagi, dan dalam kenangan yang tercipta di setiap warung kopi yang menjadi saksi perjalanan hidup kota ini."
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.