Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudha Manggala

Mengenal Efek Kafein pada Kopi

Gaya Hidup | 2022-02-07 20:20:01
Kopi. Ilustrasi

Kopi, seperti yang mungkin kita ketahui, mengandung kafein. Kadarnya cukup tinggi. Tidak heran, sampai ada yang mengidentikkan kopi dengan senyawa ini. Kopi adalah kafein, kafein ya kopi. Meski sebenarnya kurang tepat juga. Sebab, kafein juga ada di minuman lain seperti teh, cokelat, dan minuman ringan alias soft drinks.

Satu cangkir kopi umumnya bisa mengandung 30 miligram kafein. Kadarnya bisa lebih rendah atau tinggi dari itu. Bervariasi. Tergantung jenis biji kopi, serta cara penyeduhannya.

Lalu bagaimana efek kafein kopi pada tubuh kita? Berbahayakah? Berikut ulasannya:

Efek Kafein

Kafein punya efek cukup besar pada tubuh. Ia bisa terserap cepat dalam sistem pencernaan lalu masuk ke aliran darah dan mempengaruhi sejumlah fitur penting pada otak. Salah satunya reseptor adenosine. Reseptor ini bertugas menampung adenosine, sejenis neurotransmiter atau senyawa kimiawi yang fungsinya kasih sinyal ke otak bahwa tubuh butuh istirahat alias tidur.

Struktur kafein kebetulan mirip adenosin. Saking kembarnya, ia bisa menempel di reseptor adenosin. Hanya saja, meski serupa, mereka tak sama. Kafein tidak mengaktifkan sinyal ngantuk. Saat membajak reseptor, bisa ditebak efeknya: mata terjaga.

Kafein juga dapat mempengaruhi dopamin dan norepinephrine. Dopamin adalah senyawa kimiawi di otak yang meningkatkan suasana hati, bikin perasaan lebih senang dan bahagia. Sementara norepinephrine merupakan hormon yang dapat meningkatkan tekanan darah, berfungsi mirip adrenalin. Nah, ini kenapa tubuh bisa jadi lebih semangat, termotivasi, dan fokus usai terpapar kafein.

Otak Beradaptasi

Otak, seperti bagian tubuh lain, dibekali kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan. Setelah mendapati banyak adenosine telantar karena reseptor dibajak kafein, organ ini pun merasa butuh menyesuaikan diri. Reseptor-reseptor baru kemudian dimunculkan untuk mengakomodasi mereka.

Alhasil, rasa mengantuk akhirnya kembali datang. Untuk melawan itu, bisa dengan menambah dosis kafein. Namun, makin banyak ngopi, kian bertambah pula reseptor adenosine yang muncul. Ini menjelaskan mengapa peminum kopi tidak selalu merasakan efek kafein sama dari secangkir kopi yang dihirup sebelumnya. Mereka biasanya butuh takaran lebih.

Dampak lain yang bisa dirasakan dari bertambahnya reseptor ini adalah ketika peminum rutin berhenti ngopi tiba-tiba. Mereka biasanya akan langsung mengalami perasaan sangat lelah. Ini tentu saja masih terkait dengan jumlah reseptor tadi. Karena berlipat ganda, adenosine lebih banyak menempel, sehingga efek kelelahan meningkat dari sebelumnya. Dari rasa lelah itu, gejala lain pun bisa bermunculan. Di antaranya sulit fokus, sakit kepala, gelisah, hingga gampang marah.

Gejala-gejala tersebut untungnya tidak sampai berlangsung lama. Terjadi setidaknya hanya selama dua hari. Setelah otak kembali beradaptasi, dengan mengurangi jumlah reseptor adenosine ke kondisi ideal, Anda akan kembali merasa normal.

Pakar menganjurkan, peminum kopi rutin yang ingin setop kopi, memang baiknya jangan melakukannya tiba-tiba. Lakukanlah secara bertahap.

Kecanduan Kafein?

Setelah mengetahui bagaimana kafein berefek kepada mood, fokus, serta dampaknya bila mendadak berhenti dikonsumsi, kita pun sampai pada pertanyaan pamungkas. Bisakah kopi menyebabkan kecanduan? Ya, mungkin saja. Meski harus juga dilihat dahulu parameternya.

Apalagi ketergantungan kopi juga bisa disebabkan hal lain. Salah satunya faktor genetik. Faktor lainnya adalah perilaku dan gaya hidup. Yang terakhir ini terkait dengan aktivitas sosial dan perasaan bahwa meminum kopi itu dibutuhkan dalam kondisi tertentu.

- Parameter Kecanduan

Untuk dapat menyimpulkan lebih jauh soal kecanduan, sejumlah parameter mungkin bisa dikenali. Setidaknya tiga di bawah ini beberapa gejala klinis yang dapat dijadikan patokan:

1. Keinginan persisten atau ketidakberhasilan upaya untuk mengurangi konsumsi atau mengendalikanya.

2. Dorongan untuk terus menggunakan meski membahayakan

3. Ciri dan gejala khas

Berlandaskan parameter ini, banyak ahli kesehatan masih berhati-hati melabeli kafein sebagai senyawa adiktif. Apalagi, bila dibandingkan zat seperti amfetamin, kokain, dan nikotin.

Sebab, beberapa ukuran masih dipertanyakan. Yang pertama, peminum kopi sejauh ini tidak sampai harus berjuang keras atau kesulitan untuk mengendalikan asupan kafein. Kafein, tidak seperti zat adiktif lain, malah menimbulkan efek tidak enak saat dikonsumsi dalam dosis tinggi. Itu yang membuat banyak peminum kopi mudah saja menguranginya.

Kedua, gejala atau gangguan akibat tidak mengonsumsi kafein tidak berlangsung lama. Cenderung ringan. Mereka yang mengalaminya masih bisa mengatasinya sendiri. Umumnya tidak sampai membutuhkan penanganan medis serius.

Ketiga, kafein beda dengan zat-zat adiktif lain. Sebab ia juga punya banyak manfaat bagi kesehatan. Bukan sekadar meningkatkan mood, berdasarkan penelitian, ia juga dapat menyehatkan pencernaan, menstimulasi fungsi otak, mengurangi risiko sakit jantung dan kanker, mengurangi depresi, bahkan mencegah penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Kesimpulannya?

Ya, kopi dan kafein memiliki beberapa faktor yang bisa mendorong ketergantungan. Namun, resiko ketergantungan itu dapat dipengaruhi beberapa faktor dan bisa berbeda antara satu orang dengan lainnya.

Kafein pun didapati memiliki banyak manfaat. Baik untuk kesehatan fisik maupun mental.

Karena itu ada beberapa kunci agar gejala tidak diinginkan datang. Yakni mengendalikan asupan. Bila ingin mengurangi, lakukan secara bertahap. Jangan mendadak. Sejatinya, selama tidak muncul gangguan serius, secangkir kopi masih sehat dan aman Anda nikmati setiap hari.

Sumber: Healthline

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image