Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aswantri Bekti

Cerpen : Karim

Sastra | Thursday, 10 Feb 2022, 20:42 WIB

Herman menghentikan motornya di sebuah tikungan di ujung ladang. Mesin ia matikan. Dipandangnya jalan setapak yang baru saja dilewatinya. Jalan cukup terjal di lereng yang masih berkabut sebagian. Dari kejauhan mirip seekor ular yang melilit punggung bukit itu. Suara berbagai binatang bersahutan, mengiringi deru angin pagi yang semilir dingin menerpa tubuhnya. Pria itu sedikit menggigil. Sambil mengatupkan bibirnya dia berusaha mengusir rasa dingin dengan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya lalu meniup-niupnya. Asap mengepul dari mulutnya yang agak membiru. Herman menghela nafas panjang. Dilihatnya jam di tangan. Hampir jam delapan pagi. Kembali pandangannya menyapu sekeliling. Ketika kabut di sekitarnya mulai menipis, dia baru menyadari bahwa tak jauh darinya ada sebuah sungai kecil. Pantas saja sedari tadi dia mendengar suara gemercik air. Senyum kecil tersungging di bibirnya ketika dilihatnya dari kejauhan seseorang nampak berjalan sambil memanggul sesuatu di punggungnya. Seorang peladang, mungkin.

“Maaf, kang,” sapa Herman ketika sosok tersebut, yang ternyata sebaya dengannya, berlalu di depannya.

“Ya, ada apa, Pak?” orang itu menyahut ramah. Diturunkannya beban di punggungnya. Ditatapnya orang berpakaian seragam yang berdiri di samping sebuah sepeda motor itu dengan penuh tanda tanya.

“E, saya bermaksud ke rumah murid saya ,” sahut Herman.

“Oh, saya sudah menduga. Bapak adalah seorang guru,” peladang tersebut menimpali.

“Benar, Kang. Saya guru baru di daerah ini. Belum sampai setengah tahun.”

“Wah, senengnya. Sebenarnya saya dulu juga becita-cita pengin jadi guru. Sayang, keadaan tidak memungkinkan ,” agak bergumam, orang berperawakan gempal itu seperti menyesali diri. Ada segurat rasa kecewa terlintas di wajahnya.

Herman hanya tersenyum. Ditepuknya pundak orang itu.

“Ya semoga saja cita-cita itu bisa terujud nantinya, Kang. Mungkin putra atau cucu ada yang menjadi guru.” Orang itupun mengangguk, seolah mengaminkan.

“Oh ya, saya sebenarnya mencari rumah murid saya bernama Karim, menurut data yang ada di madrasah, dia tinggal di daerah ini,” sambung Herman setelah beberapa saat hening.

“Wah, betul kalau dihitung-hitung dia masih keponakan saya. Kenapa Pak, dia suka bolos ya?”

“O, tidak. Karim anak yang rajin. Tetapi pagi ini kenapa tidak berangkat ya. Padahal ini kan sudah memasuki ujian akhir. Saya ditugaskan untuk menjemputnya, Kang. Dihubungi berkali-kali, hp nya tidak aktif.” jawab Herman.

“Oh, kemaren sore hp nya kecebur kolam di belakang rumah, Pak,“ cepat peladang itu menyahut.

“Rumahnya di ujung ladang itu, Pak. Tidak jauh lagi. Di samping rumahnya ada kandang sapi tetapi pas kosong ini. Maaf, ini saya juga harus segera ke ladang. Keburu siang,” berkata demikian sambil kembali mengangkat karung yang semula diletakkannya. Hermanpun mengucapkan terimaksih sebelum akhirnya mereka berpisah. ***

Deru suara motor memasuki halaman sebuah rumah sederhana yang berdiri di ujung ladang. Halaman yang rindang dan hijau dengan pepohonan. Di sebelah rumah nampak berdiri kandang sapi yang telah agak rusak. Pengendara motor yang tak lain adalah Herman tertegun ketika melihat seorang anak sedang membenahi motor. Begitu mengetahui siapa yang datang, anak tersebut segera bangkit menyambut.

“Maaf, pak Herman.Tadi saya berangkat awal sebenarnya, tapi ini rantai motor saya putus sebelum nyampe jalan utama. Jadi harus pulang mengganti ini dengan rantai motor satunya,”

“Jadi kau menuntun motormu pulang ke rumah?” dengan heran Herman bertanya.

“Iya, pak,” sahut Karim pelan.

Herman memperhatikan ke dua motor yang berdiri berjajar itu.

“Yang ini sudah tidak terpakai, Pak, Sudah lama mati mesinnya. Makanya saya bermaksud memanfaatkan rantainya mau saya pasang di motor yang ini,” kata Karim seperti menjawab rasa penasaran gurunya.

“Oh, begitu ya. Kau tinggal dengan siapa, kok sepi?” tanya Herman agak melongok ke pintu.

“Dengan nenek, Pak. Masi tidur. Lagi kurang sehat beliau.”

Herman kemudian duduk di sebuah kursi kayu tak jauh dari Karim. Dalam dirinya tumbuh rasa kagum pada muridnya yang satu ini. Diperhatikannya anak tersebut dengan cekatan memindahkan rantai motor. Beberapa saat kemudian, selesailah pekerjaan itu.

"Saya ke belakang sebentar, Pak." kata Karim kemudian sambil melangkah masuk.

“O ya. Jangan lupa pamit nenekmu dulu,” ucap Herman sambil berdiri. Dilihatnya di kejauhan, lembah yang terhampar luas dengan berbagai bangunan. Sangat padat. Beda sekali dengan daerah ini. Herman tersenyum ketika dilihatnya Karim yang sudah siap dengan seragamnya. ***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image