Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Damay Ar-Rahman

Desir 3 (Mencintai adalah meyakini)

Sastra | 2024-10-22 23:29:07
Foto: Canva

Sekolah dibuka pukul tujuh pagi. Seorang satpam dengan seragamnya yang rapi menunjukkan sikap semangat seperti merapikan topi dan membuka pagar sambil menyapa siapapun yang ia kenal. Pak satpam terlihat sangat bersiap-siap untuk menjalankan tugas dengan baik. Meski awan menunjukkan redup karena mendung, untungnya air langit belum tumpah yang Mei khawatirkan akan membuatnya terlambat menuju sekolah.

Banyak hal yang akan ia lakukan saat di kelas. Tidak hanya belajar, melihat bapak dan ibu guru mengajar membuatnya ceria terutama jika guru Bahasa Indonesia sedang mengajar. Ibu Sofia. Walau kulitnya tidak seputih guru Matematika, tetapi terlihat menawan dan manis. Terutama saat tersenyum dengan gigi taring disertai lesung pipi membuat siapapun termasuk Mei terkesima. Tidak ada hari tanpa tersenyum. Walau muridnya pada bandel bahkan sampai melawannya, ia tetap merespon lembut, atau kadang-kadang melucu.

"Jangan begitu Surya. Nanti kalau kamu sering melawan ibu, jadi bapak guru mau? Enak Lo." Ucap Buk Sofia dengan nadanya yang centil.

"Enggak mau buk. Entar dibuli kayak ibu kwkwkwkwkw." Jawab Surya memasang wajah meledek.

Sambil menggeleng kepala dan menghembus nafas perlahan Bu Sofia masih menjawab dengan nada lembut. Bahkan ia memotivasi Surya agar ia menjadi anak baik dan masa depannya sukses. Cara Bu Sofia mengajar membuat para murid betah berlama-lama berada di kelas. Banyak anak-anak yang belum bisa membaca. Sebagai guru bahasa, Bu Sofia dengan senang hati membuka waktunya di luar jam mengajar, demi anak didiknya agar lancar membaca. Rendahnya minat siswa untuk belajar, terutama sekolah itu walau berada di daerah kota, tetapi letaknya sangat tidak strategis alias dekat laut, cara berfikir mereka masih terbilang belum maju. Sekolah hanya banyak memakan waktu, lebih baik ke laut atau yang perempuan menikah meski di usia dini. Mayoritas murid sudah dipastikan berlatar belakang keluarga dengan ekonomi di bawah rata-rata. Orangtua mereka adalah pekerja buruh, nelayan, dan pedagang. Sangat berat usaha yang dilakukan sekolah untuk mengajak warga bersekolah, tak terkecuali Surya sendiri.

Ayahnya yang telah meninggal saat usianya lima bulan ditambah ibunya yang pergi ke Arab belum pulang-pulang, membuat anak itu sangat susah diatur, menjengkelkan, bahkan pernah terlibat sebagai penadah barang curian. Selama tanpa orangtua, neneknyalah yang membesarkan. Walau anak itu sangat nakal, tetapi jika pulang ia akan menjadi malaikat. Melihat wajah teduh nenek membuatnya nyaman. Ia tanpa nenek bukanlah apa-apa. Anehnya, ia ingin menjadi orang sukses, membawa neneknya ke tanah suci. Tetapi, untuk usahanya sangat nol. Ia pemalas, dan ingin serba instan. Terkadang Mei, merasa kasihan juga dengannya. Walau kesal, posisi Surya sama malangnya seperti nasibnya. Bedanya, hanya soal memahami hidup. Mei lebih menerima, sedangkan Surya membencinya.

Saat bermain di tepi pantai, Mei melihat Surya duduk termenung dengan tangan dilingkari pada lututnya. Rambut gimbalnya, walau mengeras dan dipastikan sangat bau, tapi udara laut begitu baik sehingga aroma asam dari tubuhnya tidak terbang apalagi tercium dan menebar ke mana-mana. Mei memperhatikan Surya termenung selama dua jam. Ia tahu, anak itu sedang memikirkan sesuatu, meski yang dipikirkan adalah kebencian. Mei ingin menemani, tetapi takut disalah artikan. Lebih baik diam dan jauh, daripada dekat jadi petaka. Petaka di mana Mei pernah disangka naksirlah, atau sok dekat.

Lonceng berbunyi tepat pukul dua belas siang. Siswa kelas satu hingga kelas tiga dapat pulang. Dua sampai lima siswa dijemput oleh orangtuanya, selebihnya jalan kaki atau naik sepeda. Terik matahari tidak melunturkan semangat Mei. Ia sangat meresapi kata Buk Sofia, bahwa perjalanan manusia akan tetap baik, jika dijalankan dengan ikhlas. Jangan mengeluh, lepaskan semua rasa lelah dengan bersyukur. Masih memiliki rumah dan saudara penyayang, adalah anugrah yang tak semua orang punya. Di kejauhan terlihat Mirna sedang memberi makan ayam. Mei berlari dengan tas ranselnya yang bunyi kerincingnya terdengar hingga membuyarkan lamunan Mirna karena keasyikan melihat ayam-ayamnya telah besar. Ayam-ayam itu sebanyak dua ekor akan dipotong untuk perayaan maulid, dan tujuhnya lagi akan dijual untuk biaya sehari-hari.

(Akan ada cerita lanjutannya)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image