Kesadaran Lingkungan di Era Krisis Iklim : Peduli dengan Perubahan Iklim
Edukasi | 2024-10-25 08:57:40Krisis iklim atau perubahan iklim telah membuat kekhawatiran yang menjadi perhatian masyarakat selama beberapa tahun terakhir (Hayatulah et al., 2013). Peningkatan suhu ekstrem yang diperkirakan dari kurun waktu 2022-2026 akan melampaui batas tertinggi hingga lebih dari 1,5 derajat celcius. Meningkatnya lonjakan suhu ini diukur berdasarkan perbedaan temperature saat ini dengan suhu masa pada saat praindustri tahun 1850-1900an (Budianto, 2023). Krisis iklim disebabkan oleh perubahan drastis dalam pola cuaca, suhu rata-rata global yang meningkat, serta dampak ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan peningkatan permukaan air laut telah menjadi perhatian utama dunia. Terjadinya krisis iklim ini bukan hanya dapat mempengaruhi lingkungan, namun juga dapat berdampak terhadap kondisi ekonomi sosial, politik, dan global (Syamsiyah & Novarinda, 2024). Krisis iklim merujuk pada perubahan signifikan dalam komposisi atmosfer akibat aktivitas manusia yang memicu efek (GRK) gas rumah kaca. Gas rumah kaca (GRK) tersebut kemudian akhirnya mengalami penumpukan di atmosfer bumi serta menyebabkan meningkatnya suhu rata-rata global dunia.
Dampak yang akan dirasakan masyarakat dan dunia
Dampak dari krisis iklim sangat kompleks dan meluas, kenaikan suhu global ini dapat menganggu ekosistem kita, menyebabkan kepunahan spesies, dan merusak habitat alami. Pola cuaca yag tidak teratur atau tidak stabil juga akan menjadi ancaman bagi sektor pertanian, keamanan pangan, serta menyebabkan bencana alam yang lebih sering hingga dapat lebih parah. Krisis iklim juga mencerminkan ketidaksesuaian atau ketidakselarasan global. Para ilmuwan sering mengingatkan kita mengenai konsekuensi perubahan iklim yang serius. Salah satu dampak paling jelas dari terjadinya krisis iklim adalah peningkatan suhu global yang menyebabkan cuaca ekstrem seperti gelombang panas, badai yang menjadi lebih intens (Romps et al., 2014), dan pola curah hujan yang tidak menentu. Gelombang panas yang berkepanjangan dapat memperburuk krisis kesehatan masyarakat, memicu penyakit-penyakit yang berkaitan dengan panas serta meningkatkan angka kematian terutama bagi kelompok yang sudah rentan seperti lansia maupun anak-anak. Lalu pemanasan global juga dapat menyebabkan mencairnya es di kutub yang mengancam daerah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berisiko tenggelam, selain merusak habitat alami hal ini juga dapat mengganggu mata pencaharian nelayan.
Interaksi manusia dan lingkungan fisik dapat mempengaruhi perilaku dan kesejahteraan mereka. Dalam konteks krisis iklim, hal ini menjadi relevan dikarenakan perubahan iklim memicu stress lingkungan. Respon stress ini muncul terutama ketika karakteristik lingungkan tersebut melebihi ambang batas yang bisa diterima oleh organisme. Secara otomatis, setelah mengalami kondisi seperti itu, organisme mengembangkan perilaku tertentu untuk mengatasi stress tersebut. Tanda-tanda awal respon terhadap stressor (penyebab stres) biasanya ditunjukkan melalui gejala-gejala reaksi fisiologis (Hanurawan, 2024). Upaya melawan stressor kemudian diikuti oleh perilaku aktif dari organisme yang mencoba melakukan berbagai strategi psikologis untuk menghentikan stres tersebut. Kesadaran lingkungan seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, termasuk aspek psikologis, sosial, dan budaya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran lingkungan di era krisis iklim
Dari sudut pandang psikologis, pemahaman individu yang pernah mengalami bencana alam seperti bencana banjir, kekeringan atau kebakaran hutan, cenderung lebih sadar akan urgensi untuk menjaga lingkungan, karena pengalaman-pengalaman tersebut memperkuat persepsi mereka tentang ancaman yang nyata. Pengalaman ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam, sehingga memicu aksi yang lebih nyata mengenai dampak jangka panjang dari perubahan iklim dan rasa ancaman langsung yang mereka alami (Bechtel & Wiley, 2002). Pendidikan memainkan peranan penting dalam meningkatkan kesadaran lingkungan. Masyarakat yang mendapatkan informasi yang cukup melalui pendidikan formal dan media terkait perubahan iklim lebih cenderung terlibat dalam perilaku ramah lingkungan, seperti mengurangi konsumsi energi dan mendaur ulang. Akses terhadap informasi yang tepat dapat meningkatkan pemahaman individu tentang dampak krisis iklim dan mendorong mereka untuk bertindak.
Faktor sosial juga berperan besar dalam pembentukan kesadaran lingkungan. Aturan-aturan yang berlaku pada masyarakat atau kelompok sosial memengaruhi perilaku individu. Di komunitas yang menghargai pelestarian lingkungan, individu lebih mungkin terlibat dalam perilaku pro-lingkungan. Namun, di komunitas yang tidak menekankan pentingnya tindakan lingkungan, individu bisa kurang terdorong untuk berkontribusi.
Selain itu, budaya memiliki peran penting dalam membentuk cara pandang dan perilaku lingkungan. Pola konsumsi yang diwariskan dari generasi ke generasi dapat membentuk perilaku konsumtif yang merusak lingkungan, seperti penggunaan plastik sekali pakai. Sebaliknya, budaya yang menekankan harmoni dengan alam, seperti yang terlihat di masyarakat tradisional, cenderung menghasilkan individu yang lebih peduli terhadap pelestarian lingkungan. Secara keseluruhan, kesadaran lingkungan terbentuk dari kombinasi pengaruh psikologis, sosial, dan budaya, yang secara bersama-sama membentuk sikap dan tindakan individu serta masyarakat dalam menghadapi krisis iklim.
Mengapa peduli saja tidak cukup?
Kesadaran dan kepedulian terhadap krisis iklim memang merupakan langkah awal yang penting, tetapi sekedar peduli saja tidak akan cukup guna menghadapi tantangan-tantangan yang tidak mudah yang sering kita hadapi saat ini. Beberapa tahun terakhir, semakin menambahnya populasi yang menghadapi dampak perubahan iklim terhadap planet ini. Isu-isu seperti pemanasan global, kenaikan permukaan laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati semakin sering menjadi perhatian masyarakat. Namun, meskipun kepedulian meningkat, tindakan nyata untuk mengatasi masalah ini sering kali terlupakan atau diabaikan. Banyak yang tahu bahwa perubahan iklim adalah masalah serius, namun cuman sedikit yang mengambil langkah konkret untuk mengatasinya.
Salah satu alasan mengapa kesadaran saja tidak cukup adalah karena adanya jarak antara kepedulian dan tindakan. Banyak orang merasa bahwa dampak perubahan iklim tidak langsung dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua orang merasa bertanggung jawab untuk bertindak sehingga mereka cenderung menunda atau bahkan mengabaikan tindakan yang diperlukan. Krisis iklim mungkin terlihat seperti masalah yang jauh, sesuatu yang tidak akan mempengaruhi generasi mendatang atau wilayah lain yang jauh dari tempat tinggal mereka. Hal tersebut tidak cukup untuk membawa perubahan yang diperlukan, karena meskipun banyak orang yang peduli, mereka mungkin tidak tahu apa langkah-langkah konkret yang dapat mereka ambil.
Ketidaktahuan ini seringkali menjadi hambatan besar dalam upaya kolektif untuk menjaga lingkungan, pada dasarnya penerimaan tanggung jawab kolektif dan pribadi sangat penting dalam mendorong tindakan mitigasi dan adaptasi yang diperlukan (Steg & Groot, 2019). Usaha yang perlu dilakukan untuk melakukan tindakan nyata dari bagian kesadaran lingkungan diperlukan melalui cara memelihara lingkungan yang dimulai dari memperbaiki serta memelihara mutu lingkungan agar dapat terlaksana dengan baik. Banyak faktor yang mempengaruhi kesadaran lingkungan, faktor pertama yang paling sering dijumpai di diri individu adalah faktor ketidaktahuan yang didasarkan dari faktor rasa ingin tahu, menurut Amos (2008) kesadaran juga diartikan sebagai tahu. Ketika seseorang dikatakan tidak sadar maka orang tersebut sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan atau tidak aware mengenai lingkungan sekitarnya, hal tersebut mempengaruhi kesadaran lingkungannya. Kesadaran tidak hanya tentang memiliki perhatian, tetapi juga tentang pengetahuan. Ketika seseorang tidak memiliki informasi yang memadai tentang cara-cara melindungi lingkungan, maka mereka tidak akan bisa melakukan perubahan yang berarti.
Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis iklim lebih dari sekedar kepedulian yang diperlukan. Diperlukan aksi nyata yang dilakukan secara berkelanjutan dan melibatkan semua masyarakat. Setiap individu perlu memahami bahwa setiap tindakan kecil, seperti mengurangi konsumsi penggunaan plastik, menggunakan transportasi ramah lingkungan, atau mendaur ulang sampah, memiliki dampak besar jika dilakukan bersama-sama. Kesadaran lingkungan yang benar-benar efektif adalah kesadaran yang diwujudkan dalam tindakan, bukan hanya dalam kata-kata atau rasa peduli semata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.