Klasifikasi Ghibah Menurut Islam
Agama | 2024-10-26 09:59:49Klasifikasi ghibah menurut islam
PENDAHULUAN
Lidah dan bibir adalah satu kesatuan dalam struktur badan yang tak bertulang, sangat ringan, hingga sangat mudah bagi kita untuk mengucapkan apapun; seperti memberi kabar baik, berdialog, menghibur atau bahkan mencela, menghina, menghakimi atau menceritakan kejelekan dari orang lain yang bisa di sebut dengan ghibah. Namun bagi muslim yang beriman, ia tidak menganggap enteng dalam kejelekan hal tersebut. karena seorang muslim adalah saudara untuk muslim lainya. Sebagai saudara ia tidak akan menjelekkan, merendahkan bahkan menghina saudara-saudaranya sesama kaum muslimin.
Rasulullah shallalluhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, mereka menjawab “Sesungguhnya hanya Allah dan Rasulnya yang tahu.” Lalu Rasul menjelaskan: “yaitu engkau menceritakan tentang sudaramu yang mana membuat saudaramu tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau: “lalu bagaimana jika pada diri saudara saya itu kenyataanya sebagaimana yang saya ungkapkan.” Maka rasul bersabda: “apabila cerita yang engkau katakana itu sesuai dengan kenyataanya maka engkau telah menggibahi-nya. Dan apabila ternyata tidak sesuai denagan kenyataan pada dirinya, maka engkau telah berdusta atas Namanya (berbuat buhtan).” (HR.Muslim).
PENGERTIAN GHIBAH DALAM PRESPEKTIF ISLAM
Dalam Bahasa Arab, ghibah berasal dari kata غا بَ (ghaaba) atau ألغيبَة (al-ghaibah) yang artinya sesuatu yang terhalang dari pandangan. Dari sisi Bahasa, ghibah mengisyaratkan ketidak hadiran orang yang di bicarakan. Definisi ghibah menurut islam yakni membicarakan kejelekan, dan aib seseorang, sementara sosok yang bersangkutan tidak berada di forum tersebut, mulai dari kekurangan fisik, keturunan, akhlaq, tingkah laku, hingga urusan agama atau duniawi-nya. Dari klasifikasi tersebut dapat di simpulkan bahwa ghibah adalah membicarakan orang lain Ketika sosok yang di bicarakan itu tidak sedang berama orang-orang yang sedang menggunjingnya. Dalam agama islam sangat tidak menganjuran tentang perkara tersebut karena, perkara tersebut dapat mengakibatkan timbulnya dosa yang besar.
HUKUM GHIBAH DALAM ISLAM
Hukum dari ghibah sendiri adalah Haram. Hal tersebut di jelaskan dalam firman Allah SWT dalam surah Al-Hujurat ayat 11-12 sebagai berikut:
“hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang di rendahkan atau yang di tertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan janganlah pula sekumpulan Perempuan merendahkan sekumpulan lainya, boleh jadi yang di rendahkan itu lebih baik dari mereka. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan menmanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk setelah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka itulah orang orang yang dzalim, (11). Wahai orang-orang yang beriman! Jahuilah banyak dari prasangka, sesungguhnya Sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu akan merasa jijik, (12). (Q.S Al-hujurat {49}:12).
Pada ayat diatas, Allah SWT mengibaratkan bahwa cela yang di bicarakan itu adalah aib yang seharusnya ditutupi, bukan di bicarakan sengan orang lain. Sebagaimana layaknya bangkai yang seharusnya harus segera di kubur, demikian juga cela dan kekurangan orang lain yang seharusnya di sebunyikan dan tidak di umbar-umbarkan. Maka dari itu kita sebagai umat muslim hendaklah menjaga aib-aib dari saudara muslim lainya.
CONTOH GHIBAH DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARi
Banyak sekali contoh kasus-kasus ghibah dalam keseharian kita misalnya; membicarakan keburukan orang lain dalam bentuk lisan maupun tulisan, membicarakan keburukan orang lain dalam waktu luang, meskipun hanya untuk lelucon atau bercanda hal tersebut juga termasuk kualifikasi ghibah, membicarakan kesuksesan atau kegagalan seseorang di dasari perasaan iri dengki dan kesenangan.
Selain dari contoh-contoh diatas masih banyak lagi hal-hal yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu ghibah dapat terjadi.
SEBAB-SEBAB DI PERBOLEHKANNYA GHIBAH DALAM ISLAM
Menurut ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ghibah di perbolehkan Ketika terdapat tujuan tertentu, seperti mencari bantuan atau nasihat kepada orang lain dalam memecahkan suatu masalah, contohnya seperti:
Usaha untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan seorang perilaku maksiat kepada jalan kebenaran: contohnya Ketika seseorang mengatakan kepada orang yang mampu untuk menghilangkan kemungkaran tersebut dengan mengatakan, “ fulan (menyebut nama) malakukan demikian, maka laranglah ia dari perkara tersebut. jika tidak memiliki tujuan yang baik maka seseorang tersebut tidak boleh mengatakan atau membicarakan hal tersebut.
Seseorang yang di dzolimi: Ketika orang yang terdzolimi melaporkan kepada penguasa atau seorang hakim dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan atau memberikan keadilan padanya. Maka ia menceritakannya bahwa si fulan (menyebt nama) telah mendzolimi aku, berbuat demikian kepadaku, mengambil dariku atau sejenis perkataan lainnya.
Dalam hal ini imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Riyad Al- Shalihin bahwasanya ghibah sekalipun di larang, namun di perbolehkan dalam beberapa kondisi tertentu untuk suatu kemaslahatan, hal ini memperbolehkan ghibah karena adanya tujuan yang di benarkan menurut hukum syar’i, Dimana tujuan tidak akan tercapai tanpa melakukannya. Imam Nawawi mengkualifikasikan sebab di perbolehkannya ghibah menjadi enam perkara antara lain; Ghibah untuk mengadukan kezaliman ( at-tazallum), ghibah untuk meminta tolong (al-isti’anah), ghibah untuk meminta fatwa (isitifta’), ghibah untuk memperingatkan (tahdzir), ghibah yang dilakukan secara terang-terangan terhadap orang yang berbuat maksiat, menyebut ciri seseorang tidak untuk merendahkan melaikan untuk memberi pemahaman kepada seseorang.
Enam kondisi diatas berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas’ud: Kami diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud ra. Ia bercerita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam membagikan ghanimah suatu peperangan. Ada salah seorang Ansor kecewa dan berkata: “Demi Allah, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam dengan ini sedang tidak mengharapkan ridha Allah.” Aku menemui Rasulullah lalu menceritakan kekecewaan tersebut. Seketika warna wajah Rasulullah berubah karena marah lalu berkata, “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya untuk Musa yang disakiti umatnya lebih dari ini, lalu ia bersabar.” Pada sebagian riwayat, Ibnu Mas‘ud ra berkata: “Setelah itu aku tidak membawa cerita kekecewaan seorangpun kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam.” Menurut kami, Imam Bukhari berhujah dengan hadits ini perihal kebolehan seseorang yang menceritakan ucapan orang lain. (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar,[Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 293). Dalam Kesimpulan hal ini dapat disimpulkan bahwa ada suatu kondisi-kondisi tertentu yang di perbolehkan nya ghibah itu dapat terjadi.
KESIMPULAN
Dalam prespektif islam, ghibah (menggunjing) umumnya dianggap sebagai perbuatan tercelea dengan hukum haram bagi yang melakukannya, karena melibatkan atau membicarakan keburukan atau kekurangan orang lain di belakangnya, seperti yang di jelaskan dalam Al-Qur’an (Al-Hujurat: 11-12), ghibah dapat merusak keharmonisan sosial, menyakiti hati, serta menurunkan nilai moralitas inividu.
Namun islam memperbolehkannya suatu ghibah dalam keadaan tertentu dengan tujuan untuk kemaslahatan Bersama antara lain: Melindungi bahaya atau ketidak adilan, mencari nasihat atau Solusi, melaporkan hal-hal yang menyimpang dengan tujuan yang baik. Kesimpulannya, dalam islam ghibah dilarang karena dapat menimbulkan dampak negatif, tetapi juga di perbolehkan untuk kondisi-kondisi tertentu, yaitu jika memiliki tujuan yang jelas untuk kebaikan dan kemaslahatan Bersama.
NAMA: Feby Auliya Rahmawati
KELAS: BKI 1C
NIM: 1860306241004
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.