Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

SKS dan Gengsi Pendidikan

Eduaksi | Monday, 31 Jan 2022, 21:30 WIB

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Pendiri dan Pengasuh Ekselensia Tahfizh School)

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 0023/C/HK.01.02/2022 tentang moratorium izin pembukaan satuan pendidikan penyelenggara sistem kredit semester pada jenjang pendidikan dasar dan menengah per tanggal 3 Januari 2022.

Kebijakan Kemendikbudristek di atas patut diapresiasi. Pasalnya banyak orangtua yang belum memahami paradigma sistem kredit semester (SKS) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Demi gengsi pendidikan, tidak sedikit orangtua yang memaksakan anaknya menjalani program percepatan sekolah melalui SKS.

Dengan mengikuti program percepatan melalui SKS, jenjang pendidikan SMA yang normalnya tiga tahun, bisa ditempuh hanya dalam waktu dua tahun. Namun, sayangnya orangtua tidak memerhatikan prasyarat agar anaknya bisa mengikuti SKS di sekolah.

Tidak sedikit orangtua yang memiliki persepsi semakin cepat anaknya menyelesaikan sekolahnya, itu berarti anaknya pintar dan patut dibanggakan. Bisa jadi bahan pembicaraan dengan sesama orangtua lainnya demi gengsi pendidikan. Sama kasusnya dengan dulu saat sekolah masih menerapkan sistem ranking kelas pada siswanya.

Celakanya, paradigma dan persepsi orangtua yang keliru direstui oleh oknum sekolah penyelenggara SKS. Persyaratan mengikuti program percepatan melalui SKS yang mengharuskan siswa memiliki hasil tes psikologi dan akademik sangat baik didiskon demi gengsi sekolah. Siswa yang tidak memenuhi nilai tes psikologi dan akademik dipaksakan mengikuti program percepatan melalui SKS.

Di sinilah mal praktik pendidikan bermula. Analoginya, bayangkan siswa dengan kapasitas mengangkat beban 50 Kg dipaksakan mengangkat beban 100 Kg. Apa yang terjadi? Memang tidak mencederai fisik siswa, namun membebani mentalnya. Dari sinilah lahir pelanggaran sebagai pelampiasan beban mental, seperti bolos, bullying, dan perilaku menyimpang lainnya.

Jika dirunut, di mana pangkal masalahnya? Paradigma orangtua dan sekolah yang memanfaatkan program percepatan SKS demi gengsi pendidikan. Belum lagi bicara kualifikasi guru yang harus diperhatikan bagi sekolah yang menyelenggarakan SKS.

Guru-guru yang mengajar harus memiliki kualifikasi sangat baik. Mereka diharuskan mampu merancang UKBM (unit kegiatan belajar mandiri) yang harus diberikan kepada siswa. Dengan UKBM tersebut, siswa program percepatan SKS bisa belajar secara mandiri sebelum belajar di kelas bersama guru.

Jadi, program percepatan SKS tidak hanya mensyaratkan kualifikasi siswa dengan hasil tes psikologi dan akademik sangat baik, namun juga kualifikasi guru sangat baik. Tanpa keduanya program percepatan SKS akan gagal. Bisa jadi fakta inilah yang banyak ditemui di lapangan, sehingga Kemendikbudristek mengeluarkan moratorium izin penyelenggaran SKS.

Hakikat Pendidikan

Pendidikan semestinya mampu memfasilitasi setiap siswa dengan keragaman potensi dan kompetensi untuk bisa berkembang. Siswa yang memiliki kompetensi tinggi, berikan enrichment (pengayaan). Sementara, siswa yang kompetensinya rendah, berikan remedial (pengulangan).

Sekolah bukan tentang cepat-cepatan seperti balapan formula 1, melainkan proses mengantarkan siswa pada pencapaian terbaiknya masing-masing. Dalam hal ini, model pendidikan pesantren salafiyah memiliki keunggulan. Di pesantren salafiyah kenaikan kelas atau jenjang bukan ditentukan oleh lama masa belajar dalam satuan tahun. Melainkan, ditentukan oleh ketuntasan belajar kurikulum kitab pada setiap levelnya.

Jika sudah khatam (tamat) kurikulum kitab dasar dan dinilai cukup menguasai, maka santri boleh naik jenjang mempelajari kurikulum kitab selanjutnya. Jadi, satuannya bukan tahun belajar, melainkan ketuntasan belajar kurikulum kitab.

Bisa jadi antara dua santri yang masuk pesantrennya bersamaan, namun lulus dari pesantrennya bisa berbeda. Tergantung pada durasi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kurikulum kitab pada setiap levelnya.

Tidak ada istilah tidak naik kelas di pesantren salafiyah. Yang ada adalah istilah sudah khatam kurikulum kitab level tertentu atau belum? Jika sudah khatam, maka santri boleh naik level kurikulum kitab selanjutnya. Jika belum, santri mesti menyelesaikan terlebih dahulu kurikulum kitab level dasar.

Dalam model pendidikan pesantren salafiyah, santri dengan kemampuan terbatas sekalipun bisa mengikuti dan menyelesaikan pendidikan sesuai kemampuannya. Penulis jadi teringat kisah Imam Asy-Syafi’i yang memiliki seorang murid slow learner (pembelajar lambat) bernama Rabi’ bin Sulaiman.

Bayangkan untuk memahami sebuah materi pelajaran, Rabi’ bin Sulaiman mesti sabar menjalani remedial dari gurunya sebanyak empat puluh kali. Kita juga bisa menghayati betapa Imam Syafi’i lebih sabar lagi dalam membimbing dan mendidik muridnya. Hasilnya? Rabi’ bin Sulaiman bertransformasi menjadi ulama besar dalam madzhab Syafi’i.

Inilah hakikat pendidikan, yaitu Ishlahul fardi (memperbaiki individu). Dari belum paham menjadi paham. Awalnya belum baik menjadi baik. Semula tidak kompeten menjadi kompeten. Intinya, terjadi perbaikan diri siswa pada setiap aspeknya. Sehingga, siswa berkembang menjadi pribadi yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, serta berilmu dan kompeten.

Terbitnya surat edaran tersebut masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Kemendikbudristek. Pasalnya surat edaran tersebut tidak berlaku surut. Artinya, sekolah yang sudah mengantongi izin penyelenggaraan SKS perlu dimonitoring dan dievaluasi secara objektif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image