Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ariq Maulana Zahran

Urgensi Pencegahan Kekerasan Seksual Perspektif Kesetaraan gender

Politik | Wednesday, 09 Feb 2022, 17:41 WIB
ilustrasi kekerasan seksual - Bing images" />
foto ini diambil dari : ilustrasi kekerasan seksual - Bing images

Menurut Heise (1994) bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk subordinasi perempuan dalam ruang publik secara fisik atau langsung secara pemaksaan, ancaman pada yawa yang di tunjukkan kepada perempuan baik anak kecil maupun orang dewasa.Adapun menurut Soetandyo (2000) suatu perilaku yang dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang yang merasa dirinya superior (kuat) dan ada yang berposisi sebagai inferior (lemah) sehingga menimbulkan kerugian secara fisik maupun psikologis untuk membuat objek kekerasan tersebut menderita.

Sedangkan kekerasan seksual sendiri dapat diartikan sebagai perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal (kemendikbudristek, 2022).Bentuk-bentuk kejahatan seksual antara lain : perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi sosial, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, ancaman atau pemerkosaan dan lain sebagainya.

Munculnya kekerasan seksual terjadi adanya kasus ketidakadilan gender di tengah-tengah ruang masyarakat, adanya kekeliruan dalam persepsi makna gender dan seks, walaupun sekilas artinya jenis kelamin.Konsep dari seks itu sendiri diartikan sebagai suatu yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat dirubah, seperti melahirkan, menyusui, hamil, dan menstruasi.Sedangkan konsep gender kebalikan dari seks, yang bukan bawaan dari lahir ataupun alami.Melainkan hasil konsensus dan konstruksi sosial yang telah berproses lama.

Di sisi lain munculnya kekersan seksual diakibatkan karena adanya stereotype (pelabelan) yang berasumsi bahwa perempuan itu lemah dalam segala hal.Sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mendiskriminasi dan memarginalisasi untuk tidak melibatkan dalam peran strategis atau ruang publik.Akibat dari sikap stereotipe tersebut laki-laki melakukan kekerasan seksual secara psikis, fisik maupun seks yang dapat membuat subjek tersebut tidak nyaman, marah, benci ataupun trauma.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) merilis hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak Remaja (SNPHAR) dan Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021. Dari hasil survei tersebut diketahui jika selama setahun terakhir terjadi peningkatan jumlah kekerasan fisik ataupun kekerasan seksual terhadap perempuan. Sementara itu, kekerasan fisik oleh pasangan pada perempuan pada tahun 2021 tercatat mengalami kenaikan 2 persen dari data tahun 2016 1,8 persen. Sementara kekerasan seksual pada perempuan oleh selain pasangan meningkat 5,2 persen, serta kekerasan fisik-seksual meningkat hingga 6 persen pada 2021. Berdasarkan survei, jumlah kekerasan fisik dan atau seksual cenderung banyak terjadi di wilayah perkotaan dibanding perdesaan. Kasus kekerasan fisik dan atau seksual di wilayah perkotaan sebanyak 27,8 persen, sementara di perdesaan 23,9 persen. Tingkat kekerasan yang tinggi juga ditemui pada perempuan yang bekerja. Menurut survei, perempuan bekerja lebih rentan menjadi sasaran kasus kekerasan fisik dan atau seksual 27,7 persen, dibanding yang tidak bekerja 24,8 persen,

Secara sederhana nya untuk mencegah ataupun mengurangi kasus kekerasan seksual adalah bagaimana kita memahami dan sadar akan status sosial kita dalam masyarakat, tidak ada perbedaan dalam kedudukan maupun derajat dalam status sosial.Ketika perempuan dan laki-laki sudah di level memahami akan nilai-nilai kesetaraan gender, memberikan ruang dan peran seluas-luasnya di masyarakat antara laki-laki dan perempuan, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa takut akan dilecehkan.Dan juga diharapkan peran orang tua dalam mendidik dan mengawasi anaknya agar tidak menjadi pelaku ataupun korban kekerasan seksual.Yang terakhir adalah membangun hubungan yang kuat antara masyarakat sebagai social control dan aparat atau lembaga hukum sebagai pihak yang memiliki wewenang untuk memutuskan segala kasus kekerasan seksual dengan adil dan bijaksana.

Oleh : Ariq Maulana Zahran

Kader IPM Kab. Bogor & IMM UIN Bandung

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image