Santri dan Transformasi Dakwah di Era Digital: Membangun Narasi Inklusif dan Moderat
Agama | 2024-10-23 19:58:06Hari Santri Nasional setiap 22 Oktober merupakan momen penting untuk menyoroti peran santri dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, sosial, dan kebangsaan di Indonesia. Seiring dengan perkembangan teknologi, santri kini berhadapan dengan tantangan baru: bagaimana dakwah dapat tetap relevan dan berdaya guna di era digital. Artikel ini mengulas transformasi dakwah santri dalam konteks era digital, terutama dalam membangun narasi inklusif dan moderat yang sesuai dengan ajaran Islam rahmatan lil 'alamin.
Santri dan Digitalisasi Dakwah
Peran santri dalam dunia dakwah telah berlangsung lama, dengan pesantren sebagai pusat pendidikan dan pembinaan umat. Namun, revolusi digital mengubah cara komunikasi, termasuk bagaimana dakwah disampaikan. Jika dahulu dakwah lebih sering dilakukan secara langsung dalam bentuk ceramah di masjid atau forum kajian, kini media sosial, podcast, dan video streaming menjadi sarana utama penyebaran dakwah.
Digitalisasi dakwah membawa santri ke dalam ruang baru yang penuh peluang sekaligus tantangan. Santri yang melek teknologi kini dapat menyebarkan pesan-pesan keagamaan dengan jangkauan yang lebih luas dan waktu yang lebih cepat. Namun, tanpa strategi yang tepat, ada risiko tersebarnya narasi keislaman yang kaku atau bahkan ekstrem melalui platform digital.
Membangun Narasi Inklusif dan Moderat
Di tengah derasnya arus informasi, narasi moderat menjadi semakin penting. Islam di Indonesia, dengan karakteristiknya yang moderat, terbuka, dan inklusif, harus terus diperkuat di era digital. Kaum santri, yang merupakan pelajar agama Islam di pesantren, memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa dakwah yang mereka sebarkan melalui media digital mencerminkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil 'alamin.
Narasi inklusif dan moderat dalam dakwah dapat diartikan sebagai ajakan yang merangkul seluruh elemen masyarakat, tanpa diskriminasi. Hal ini juga mencakup penerimaan terhadap keragaman pandangan dan kepercayaan di tengah masyarakat majemuk. Santri, melalui pemahaman keislaman yang mendalam, dapat menyampaikan pesan bahwa Islam mengajarkan toleransi, perdamaian, dan menghormati perbedaan.
Dengan menggunakan teknologi digital, santri dapat menghadirkan ceramah dan kajian yang membahas isu-isu kontemporer seperti kesetaraan gender, hak asasi manusia, pluralisme, dan moderasi beragama. Hal ini penting untuk melawan narasi-narasi intoleran yang terkadang muncul di platform digital.
Memanfaatkan Media Digital secara Efektif
Platform digital seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan podcast kini menjadi alat utama dalam penyebaran dakwah. Keberhasilan dakwah digital tidak hanya terletak pada kemampuan teknis untuk menggunakan platform ini, tetapi juga pada strategi komunikasi yang digunakan. Dakwah yang efektif di era digital harus bersifat menarik, interaktif, dan mudah dipahami oleh audiens yang lebih luas.
Santri dapat mengadopsi berbagai format konten kreatif seperti video pendek, infografis, atau podcast untuk menarik perhatian generasi muda. Format dakwah yang ringan namun tetap bermakna akan lebih efektif dalam menyampaikan pesan keagamaan, dibandingkan dengan pendekatan formal yang terkesan kaku. Santri juga dapat memanfaatkan fitur interaktif seperti Q&A atau diskusi daring untuk menjawab langsung pertanyaan dan kekhawatiran masyarakat terkait agama dan kehidupan sehari-hari.
Tantangan di Era Digital
Meskipun teknologi memberikan peluang yang besar, santri juga menghadapi tantangan serius dalam dunia dakwah digital. Salah satu tantangan terbesar adalah menyaring dan melawan penyebaran hoaks serta ekstremisme agama. Banyak narasi intoleran dan ekstrem yang dengan mudah tersebar melalui internet, dan ini menjadi ancaman nyata bagi kerukunan umat beragama.
Santri harus memiliki literasi digital yang baik agar dapat memilah informasi yang valid dan akurat sebelum menyebarkannya. Selain itu, mereka juga harus mampu memberikan counter-narrative yang tepat untuk menanggapi narasi-narasi negatif yang dapat memecah belah masyarakat. Ini berarti, santri tidak hanya berperan sebagai penyebar dakwah, tetapi juga sebagai agen yang aktif dalam melawan disinformasi dan narasi kebencian.
Dakwah Moderat: Kunci Perdamaian di Era Digital
Dalam membangun narasi moderat, santri harus merujuk kepada prinsip-prinsip Islam yang mengajarkan perdamaian, keadilan, dan kasih sayang. Melalui dakwah yang moderat, santri dapat membantu menciptakan lingkungan digital yang damai dan produktif, di mana perbedaan pandangan dihormati dan kerukunan dijunjung tinggi.
Santri yang terbiasa dengan budaya diskusi di pesantren juga dapat membawa semangat dialog ini ke dalam ruang digital. Dengan membuka ruang diskusi yang sehat dan inklusif di media sosial, santri dapat berperan sebagai mediator yang menjembatani perbedaan dan menghindari polarisasi dalam masyarakat.
Catatan Penutup
Transformasi dakwah di era digital membuka peluang besar bagi santri untuk berperan aktif dalam membangun narasi inklusif dan moderat. Melalui pemanfaatan teknologi, santri dapat menyebarkan nilai-nilai keislaman yang relevan dengan tantangan zaman, sembari melawan narasi intoleran dan ekstremisme. Dengan pendekatan yang kreatif, interaktif, dan penuh semangat rahmatan lil 'alamin, dakwah santri di era digital dapat menjadi kekuatan yang mempersatukan, mencerdaskan, dan memakmurkan umat.
Hari Santri Nasional ini adalah pengingat bahwa santri bukan hanya pewaris tradisi keagamaan, tetapi juga agen perubahan yang mampu menjawab tantangan zaman. Melalui transformasi dakwah di era digital, santri dapat terus memajukan masyarakat Indonesia menuju kehidupan yang lebih damai dan harmonis.
*Study Rizal L. Kontu adalah Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah (P3ID) FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.