Jalan Pilihan Luna
Sastra | 2024-10-31 09:42:16luna, seorang anak tunggal di umurnya yg masih terbilang kecil sudah menjadi harapan dan bintang yang bersinar di keluarganya dan juga di sekolah. dengan bakat yang luar biasa, ia meraih prestasi demi prestasi. juara kelas dan menang di berbagai perlombaan sains dan matematika, bahkan dia di anugrahi dengan bakat seni oleh tuhan.
Baginya, pujian adalah makanan sehari-hari, sesuatu yang ia harapkan setiap kali mengerjakan sesuatu dengan baik. Namun semakin tinggi ia terbang, semakin berat beban yang ia rasakan. Setiap kali ia menang, tuntutan dari keluarganya semakin menggunung. bahkan dia menjadi orng yg kurang percaya diri karna di anggap sesalu kurang oleh orangtuanya
“kalau mau sukses, kamu harus lebih baik lagi,” kata ibunya. ayahnya juga,meski jarang bicara,selalu menunjukan tatapan harapan yang tak terucapkan.
Setiap pencapaiannya selalu dibandingkan dengan saudara sepupu atau teman-teman yang dianggap lebih pintar atau berbakat. Setiap kali ia memenangkan lomba, ibunya akan berkata, "Lihatlah, anak tetangga sebelah sudah masuk olimpiade internasional. Kamu harus lebih giat lagi."
Tekanan ini semakin terasa ketika Luna beranjak remaja. Ia merasa seperti hidup dalam bayang-bayang kesempurnaan yang diharapkan orangtuanya. Setiap kesalahan kecil, seperti lupa mengerjakan PR atau mendapatkan nilai kurang memuaskan, akan membuatnya merasa bersalah dan tidak berharga.
sebenarnya orang tua luna sangat menyayanginya, mereka ingin luna tumbuh menjadi sosok yang sukses tidak mengalami kesulitan seperti yang mereka alami di masa lalu. Mereka berjuang keras untuk memberi Luna kehidupan yang lebih baik, dan harapan mereka adalah agar Luna tidak merasakan kemiskinan dan keterbatasan yang mereka alami. mereka tidak ingin luna hanya menjadi baik, mereka ingin dia sempurna
Namun, rasa sayang itu sering kali terwujud dalam bentuk tekanan. Setiap kali Luna mencapai sesuatu, ibunya akan berkata, “Ini baru awal, Lunaa. Kamu harus lebih baik lagi.”
orang tua luna memiliki impian besar untuknya. mereka ingin dia menjadi dokter, profesi yang di anggap mulia dan menjanjikan masa depan yang cerah. namun, jauh di dalam hati, luna tidak ingin menjadi dokter. yang sesungguhnya membuat hatinya berbunga adalah seni.
Dia menemukan kebahagiaan dalam melukis dan menciptakan, dimana warna dan bentuk berbicara lebih banyak daripada semua angka dan rumus. dia selalu merasa damai setiap kali memegang pena dan membuat karya di kanvasnya. ia menyimpan mimpi yang besar untuk menjadi seorang seniman. namun bagi keluarganya, seni hanyalah hiburan, bukan profesi yang dapat di anggap serius.
setiap kali dia mencoba mengungkapkan keinginanya untuk terjun ke dunia seni, kedua orangtuanya hanya menggelengkan kepala, menolak tegas. “seni bukanlah masa depan yang pasti, luna fokuslah pada apa yang penting
Dibandingkan dengan teman-temannya yang bebas menikmati masa muda, Luna tenggelam dalam jadwal yang padat. Ia mengikuti berbagai les tambahan, mulai dari les matematika, sains, hingga bahasa asing. Orangtuanya ingin memastikan bahwa Luna memiliki bekal yang cukup untuk meraih cita-cita mereka.
Suatu hari, Luna melihat pengumuman lomba melukis. Tanpa pikir panjang, ia mendaftarkan diri. Hati Luna berbunga-bunga, namun di saat yang sama ia juga merasa takut jika orang tuanya mengetahui keikutsertaannya dalam lomba tersebut. Dengan penuh semangat, Luna mulai mempersiapkan diri.
Sayangnya, kebahagiaannya harus terusik. Masa persiapan lomba bertepatan dengan jadwal ujian semester di sekolah. Fokus Luna terpecah antara persiapan lomba dan belajar untuk ujian. Akibatnya, nilai ujiannya kali ini jauh di bawah nilai-nilai sebelumnya.
Walaupun begitu, Luna tidak menyerah. Ia terus berlatih dan berkreasi hingga akhirnya berhasil meraih juara dalam lomba melukis tersebut. Namun, kesuksesannya di bidang seni harus dibayar mahal dengan penurunan prestasi akademiknya.
Luna kini dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, ia merasa sangat senang dengan prestasi seninya. Di sisi sisi lain, ia merasa bersalah karena telah mengecewakan orang tuanya dengan nilai ujian yang menurun.
tibalah saat2 yg setiap hari menghantui pikiranya
Orangtuanya mengetahui bahwa nilai-nilai Luna menurun karena ia sibuk mempersiapkan lomba melukis, kemarahan mereka meledak. Bagi mereka, melukis hanya dianggap sebagai gangguan dari hal yang "penting"pendidikan yang diharapkan bisa membawa masa depan yang lebih "baik". Dengan kemarahan dan kekecewaan, mereka mengunci Luna di kamarnya, merusak semua perlengkapan melukis yang sangat berarti baginya. Bagi Luna semua itu lebih dari sekadar hukuman; ia merasa kehilangan bagian dari dirinya.
Terpuruk dan tanpa harapan, Luna menangis di kamarnya, memandangi pecahan kaca dari bingkai foto yang rusak di lantai. Goresan dari foto-foto masa kecilnya terasa begitu kontras dengan rasa sakit yang kini menguasainya. Dalam keputusasaan, tanpa banyak berpikir, ia meraih pecahan kaca itu dan menyayat pergelangan tangannya, seakan rasa sakit fisik itu adalah pantulan dari luka batin yang selama ini dipendamnya perasaan tidak pernah cukup baik dan selalu gagal memenuhi harapan orangtuanya.
Dengan tubuh yang mulai melemas, Luna terbaring lemah di lantai. Kepalanya dipenuhi pikiran bahwa ia tak lagi layak hidup, namun di tengah kegelapan itu, kenangan-kenangan manis dari masa kecil bersama orangtuanya mulai muncul. Ia teringat saat mereka tertawa bersama, saat mereka memeluknya dan menjaganya dengan penuh kasih. Perasaan cinta itu perlahan mengisi hatinya, memberi sedikit kekuatan.
Dengan suara yang nyaris tak terdengar, Luna mulai memanggil ibunya. Tangannya yang lemah berusaha meraih pintu, berharap seseorang mendengarnya. Dari balik pintu, ibunya yang masih dikuasai rasa marah dan kecewa tiba-tiba tergerak oleh firasat aneh. Suara lemah Luna membuatnya berhenti dan mendengarkan lebih saksama. Dengan perasaan campur aduk antara marah dan kasihan, ia akhirnya membuka pintu kamar Luna.
Saat ibunya melihat keadaan Luna yang berlumuran darah dan tak berdaya, wajahnya berubah pucat. Rasa panik menguasai dirinya. Segera, ia meraih ponsel dan menelepon ambulans, sambil berusaha menenangkan Luna. Dalam detik-detik itu, seluruh kemarahan yang sebelumnya memenuhi hatinya lenyap, digantikan oleh ketakutan luar biasa akan kehilangan putri satu-satunya.
Tak lama kemudian, ambulans datang dan membawa Luna ke rumah sakit. Dengan penanganan medis yang cepat, nyawa Luna berhasil diselamatkan. Orangtuanya yang menunggu di ruang tunggu terdiam, dikuasai oleh perasaan bersalah dan penyesalan. Mereka menyadari betapa dalamnya luka yang telah mereka goreskan di hati Luna dengan tekanan yang mereka berikan, tanpa mempertimbangkan keinginannya sendiri.
dengan badan yg masih lemah
Luna memutuskan untuk berbicara jujur kepada orangtuanya. Ia menceritakan tentang betapa ia mencintai seni dan betapa menderita ia karena harus menyembunyikan bakatnya.
Awalnya, orangtuanya terkejut dan marah. Namun, setelah mendengar penjelasan Luna, mereka mulai memahami perasaan anak mereka. Mereka menyadari bahwa mereka telah terlalu keras pada Luna dan telah mengabaikan kebahagiaan anaknya.
Setelah percakapan yang panjang dan emosional, orangtua Luna akhirnya mau mendengarkan dan menerima pilihan anaknya. Mereka berjanji akan mendukung Luna dalam mengejar mimpinya sebagai seorang seniman, asalkan Luna tetap bersekolah dan menyelesaikan studinya.
Luna merasa sangat lega dan bahagia. Ia akhirnya bisa bebas mengekspresikan dirinya melalui seni. Dengan dukungan orangtuanya, ia mulai mengikuti kursus melukis dan bergabung dengan komunitas seniman.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.