Catatan Self Declare Jelang Wajib Halal Oktober 2024
Info Terkini | 2024-10-14 11:00:12Catatan Self Declare Jelang Wajib Halal Oktober 2024
Bulan Oktober 2024, lebih tepatnya pada 18 Oktober menandai dimulainya kewajiban sertifikasi halal tahap pertama. Pasca diundangkan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), sertifikasi halal yang semula bersifat sukarela berubah menjadi mandatory atau wajib. Kewajiban sertifikasi halal mulai diberlakukan lima tahun kemudian (2019), dan implementasinya dibagi menjadi beberapa penahapan dengan selang waktu 5 tahun untuk setiap tahapnya, sebagaimana diatur dalam PP No. 39 Tahun 2021.
Lima tahun pertama penerapan wajib halal (17 Oktober 2019 – 17 Oktober 2024) menyasar produk makanan dan minuman, serta bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman, jasa sembelihan, produk hasil sembelihan, termasuk jasa distribusi yang berhubungan langsung dengan produk-produk tersebut. Harapannya pada 18 Oktober 2024, semua produk dan jasa tersebut sudah memiliki sertifikat halal. Sanksi akan diberlakukan bagi pelaku usaha yang produk/jasanya belum berlabel halal. Mulai dari sanksi berupa peringatan tertulis, denda, hingga penarikan barang dari peredaran.
Beberapa kendala masih ditemui dalam implementasi sertifikasi halal. Masih banyak produk yang belum disertifikasi halal jelang Wajib Halal Oktober 2024. Per Mei 2024, BPJPH telah mengeluarkan sertifikat halal untuk 4,4 juta produk dari targetnya di 2024 sebanyak 10 juta sertifikat halal. Target itu pun masih jauh dari jumlah pelaku usaha UMK yang mencapai 66 juta, jumlah yang cukup besar dengan kuantitas dan ragam produk/jasa yang dihasilkannya. Sehingga pada Mei 2024 lalu Pemerintah memutuskan menunda pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan-minuman skala UMK menjadi Oktober 2026. Sementara bagi industri menengah dan besar kewajiban tetap berlaku.
Banyaknya jumlah produk dari pelaku usaha UMK perlu mendapat perhatian melalui kemudahan proses sertifikasi halal. Jalur self declare menjadi jalan keluar untuk mempermudah dan mempercepat sertifikasi halal produk dari pelaku usaha UMK, tentunya dengan kriteria tertentu.
Namun jalur sertifikasi ini mendapat perhatian di dunia maya, karena “lolosnya” nama-nama nyeleneh yang semestinya dilarang digunakan untuk menamai produk halal, seperti “Beer”, “Wine”, “Tuyul”, dan “Tuak”. Sebagian di antaranya ada yang merupakan produk yang disertifikasi halal melalui jalur self declare, meski ada juga yang melalui jalur reguler. Banyak kalangan akhirnya menyangsikan status halal produk dari skema self declare, karena dinilai kurang pengawasan. Benarkah demikian?
Sertifikasi Halal Self Declare
Terdapat dua prosedur sertifikasi halal, yaitu skema reguler dan self declare. Sertifikasi halal self declare diatur dalam PP Nomor 39 Tahun 2021, dan secara detailnya dalam PMA Nomor 20 Tahun 2021, tentang Sertifikasi Halal Bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil. Regulasi ini mengatur kriteria pelaku usaha yang bisa mengajukan sertifikasi halal melalui jalur self declare, pelaksanaan pendampingan Proses Produk Halal/PPH, dan pembiayaan.
Sejatinya skema ini memudahkan pelaku UMK mengurus sertifikat halal produknya, karena prosedur sertifikasi mengacu pada pernyataan pelaku usaha berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH. Standar halal tersebut paling sedikit terdiri dari 2 hal, yaitu: 1) Pernyataan pelaku usaha berupa akad/ikrar yang menyatakan kehalalan dari produk dan bahan yang digunakan, telah diproduksi melalui Proses Produksi Halal (PPH); 2) Adanya pendampingan PPH. Self declare secara sederhana merupakan pernyataan atau klaim halal dari pelaku usaha yang telah diverifikasi oleh Pendamping PPH.
Skema self declare dikhususkan untuk pelaku UMK dengan omset maksimal Rp500 juta per tahunnya, dengan produk yang dinilai tidak berisiko atau menggunakan bahan-bahan yang tersertifikasi halal, dan hanya memiliki 1 lokasi fasilitas produksi. Pembiayaan sertifikasi halal ditanggung oleh pemerintah sehingga pelaku usaha tidak dikenakan biaya.
Perbedaan Ketetapan Halal
Perbedaan prosedur sertifikasi self declare dengan skema reguler adalah pada saat pemeriksaan kehalalan produk dan proses ketetapan halal (KH). Pelaku usaha yang mengajukan sertifikasi melalui skema self declare akan didampingi oleh 1 orang Pendamping PPH dari Lembaga Pendamping Proses Produk Halal (LP3H), yang melakukan verifikasi dokumen dan juga pengecekan ke lokasi produksi. Hasil pengecekan tersebut akan dikirimkan ke Komite Fatwa Produk Halal di BPJPH untuk mendapatkan ketetapan halal, dan sertifikat halal dapat diterbitkan.
Ketetapan halal adalah hasil sidang fatwa berupa fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari'at Islam, yang dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI dan/atau Komite Fatwa Produk Halal BPJPH. Komisi Fatwa MUI tidak terlibat dalam ketetapan halal untuk produk yang disertifikasi melalui self declare, dan hanya terlibat untuk ketetapan halal produk/jasa dari jalur reguler. Pembagian kewenangan tersebut jadi konsekuensi logis untuk mempercepat prosedur sertifikasi karena banyaknya produk/jasa yang diproses sertifikasinya. Atas dasar inilah pihak MUI menyatakan tidak bertanggung jawab atas sertifikasi halal melalui jalur self declare.
Pasca diklarifikasi oleh BPJPH, MUI, dan perwakilan LPH dari LPPOM MUI, lolosnya istilah nyeleneh pada produk halal terjadi karena beberapa faktor. Untuk produk reguler yang diperiksa melalui LPH LPPOM MUI, pihaknya menjamin hasil pemeriksaan yang terdapat dalam ketetapan halal tidak memuat istilah “Beer” namun “Beef”. Sehingga penulisan “Beer” yang seharusnya “Beef” dalam data base BPJPH, merupakan kesalahan teknis dan sudah ditindaklanjuti. Adapun kata “wine” yang lolos terdapat dalam produk kosmetik yang berasosiasi dengan warna (bukan sensori rasa/aroma) dan penggunaannya untuk produk non pangan diperbolehkan dalam fatwa MUI. Sementara LPPOM MUI dikonfirmasi tidak pernah meloloskan produk dengan istilah “tuyul” dan “tuak”, dan belum ada pernyataan spesifik terkait 2 istilah tersebut dari BPJPH. Beberapa pihak menduga 2 istilah tersebut lolos dari jalur self declare.
Terjadinya perbedaan dasar ketetapan halal inilah yang dituding jadi penyebab lolosnya istilah-istilah “nyeleneh” pada produk halal. Ketetapan halal oleh Komite Fatwa Produk Halal seyogyanya tetap mengacu pada fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI agar bisa satu suara. Dokumen-dokumen fatwa halal yang telah dibuat sejak MUI menjadi aktor tunggal sertifikasi halal juga seyogyanya diadopsi menjadi acuan formal.
Pemanfaatan dukungan IT untuk mengumpulkan istilah-istilah yang tidak boleh digunakan sebagai nama produk halal, dalam suatu data base. Selanjutnya fitur filter otomatis dapat diterapkan saat meng-input data sertifikasi halal oleh verifikator BPJPH, sehingga kesalahan teknis dapat dihindari.
Kredibilitas Proses untuk Kepercayaan Umat
Segala sesuatu (benda) yang telah diciptakan Allah SWT pada dasarnya halal untuk dimanfaatkan. Allah SWT telah mengecualikan sebagian kecil melalui nash secara khusus. Dengan kata lain hukum asal benda adalah ibahah (boleh), adapun jika terdapat dalil yang mengharamkannya maka benda tersebut dihukumi haram dimanfaatkan. Ini menunjukkan keluasan pandangan Islam dalam masalah halal dan haram suatu benda, karena jenis yang diharamkan jauh lebih sedikit jumlahnya.
Adanya perkembangan dan inovasi teknologi dalam industri banyak menghasilkan produk turunan dari bahan alam. Status kehalalan dari produk baru tersebut perlu ditetapkan oleh para ulama dan para ahli di bidangnya, sehingga jelas statusnya apakah halal atau haram untuk digunakan. Sertifikat halal produk menjadi cara untuk memastikan dan menjamin status kehalalannya.
Sertifikasi halal melalui self declare mewadahi kebutuhan tersebut. Syarat penggunaan bahan yang tersertifikasi halal, serta proses yang sederhana mutlak dipenuhi, sehingga tidak diperlukan lagi proses audit dan pemeriksaan laboratorium oleh LPH. Namun pelaksanaan di lapangan akan sangat bergantung pada kualitas personil Pendamping PPH. Meski telah diberikan pelatihan dan sertifikasinya, Pendamping PPH tetap perlu dievaluasi secara berkala untuk mempertahankan kredibilitasnya sekaligus meningkatkan kualitasnya. Diharapkan penilaian mereka saat memverifikasi tidak bias oleh faktor eksternal. Seperti diketahui insentif Pendamping PPH cukup rendah yaitu Rp.150ribu.
Hal lainnya yang dapat menjamin kepercayaan umat pada sertifikat halal adalah pada proses pengawasan pasca label halal diperoleh. UU Nomor 6 Tahun 2023 menetapkan sertifikat halal berlaku sejak diterbitkan BPJPH dan tetap berlaku sepanjang tidak ada perubahan komposisi dan atau PPH. Artinya tidak ada masa berlaku jika pelaku usaha tidak mengganti bahan atau PPH. Tanpa adanya pengawasan, maka tidak ada yang bisa memastikan tidak ada perubahan pada bahan dan PPH di pelaku usaha.
Ketersediaan pasokan bahan baku tersertifikasi halal juga masih menjadi kendala di tingkat UMK. Misalnya saja produk sembelihan seperti daging ayam dan sapi yang banyak menjadi bahan baku produk UMK. Hingga kini jumlah Rumah Pemotongan Hewan dan Unggas yang telah mendapat sertifikasi halal masih sangat sedikit jumlahnya, dengan penyebaran yang juga tidak merata. Kesulitan bahan baku daging tersebut menjadi kendala di hulu yang berpengaruh hingga ke hilir.
Halal-Haram bagi umat muslim adalah mutlak dan berhubungan dengan faktor keimanan dan ketundukan pada syariat Islam. Faktor trust menjadi sangat krusial dalam hal ini. Idealnya jangan sampai terdapat kesalahan dalam proses sertifikasi yang dapat meruntuhkan kepercayaan umat. (Anidah)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.