Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Bergerak Menuju Impian

Sastra | 2024-10-27 15:34:31
Dokumen Koran Tempo


Matahari pagi menyusup malu-malu di antara celah-celah atap rumah panggung yang sudah mulai lapuk. Suara kokok ayam bersahutan dengan dentang panci dari dapur, membentuk simfoni pagi yang familiar di Kampung Lenggang. Aku, Razak, baru saja menyelesaikan sarapan singkat dengan ubi rebus dan secangkir kopi tubruk yang masih mengepul. Di kejauhan, terdengar suara mesin pompa air dari kolong-kolong bekas tambang, menandakan para penambang liar sudah memulai aktivitas mereka sejak subuh.

"Zak, jangan lupa bawa bekal!" Ibu berseru dari dapur, tangannya sibuk membungkus nasi dengan daun pisang. Aroma ikan asin yang digoreng menguar, mengingatkanku pada rutinitas yang sama selama bertahun-tahun. Ibu selalu bangun paling pagi di rumah kami, menyiapkan segala sesuatu untuk keluarga dengan cermat dan penuh kasih.

Tahun 1995 bukanlah tahun yang mudah bagi keluarga kami, seperti kebanyakan keluarga penambang timah di Belitong. Harga timah dunia terus menurun, dan PT Timah mulai mengurangi aktivitas penambangan. Banyak penduduk yang kehilangan pekerjaan, termasuk Ayah yang kini harus puas bekerja sebagai penambang liar di kolong-kolong bekas tambang.

Setiap malam, dia pulang dengan wajah lelah dan pakaian berlumpur, tapi tak pernah sekalipun mengeluh.
Adik-adikku—Minah, Salim, dan si bungsu Hamidah—masih terlelap ketika aku bersiap berangkat. Kamar sempit yang kami tempati berlima terasa pengap, tapi kehangatan keluarga membuat segalanya terasa lebih baik. Di dinding kamar, terpasang foto kelulusan SMP-ku dalam bingkai kayu sederhana, mengingatkanku pada mimpi yang terpaksa kutunda.

Sepeda berkarat yang kuparkir di samping rumah masih setia menemaniku. Sudah lima tahun aku mengayuhnya ke sekolah, dan kini dia menjadi saksi bisu perjuanganku mencari rezeki. Setelah lulus SMP tahun lalu, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan ke SMA. Bukan karena tidak ingin, tapi karena realita yang memaksa. Sebagai anak sulung dari empat bersaudara, tanggung jawab membantu ekonomi keluarga jatuh di pundakku.

"Assalamualaikum, Bu," pamitku sambil mencium tangan Ibu. Bekal nasi bungkus sudah tersimpan rapi dalam tas kain lusuh yang selalu kubawa. Ibu menyelipkan juga sebungkus kecil sambal terasi kesukaanku.
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, Nak," balas Ibu dengan senyum yang menyembunyikan kekhawatiran. "Jangan lupa mampir ke rumah Pak Cik Ahmad kalau hujan."

Mengayuh sepeda melewati jalan berbatu, aku melihat pemandangan yang sudah terlalu akrab: kolong-kolong bekas tambang yang berkilau kebiruan di bawah sinar matahari. Dulu, air di kolong-kolong ini jernih, tempat kami berenang dan memancing. Kini, warnanya keruh oleh aktivitas pendulangan. Pohon-pohon ketapang berjajar di sepanjang jalan, memberikan teduh pada pagi yang mulai terik.

Pak Hamid, tetangga sebelah yang dulu bekerja sebagai mandor di PT Timah, pernah berkata, "Zak, mulailah dari apa yang kamu punya. Jangan tunggu sempurna. Yang penting bergerak." Kata-katanya selalu terngiang, terutama saat aku merasa putus asa. Di usianya yang sudah 60 tahun, dia masih rajin berkebun di pekarangan rumahnya, menanam sayur-mayur yang kadang dibagikan ke tetangga.

Dengan modal sepeda tua dan semangat muda, aku mulai berjualan es kelapa muda keliling. Setiap pagi, aku mengayuh ke pasar untuk membeli kelapa muda dari Pak Darmin. Pasar pagi Belitong selalu ramai dengan pedagang dan pembeli yang saling tawar-menawar. Aroma rempah-rempah dan ikan segar bercampur dengan bau tanah basah setelah hujan semalam.
Pak Darmin memberiku harga lebih murah karena tahu kondisi keluargaku. "Ambil sebanyak yang kamu mampu jual, Zak. Bayarnya nanti sore tidak apa-apa," begitu katanya selalu. Kebaikannya mengingatkanku bahwa di tengah kesulitan, masih ada orang-orang yang peduli.

Di tengah terik matahari Belitong yang menyengat, aku mengayuh dari satu kampung ke kampung lain. Dari Kampung Lenggang ke Kampung Seberang, dari dermaga ke sekolah-sekolah. Melewati rumah-rumah panggung dengan cat yang mulai mengelupas dan jemuran yang berkibar ditiup angin laut. Es kelapa mudaku mulai dikenal, terutama di kalangan para penambang yang mencari kesegaran di tengah lelahnya mendulang timah.

"Zak! Es kelapa mudanya dua!" teriak Bang Rustam dari kejauhan. Dia salah satu pelanggan setiaku, masih tegap bekerja di tambang meski usianya hampir kepala lima. Tangannya yang kasar dan hitam terbakar matahari menerima gelas plastik berisi es kelapa muda dengan senyum lebar.

Sambil mengupas kelapa dan menyiapkan es, aku sering mendengarkan cerita-cerita mereka. Tentang masa kejayaan timah Belitong, tentang harapan yang perlahan pudar, dan tentang anak-anak mereka yang dikirim merantau ke Jakarta atau Malaysia mencari kehidupan yang lebih baik. Ada kesedihan dalam suara mereka, tapi juga ada ketegaran yang khas orang pulau.

Tapi aku memilih bertahan. Bukan karena tidak punya mimpi, tapi karena yakin bahwa di tanah kelahiran ini masih ada harapan. Setiap sore, setelah kelapa terakhir terjual, aku menyempatkan diri mampir ke perpustakaan kecil di dekat masjid. Di sana, sambil menghitung penghasilan hari itu, aku membaca buku-buku tentang wirausaha dan manajemen yang dipinjamkan Pak Rizal, penjaga perpustakaan.

"Tidak ada yang terlalu kecil untuk memulai, Zak," kata Pak Rizal suatu hari, sambil merapikan buku-buku di rak kayu yang sudah tua. "Yang penting konsisten dan jujur dalam berusaha. Lihat saja pohon kelapa, dari satu biji kecil bisa tumbuh menjadi pohon yang berbuah banyak."

Perlahan tapi pasti, usaha kecilku berkembang. Dari hanya menjual kelapa muda, aku mulai menjual es campur dan rujak. Sepedaku kupasangi keranjang tambahan untuk mengangkut lebih banyak dagangan. Adikku yang kedua, Minah, kadang membantuku membuat es di rumah sebelum berangkat sekolah. Dia pandai mencampur sirup dengan takaran yang pas, membuat es campurku semakin disukai pelanggan.

Setiap malam, aku masih belajar sendiri dari buku-buku yang kupinjam. Meski tidak bersekolah formal, aku tidak mau berhenti belajar. Di bawah cahaya lampu minyak—karena listrik sering mati di kampung kami—aku mencatat tips-tips berwirausaha dan belajar berhitung lebih baik. Impianku sederhana: suatu hari nanti, aku ingin punya warung sendiri di dekat pantai, menjual berbagai minuman segar khas Belitong.

Hidup memang tidak selalu mudah di pulau timah ini. Tapi seperti kata Pak Hamid, yang penting bergerak. Mulai dari apa yang kita punya, lakukan apa yang kita bisa. Karena setiap usaha, sekecil apapun, adalah langkah menuju impian yang lebih besar.

Dan di sinilah aku, di atas sepeda tuaku, mengayuh di antara kolong-kolong bekas tambang, membawa kesegaran dan harapan dalam bentuk sederhana: sebuah es kelapa muda, dan tekad untuk terus maju, apapun yang terjadi. Belitong mungkin bukan lagi pulau timah yang gemerlap, tapi di tanah ini masih ada harapan yang bersemi, seperti tunas kelapa yang tumbuh di antara pasir pantai yang keras.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image