Ajang Eksploitasi PKL: Potret Buram Pendidikan di Bawah Kapitalisme
Pendidikan dan Literasi | 2024-10-27 20:02:26Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) baru-baru ini mengungkapkan bahwa program Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) rentan dijadikan ajang eksploitasi anak.
Keluhan-keluhan yang diterima KPAI menunjukkan bagaimana perusahaan memanfaatkan program PKL untuk mempekerjakan anak di luar batas kewajaran. Sebuah kasus di Bekasi pada tahun 2022 mengungkap bagaimana hotel bintang empat menempatkan siswa PKL bekerja selama tujuh hari dengan jam kerja yang berlebihan. (metro.compas.co, 9/10/2024)
Program PKL dan magang pada dasarnya dirancang untuk meningkatkan keterampilan dan memberi pengalaman kerja kepada siswa dan mahasiswa. Bagi pelajar SMK, PKL merupakan bagian dari pendidikan vokasi agar mereka siap memasuki pasar kerja lokal maupun global. Konsep ini dikenal sebagai "link and match", yaitu upaya menyelaraskan dunia pendidikan dengan kebutuhan industri.
Namun, realitasnya berbeda. Sistem pendidikan yang terintegrasi dengan kebutuhan industri berujung pada eksploitasi. Alih-alih fokus pada pengembangan keterampilan peserta didik, perusahaan justru melihat PKL dan magang sebagai kesempatan untuk memperoleh tenaga kerja gratis tanpa kewajiban memberikan gaji atau jaminan sosial. Bahkan, peserta didik sendiri sering merasa diuntungkan dengan mendapatkan pengalaman di perusahaan, meski harus bekerja di bawah tekanan tinggi.
Pola ini merupakan cerminan dari sistem kapitalisme, di mana pendidikan tidak lagi menjadi ruang untuk mencetak manusia berkualitas, tetapi diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Pemerintah, alih-alih berperan sebagai pengurus rakyat, justru menjadi regulator yang mempermudah hubungan antara lembaga pendidikan dan industri. Pendidikan menjadi komoditas, dan institusi pendidikan berperan sebagai pemasok tenaga kerja murah bagi perusahaan. Akibatnya, eksploitasi peserta magang dan PKL terjadi secara legal dan masif.
Dalam sistem kapitalisme, hubungan antara perusahaan dan lembaga pendidikan dibangun atas dasar keuntungan bersama—perusahaan mendapatkan tenaga kerja murah dan institusi pendidikan meningkatkan angka penyaluran tenaga kerja.
Namun, keuntungan tersebut dicapai dengan mengorbankan hak-hak peserta didik. Tidak adanya kontrak kerja formal membuat perusahaan leluasa menuntut jam kerja berlebihan tanpa memberikan upah atau jaminan kesehatan. Fenomena ini menggambarkan kegagalan negara dalam memastikan pendidikan berjalan sesuai dengan fungsi idealnya: membangun manusia yang unggul dan berperan aktif dalam masyarakat.
Sebaliknya, dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh atas pendidikan rakyat. Negara berfungsi sebagai ra’in (pengurus) yang wajib mencetak sumber daya manusia berkepribadian Islami, berjiwa pemimpin, dan terampil.
Pendidikan dalam Islam tidak diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar, melainkan untuk menciptakan agen perubahan yang mampu menyelesaikan persoalan umat. Tujuan ini selaras dengan visi besar peradaban Islam, yaitu memajukan masyarakat melalui ilmu dan amal.
Islam menetapkan bahwa kurikulum pendidikan harus berorientasi pada pembentukan karakter dan pengembangan ilmu, bukan pada keuntungan materi. Kerja sama dengan pihak swasta tetap mungkin terjadi, tetapi hanya dalam kerangka yang menguntungkan peserta didik, tanpa celah untuk eksploitasi. Negara wajib menyediakan fasilitas pendidikan secara memadai agar semua rakyat, tanpa terkecuali, dapat mengakses pendidikan berkualitas secara gratis.
Dalam sistem Islam, pendidikan dan ekonomi dijalankan berdasarkan syariah. Negara akan mengelola sumber daya alam dan kekayaan publik untuk membiayai pendidikan tanpa bergantung pada pihak swasta atau industri. Dengan demikian, tidak akan ada eksploitasi peserta didik demi keuntungan ekonomi. Selain itu, penerapan Islam secara kaffah akan memastikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, menghapus berbagai bentuk ketimpangan dan eksploitasi yang dihasilkan oleh kapitalisme.
Kesimpulannya, eksploitasi dalam program PKL dan magang adalah dampak dari kapitalisasi pendidikan di bawah sistem kapitalisme. Selama paradigma pendidikan berfokus pada kebutuhan industri dan keuntungan, eksploitasi peserta didik akan terus berlangsung.
Solusi sejati hanya bisa terwujud dengan penerapan Islam secara menyeluruh. Dalam sistem Islam, pendidikan bukan sekadar alat untuk menghasilkan tenaga kerja, tetapi sarana untuk membangun manusia unggul yang mampu menjalankan amanah sebagai pemimpin dan agen perubahan di tengah umat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.