Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghofiruddin Alfian

Setidaknya Telah Melakukan Perjalanan

Sastra | Wednesday, 09 Feb 2022, 08:02 WIB
PxHere" />
Foto oleh form PxHere

Setidaknya hari ini saya telah melakukan perjalanan, dimulai dengan berjalan kaki menuju perempatan untuk menunggu bus di bawah gazebo yang berada di taman desa. Kebetulan di gazebo itu juga sedang ada tiga remaja anak pondok yang nongkrong dan bercakap-cakap sehingga waktu menunggu bus yang hampir satu jam itu tidak terlampau membosankan.

Ada sesuatu yang bisa saya simak selain deru bising lalu lalang kendaraan bermotor itu, bahwasanya anak-anak pondok tersebut sangat menghormati kyai dan nyainya, meskipun satu dua kali tetap ada kenakalan yang mereka perbuat. Mereka, ketika membicarakan, kyai dan nyainya, selalu menggunakan kata kerja dalam bentuk kromo inggil yang menunjukkan kesopanan tingkat tinggi dalam budaya Jawa, dan hampir tidak tidak ada nada dan kesan negatif di dalamnya. Berbeda ketika anak-anak pondok itu membicarakan sesamanya atau orang-orang pada umumnya. Gurauan, ejekan dan umpatan satu dua kali akan muncul untuk menambah keakraban di antara mereka.

Saya sendiri penasaran tentang bagaimana anak-anak pondok itu memandang saya dan memperbincangkan sosok asing yang tiba-tiba duduk bersama mereka, kemudian hanya diam dengan tenang tanpa mengajak berbincang sepatah kata pun. Akankah mereka akan terpaku memperbincangkan seseorang hanya dari kesan luarnya ataukah mereka akan berusaha untuk meraba-raba kemungkinan yang berada di dalam tanpa terjebak dalam ghibah atau ngrasani.

Tentu saja saya tidak sempat mendengar itu, karena sangatlah tidak sopan memperbincangkan seseorang yang tepat berada di depan mata mereka dengan keras tanpa mengajaknya berdialog langsung. Dan tentu saja sangat memalukan, jika harus berbisik-bisik. Untuk menghindari terdengar langsung, mereka haruslah berpindah tempat. Dan itulah yang mereka lakukan, walaupun saya ragu apakah mereka akan memperbincangkan saya. Keberadaan saya tidaklah terlalu penting.

Tidak berapa lama setelah anak-anak pondok itu meninggalkan gazebo, bus yang saya tunggu pun datang. Tidak ada yang istimewa di dalam bus. Para penumpang yang ada memakai masker untuk menutupi wajah mereka dari bagian hidung hingga dagu, hingga tatapan yang saya bentangkan pun sulit untuk menangkap ekspresi yang terpancar dari bahasa mata dan kerut-lipatan otot pada dahi.

Lebih mudah mencermati ekspresi dari pergerakan bibir dan mulut. Sedangkan yang jelas-jelas tampak seperti rambut-rambut yang tergerai dengan berbagai macam modelnya tidak mampu berkata apa-apa. Lekuk-lekuk tubuh yang terbalut oleh pakaian pun hanya mampu menarik perhatian mata dan kesan naluri berahi yang paling dangkal.

Oleh sebab itu, saya hanya melamun, hingga saya pun lupa apa yang saat itu sedang saya lamunkan. Lamunan saya di dalam bus itu hanya terendap dan tidak terangkat ke dalam kesadaran, gagal menjadi kata-kata, dan sekedar ada untuk menjadi lupa: sesuatu yang alpa.

Lamunan itu teralihkan ketika bus sampai di terminal. Saya pun harus turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, mengabaikan tawaran dari bapak-bapak tukang ojek dan tukang becak. Perjalanan kaki saya sempat terhenti sebab terdengar suara yang memanggil saya. Dan ketika menengok ke dalam sebuah kafe mungil di pojok sebuah pojok perempatan sebelah barat alun-alun, di sana dua kawan saya, saudara saya, yang juga aktifis budaya literasi sedang menyusun rencana kegiatan untuk bulan bahasa tahun ini sembari ngopi.

Saya selalu mengagumi orang-orang seperti mereka ini, orang-orang yang memiliki iktikad baik demi kemajuan bersama, orang-orang yang aktif menyampaikan ide dan gagasan, orang-orang yang luwes dalam menyikapi keadaan sehingga mampu saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama, orang-orang yang semangatnya saya harapkan dapat menjadi inspirasi tulisan-tulisan saya yang akan datang.

Saya menyempatkan ngopi bersama mereka. Dan di dalam tulisan ini sekali lagi saya ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka telah menraktir saya. Mungkin lain kali, jika diberi kesempatan lagi, giliran saya yang akan menraktir. Jika tidak dalam bentuk yang sama, mungkin bisa dalam bentuk yang lain.

Saya akan lebih bahagia jika dapat memberikan sebuah buku tulisan saya sendiri sebagai balasan atas kebaikan mereka, dan akan lebih bahagia jika buku itu dibaca dan diapresiasi sebagaimana layaknya.

Dan tidak lupa terima kasih pula telah mengantarkan saya ke tempat tujuan perjalanan saya kali ini sehingga tubuh saya tidak terlampau lelah dan pikiran saya dapat berfokus untuk menyelesaikan tulisan sederhana ini.

###

Setidaknya sahaya telah melakukan perjalanan,

meskipun di tempat tujuan

sahaya tidak mendapati kawan-kawan,

saudara-saudara yang saya rindukan

Setidaknya sahaya telah melakukan perjalanan,

mencermati kenangan yang terekam

pada rak buku yang kosong,

atau pada kertas-kertas laporan

yang berserakan di lantai,

juga pada sebuah gitar

yang senarnya mulai mengendur

dan telah terselimuti debu tipis-tipis

Setidaknya sahaya telah melakukan perjalanan,

dan jika malam ini tidak dianugerahi perjumpaan,

setidaknya telah sempat sahaya tuangkan

kerinduan itu di dalam perjalanan,

dalam tulisan yang termaktub

pada kaki-kaki yang melangkah pelan.

(Trenggalek, 16 Oktober 2020)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image