Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wildan Pradistya Putra

Senyum Si Mbok di Gubuk Tua

Sastra | Wednesday, 02 Feb 2022, 08:15 WIB
ilustrasi (bbc)                                               
ilustrasi (bbc)

Hati Jayak bergetar seraya diikuti oleh suara motor ringkih dari ojek yang ia tumpangi terguncang jalan yang penuh bebatuan menuju kampungnya. Hidupnya kini seperti layangan tanpa angin. Ia gagal mendapatkan pekerjaan di kota ditambah lagi uangnya sudah habis termakan keserakahan kehidupan metropolitan. Baginya kini, keyakinan hanyalah samudera tak berair. Sementara kepercayaan hanyalah sungai tak berarus.

Di tengah ketidakpastian, Jayak harus pulang ke kampung setelah mendapat kabar bahwa Si Mbok, orang tua satu-satunya sakit tapi tak mau berobat. Di pucuk penyesalan dari angan yang ternyata mengandung gelombang terjal berduri itu ia teringat kata-kata Si Mbok lima tahun silam.

“Sudah pergilah kuliah ke kota, ” ujar perempuan yang lahir tepat satu tahun setelah Kemerdekaan Indonesia.

“Tapi Mbok,” ucap Jayak.

“Mbok tidak apa-apa di kampung, ada Paklekmu, saudara jauhmu di kampung sebelah,” ucapnya sederhana.

Di tengah angin yang berhembus kencang menyapu baju lusuhnya ia begitu menyesali keputusan lima tahun silam itu. Dulu banyak warga kampung yang menentang ia pergi kuliah ke kota. Masyarakat tempat tinggal Jayak mayoritas penduduknya petani, buruh tani, dan peternak. Tak ada tradisi sekolah sampai tinggi. Paling-paling setelah lulus sekolah langsung bekerja. Meneruskan warisan tanah nenek moyang mereka. Pagi sampai sore mereka ke sawah. Lalu malam harinya ngobrol tentang informasi yang ada di TV dengan sudut pandang orang desa yang begitu sederhana. Sembari menikmati secangkir kopi ditemani satu bidang papan catur.

Setelah lulus SMA Jayak tak berniat kuliah. Apalagi di kota besar. Ia terbuai dengan cerita Pak Sapto, TKI sukses dari Malaysia yang kini kembali ke kampung dengan uang berlimpah. Dan membeli sawah-sawah milik warga sekitar. Pak Sapto selalu menceritakan keenakan hidup di kota besar kepada warga desa. Mudah mencari kerja, gaji yang besar, alat-alat elektronik yang seperti robot yang canggih. Membuat imajinasi warga desa terperanga.

“Kau kalau sudah berpendidikan tinggi bisa dapat kerja mudah di kota. Punya banyak uang. Kau tak lihat aku. SD pun tak lulus tapi lihat hasilku merantau. Bisa beli tanah-tanah ini,” ucap pak Sapto.

“Iya-iya Pak,” jawab Jayak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya berbinar-binar seperti air sungai siang yang terkena sinar matahari.

Hati Jayak pun sempat berbalut keraguan pergi ke kota. Tapi karena ia dapat beasiswa dari pemerintah dia memendam juah-jauh ragunya. Ya walau ia tahu jika beasiswanya hanya cukup untuk makan secukupnya di kota. Di tambah hasutan manis pak Sapto. Ia pergi kala itu.

Tepat tahun kedua Jayak diperantauan Si Mbok sudah sakit diperutnya. Sampai-sampai Si Mbok harus berobat ke rumah sakit di kota yang jaraknya 100 km. Karena pengobatan itu membuat rambut Si Mbok rontok. waktu itu, Jayak sampai menjual sapi peninggalan alm. Bapaknya yang sudah dirawat sejak 5 tahun lalu. Ia juga sampai cuti kuliah selama 6 bulan lamanya. Akhirnya Mbok dinyatakan sembuh kala itu.

Si Mbok sangat menyayangi anak semata wayangnya itu. Maklum saja Mbok harus menunggu sampai usia setengah abad untuk mendapatkan anak dipangkuannya. Jayak pun baru tahu jika waktu masih usia dua tahun pernah sakit panas selama tiga minggu berturut-turut. Dan Si Mbok harus menjual sepetak kebunnya untuk berobat di kota. Cerita itu membekas ditelinga Jayak lewat ucapan Paklek di ruang tamu yang lantainya terbuat dari tanah liat.

“Mbokmu itu Yak, sangat sayang padamu. Waktu usiamu dua tahun di rumah sakit, tiga minggu berturut-turut gak pernah sekalipun Mbokmu itu ninggalin kamu. Sementara alm. Bapakmu masih harus ngurusi sawah dan sapi-sapinya. Mbokmu itu sayang sekali sama kamu. Sekarang Mbokmu sudah sembuh dari sakitnya, wes gak usah dilanjutin kuliahmu di kota. Tinggal di kampung saja sama Mbok. Di desa kamu bisa makan apa saja tanpa mikir uang,” ucap Paklek.

Mendengar ucapan Paklek, Jayak hanya termenung. Hatinya dilematis mau pergi ke kota lagi atau tinggal dengan Si Mbok.

“Sudah le, jangan didengarin Paklekmu itu, lanjutin kuliahmu saja. Mbokmu ini sudah sehat. Sudah kuat nyabutin rumput di sawah,” ucap Si Mbok.

“Tapi Mbok,” ucap Jayak.

“Alm. Bapakmu pengen kamu jadi orang sukses, punya banyak ilmu gak ingin kamu kayak Bapak dan Mbok yang bisanya cuma nanem padi dan angon sapi.”

Percakapan ditengah rintik hujan dengan diiringi angin yang menyapu tembok kayu rumah itu yang meyakinkan Jayak untuk kembali ke kota.

***

Jayak tersadar dari lamunannya. Ia tiba di rumah Mbok yang nampak seperti gubuk tua. Di rumahnya sudah ditunggu Paklek yang sengaja datang. Ia menangis tersedu-sedu. Terhitung selama satu tahun ia tak pulang dan mendapati tubuh Mbok kini kurus. Ia langsung meraih tangan keriput Si Mbok dan menciumnya lama sekali.

“Yak Mbokmu sakit diperutnya kambuh lagi sejak 5 bulan lalu. Tapi Mbok tidak mau dibawa kontrol ke rumah sakit. Harusnya setiap dua minggu sekali Mbok harus ke kota untuk kontrol. Tapi biaya mahal sekali. Mbok butuh biaya. Sementara Mbokmu gak mau menjual sawahnya ke pak Sapto,” ucap Paklek di pintu rumah.

Jayak hanya diam. Ia kini bersila sampil merenung dan menatap dalam-dalam wajah Paklek.

“Lek, kenapa pak Sapto membeli sawah kita? Kudengar ia menawar dengan harga murah.”

“Gini Jayak, tanah di sini turun-temurun dari nenek moyang dan belum bersertifikat sehingga harganya murah. Kalau gak ada sertifikatnya katanya gak laku. Nanti pak Sapto yang mengurus sertifikatnya. Dia punya kenalan orang kota yang ahli ngurus sertifikat,” ucap Paklek.

“Sudah gak usah dijual sawahku, itu tinggalan satu-satunya Bapaknya Jayak. Aku ini wes sepuh, tinggal nunggu dipanggil-Nya saja. Biar nanti Jayak tinggal di desa, gak usah tinggal di kota seperti perkataan pak Sapto itu. Biar bisa buat hidup dengan Aminah gadis pujaanmu itu Yak.”

Paklek dan Jayak saling bertatap-tatapan. Mereka pun pergi dengan melangkah perlahan demi perlahan menuju halaman berlakang rumah untuk berdiskusi. Kaki dan tangan Jayak masih gemetar mengetahui Si Mbok dalam kondisi seperti itu. Sementara Paklek menepuk pundak Jaya untuk menguatkan.

“Kita bicara disini saja Yak, biar gak di dengar Mbokmu.”

“Iya Lek, kok Pak Sapto semangat sekali membeli sawah kita.”

“Pak Sapto memang begitu orangnya, ia berniat beli semua sawah di sini. Kata pak Lurah sawah yang mau dibeli dari warga desa mau dijual lagi ke orang kota. Lalu mau dijadikan prabrik. Cuma Mbokmu itu yang gak mau jual sawahnya. Padahal nanti sawah mbokmu buat jalan utama pabrik itu.”

“Apa kita jual diam-diam saja ya Lek tanpa tahu si Mbok,”

“Gak bisa Yak, kata orang-orang nanti ada orang kota ke sini pakai pakaian rapi dan wangi menyuruh pemilik tanah tanda tangan. Kalau Mbok gak tanda tangan gak bakal bisa.”

Dalam beberapa hari terakhir pak Sapto kerap mengunjungi rumah Si Mbok dan terus menanyakan keyakinan tentang penjualan rumah itu. Ia bilang jika sawahnya dijual di Mbok bisa mengirim uang ke Jayak dan tidak perlu lagi capek-capek kerja lagi. Dan bisa berobat ke kota.

***

Angin yang berhembus di sore hari disertai kicau burung derkuku turut memaknai suasana. Pak Sapto yang sudah mendengar kabar Jayak pulang tiba di rumah Si Mbok dengan mengenakan celana jeans serta topik koboinya. Disertari cerutu yang menempel dimulutnya. Sambil menggenggam tas berisi uang segebok, ia tanpa sungkan masuk rumah Si Mbok yang pintunya sudah mau roboh.

“Ini Mbah uangnya,” ucap Pak Sapto sambil melempar tas di lantai. Jayak dan Paklek yang sedari tadi mengobrol di belakang bergegas menuju ruang depan.

“Kau pembohong Pak Sapto, kehidupan di kota tak seindah yang kau ucapkan dulu. Mereka -orang kota- jarang memberi tak sama seperti orang desa sini. Kau sengaja mengirimku ke kota agar kau bisa membujuk Mbok membeli tanah ini,” ucap Jayak dengan nada tinggi. Urat-uratnya keluar, mukanya memerah sembari tangannya menggenggam.

“Aku tak salah Yak, kalau kau punya kemampuan kau akan dihargai di kota tapi kalau kau cuma bisa menanam padi dan merawat sapi saja kau hanya akan menjadi parasit di kota. Sekarang kau mau apa? Mbokmu butuh biaya. Kau tak tak punya pekerjaan. Satu-satunya cara, jual tanahmu itu ke aku,” tegas Pak Sapto sambil tersenyum lebar hingga dua giginya yang terbuat dari emas membias ditengah cahaya matahari senja yang kian meredup.

Tak lama berselang, terdengar suara riuh dari luar. Puluhan jejak kaki terdengar menyambangi rumah Jayak. Tiba-tiba, ada salah seorang menepuk pipi Jayak. Lalu Jayak melihat ke arah Si Mbok yang tadi sedang berbaring. Ia terkaget-kaget ketika melihat Si Mbok telah berubah menjadi foto hitam putih yang berada dalam pigora tua. Orang-orang pun memandang ke arah Jayak dengan muka yang memerah.

Deskripsi Singkat Penulis

Wildan Pradistya Putra kelahiran Kediri, Jawa Timur merupakan Guru Bahasa Indonesia di Thursina International Islamic Boarding School (IIBS) Malang. Ia sudah menjadi guru sejak delapan tahun yang lalu. Aktif menulis esai, cerpen, dan puisi. Selain mengajar, ia juga aktif membina siswa dalam menulis tulisan fiksi. Beberapa siswa yang dibina berhasil menjuarai kompetisi menulis cerpen tingkat kota/kabupaten hingga nasional.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image