Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Meremehkan Hal Kecil Ternyata Berdampak Besar, Pernahkah?

Gaya Hidup | Saturday, 05 Feb 2022, 10:47 WIB

 

Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/wanita-marah-ilustrasi-_151011062121-849.jpg

Pernahkah kita meremehkan sesuatu karena dianggap receh? Ya, sebut saja meremehkan hal kecil, meski bisa saja orang lain melihatnya tak demikian. Tetapi pernahkah –karena menggampangkan perkara yang dianggap kecil ini- Anda menanggung dampak yang besar, melebihi apa yang pernah kita bayangkan.

Saya pernah menanggung malu gara-gara kebiasaan meremehkan hal kecil ini. Saat itu, sebagai penyelenggara acara, kami dikagetkan dengan rombongan salah satu tamu undangan yang datang ke tempat acara sebelum acara dimulai. Sesuai jadwal di undangan, acara memang dimulai pukul 08.00 WIB, tetapi 15 menit sebelum acara, baru satu dua panitia yang ready di ruangan. Kami menganggap enteng soal waktu. Mungkin karena kebisaan warga +62 yang selalu ngaret kalau menghadiri acara. Agh, paling juga tamu undangan baru mulai datang jam setengah 9, jadi acara baru bisa mulai jam 9. Molor satu jam kan biasa. Begitu pikiran kami. Tetapi kedatangan lima orang perwakilan sebuah organisasi ini sontak membuat kami malu. Meski sudah ada di ruangan, tetapi sebagian besar kami belum siap untuk menyambut tamu undangan. Sebagian malah masih berkaos oblong.

“Wah, masih sepi ya. Tapi bener kan acaranya jam delapan?,” celetuk salah satu dari rombongan. Kami mafhum, pertanyaan itu semacam retorik, tak benar-benar butuh jawaban. Makanya, kami pun meresponnya dengan senyuman penuh feeling guilty.

Gara-gara meremehkan hal yang kita anggap sepele, reputasi organisasi bisa saja terseret kan. Minimal, lima orang dari satu organisasi tadi akan memberikan memberikan catatan minus. Maksimalnya, masing-masing dari lima orang ini akan bercerita ke semua pengurus dan anggota organisasinya, teman dekatnya, kekasihnya, dan seterusnya. Belum lagi kalau ceritanya ditambah-tambah kan, hahaha itu mah kita kali.

Yang sering kita remehkan berikutnya adalah berterima kasih atau meminta maaf kepada orang orang-terdekat, misal istri/suami dan anak-anak. Suatu waktu kita menuduh sesuatu ke salah satu anak kita, dan ternyata tuduhan itu terbukti keliru. Seburuk apapun akhlak kita, tentu perasaan menyesal sekecil apapun pastilah ada. Tapi, nah ini dia, kadang tidak setiap kita langsung mengutarakan penyesalan dan meminta maaf. Ya bisa jadi karena menganggap enteng. Agh, gampang nanti ngomongnya dech.

Kita alpa, bahwa anak-anak kita yang sedang giat belajar dan merekam perilaku orang-orang dewasa secara real live (learning by doing) itu mungkin benar-benar menunggu kita untuk segera mengoreksi kesalahan kita sendiri dan menunjukkan tanggung jawab dengan meminta maaf. Finally, kita benar-benar lupa untuk membicarakannya.

Apa yang terjadi? Suatu waktu, saat si anak membuat nangis adik atau temannya, dan kita menyuruhnya meminta maaf, bersiaplah untuk tak dihiraukan. Ketika anak terus didesak dan masih menolak, sampai kita marah, bersiap juga untuk mendengarkan orasi jujur si anak. “Kenapa aku harus minta maaf? Papah aja kalau salah ke adek gak mau minta maaf!” Duarrr! Pikiran kita auto campur aduk bak es oyen; kesal, malu, menyesal, dan bingung, dan sekawannya.

Suatu waktu lagi, nyeletuk sambil berlalu. “Udah lama gak makan rujaknya Simak nich”. Namanya celetukan, sebetulnya wajar saja kalau kita para suami menganggapnya bukan hal prioritas, apalagi mendesak. Eiiits, tapi tunggu dulu dech, itu kan menurut kita: para suami. Bagaimana dengan bini? Ternyata oh ternyata, permintaan yang diungkapkan sambil berlalu, pun dengan volume rendah yang lamat-lamat nyangkut di gendang telinga kita, itu disampaikan dengan kesungguhan hati loch. Mungkin begitulah cara perempuan withdraw attention alias caper. Gak percaya? Coba saja Anda acuhkan permintaan itu, dijamin cepat atau lambat tinggal menunggu timing yang pas untuk diungkit. Dan hal yang kita anggap kecil itu, bisa menjelma menjadi kemutungan yang wow bagi si sigaran hati. “Ayah tuch gak peka amat sich, mamah cuma pengin rujak aja ga dibeliin”.

Nah loch, gegara gak nurutin keinginan kecil ini, kita sudah dituduh tak peka. Belum lagi kalau dibumbui cerita-cerita lain yang mendadak ditarik-paksa ke pusaran masalah rujak. “Giliran temennya minta tolong dianterin barang aja, langsung pergi”. Dan berbagai imbuhan catatan kaki yang sebetulnya nggak nyambung babar blas, setidaknya menurut kita sih.

Suatu hari giliran kita, Paksu, pengin dimasakin sayur oyong misalnya. Ya mendadak pengin aja, kan jarang-jarang lelaki begitu kan. Tak hanya minta, tapi oyongnya pun kita belikan. Pikir kita kan biar tak merepotkan ibunya anak-anak. Ternyata aspirasi kecil kita juga tidak langsung dipenuhi, bahkan setelah beberapa hari. Sebagai Presiden Rumah Tangga, kita juga boleh dong tersinggung dan mungkin marah. “Mamah tuch, Ayah pengin sayur oyong aja gak dibuat-buatin. Padahal oyongnya sudah tak belikan”. Begitu ungkapan protes kita dengan intonasi dan ekspresi sedikit marah tentunya.

Awalnya istri yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga mungkin diam. Tetapi saat itu, bersiaplah mendengarkan orasi tanpa jeda. “Emang Ayah gak lihat yah, dari kemarin Mamah sibuk mengerjakan ini dan itu. Mondar mandir nyari bahan buat pesenan. Belum lagi kerjaan nyuci baju lah, nyuci piring, masak, nyapu, ngepel. Ayah bantuin apa coba, Cuma sibuk di depan laptop. Mamah capek Yah, capeeek ..

Betul kan? Perasaan pas dia protes karena tak dibelikan rujak, kita diem-diem bae. Kita memilih tak merespon untuk meredakan amarah istri. Eh giliran kita protes gak dibikinin sayur oyong, bini langsung ngegas. Ya begitulah perempuan, selamanya tak boleh salah.

Dua kasus di atas bukankah termasuk perkara kecil, setidaknya menurut kita. Tetapi bisa menjelma menjadi masalah besar, dan tetap saja kedua-duanya lelaki juga yang harus duduk di kursi terdakwa. Itu pun bisa jadi belum cukup, karena ketika istri telah mengaum bak singa, maka dampak-dampak ikutan lainnya bisa saja bermunculan. Wujudnya bisa jadi kita para suami didiamkan satu dua hari, atau yang paling menyakitkan adalah Anda diembargo dari urusan ranjang. Tragis bukan? []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image