Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Agar Terhindar dari Penyebaran Hoax, Selayaknya Kita Belajar Saring Berita dari Takhrij Hadits

Agama | Saturday, 29 Jan 2022, 07:05 WIB

Secara bahasa, salah satu arti dari hadits adalah berita. Layaknya suatu berita pasti ada sumber berita, pembawa berita, isi berita, dan orang yang kembali membacakan berita.

Sumber berita dalam sebuah hadits adalah Rasulullah saw. Isi beritanya bisa berupa ucapan (qauliyun), perbuatan (fi’liyun), dan ketetapan (taqririyun) Rasulullah saw yang tentu saja tidak terlepas dari wahyu.

Ketika Rasulullah saw masih hidup, para sahabatnya selain bertindak sebagai pengikut juga bertindak sebagai pembawa sekaligus sebagai pembaca dan penyampai isi berita dari Rasulullah saw. Dengan izin Rasulullah saw, para sahabat menyampaikan berita ajaran Islam kepada khalayak.

Jika ada seseorang yang merasa ragu terhadap isi berita yang disampaikan para sahabat, ia bisa langsung melakukan konfirmasi kepasa Rasululllah saw. Sehingga pada masa masih hidup Rasulullah saw jarang terjadi perselisihan yang berkepanjangan.

Para sahabat selain melaksanakan segala hal yang diperintahkan Rasulullah saw, mereka pun menghafal segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah saw, yang kemudian kita kenal sebagai hadits tertulis pada saat ini. Ratusan ribu hadits yang dihafal para sahabat bertebaran seiring dengan penyebaran Islam yang semakin meluas.

Seperti halnya kita pada saat ini, para pemeluk Islam yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw dan para sahabatnya, mereka meyakini kebenaran Islam dari dakwah yang dilakukan kaum muslimin yang telah memeluk Islam lebih dulu. Mereka juga memperoleh pengetahuan tentang Islam melalui hadits-hadits yang disampaikan para pendakwah.

Luasnya penyebaran Islam ke wilayah luar jazirah Arab pada satu sisi semakin memperluas cakrawala Islam, namun di sisi lain sering terjadi misinformasi dan kurangnya akurasi terhadap ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Tak sedikit ada para pendakwah “nakal” yang membuat-buat ajaran sendiri yang seolah-olah diperintahkan dan pernah dilakukan Rasulullah saw. Perbuatan ini kemudian dikenal sebagai perbuatan bid’ah.

Banyak hal yang dapat mempengaruhi “kenakalan” seorang da’i, selain jauhnya jarak geografis dan waktu dengan kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya, tingkat intelektual, kondisi sosial, politik, dan budaya tempat tinggal seseorang juga sangat mempengaruhi seseorang dalam memahami suatu hadits. Malahan karena kondisi sosial-politik, tak sedikit orang yang sengaja membuat hadits palsu.

Namun demikian berbagai perbedaan kondisi sosial, politik, dan geografis bukan merupakan kendala yang dapat menghentikan penyebaran Islam yang tuntunannya terdapat dalam Alqur’an dan ribuan hadits. Perbedaan kondisi sosial, politik, dan geografis ini malah mendorong para generasi penerus Nabi Muhammad saw dalam melakukan penelitian dan seleksi terhadap hadits.

Dari perbedaan-perbedaan tersebut, semakin banyak orang yang tertarik untuk memahami, mengajarkan, dan menyebarkan hadits. Dari kondisi ini lahirlah sebuah kajian dan penelitian asal-usul dan seluk beluk suatu hadits. Kajian ilmu ini kemudian dikenal dengan istilah ulumul hadits.

Salah bidang kajian dari ulumul hadits adalah takhrij hadits. Fokus utamanya adalah meneliti akurasi pembawa berita (sanad hadits), isi berita (matan hadits), dan orang yang menyampaikan kembali terhadap hadits atau orang yang meriwayatkan hadits (rawy hadits).

Dari proses takhrij hadits ini lahirlah berbagai derajat hadits seperti shahih, dhaif, ahad, mutawatir, maudhu’ (palsu) dan lain sebagainya. Untuk dapat melakukan proses takhrij hadits dengan baik dan akurat, selain diperlukan ketelatenan dalam melakukan penelitian terhadap kitab-kitab hadits, memiliki kemampuan dan keterampilan berbahasa Arab mutlak diperlukan.

Kita hentikan dahulu tentang asal-usul takhrij hadits sampai disini, sebab penulis tidak mungkin dapat membahasnya dalam tulisan yang singkat ini. Namun dari sedikit uraian takhrij hadits tersebut kita dapat belajar menyaring suatu berita. Karenanya sangat bijak apabila proses takhrij hadits ini kita impementasikan dalam menyaring akurasi berita yang tidak bisa lepas dari kehidupan kita pada saat ini.

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, berita telah menjadi industri besar yang disebut dunia pers. Semua negara memiliki perusahaan pers dan kantor berita sebagai corong pemerintah. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan berita.

Dua puluh tahun ke belakang, masyarakat belum begitu melek terhadap siaran berita. Kini, seiring dengan kemajuan pengetahuan, ditambah dengan semakin canggihnya teknologi, semua orang menjadi keranjingan berita. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, sering melihat atau membaca berita terlebih dahulu, baik di televisi, internet, maupun media sosial.

Sayangnya karena kebanjiran berita, kebanyakan dari kita sudah tidak lagi dapat memilah dan memilih keakuratan dan kebenarannya, apalagi jika beritanya nyeleneh dan viral. Ibu jari selalu “gatal” untuk segera menyebarkannya via akun media sosial.

Banjirnya berita yang mengalir di tengah-tengah kehidupan kita sering diikuti badai yang lebih dahsyat dari angin topan sekalipun. Badai berita tersebut dapat memporakporandakan nilai-nilai sosial kehidupan dan merusak tatanan psikologis kehidupan.

Keranjingan terhadap berita berdampak terhadap keinginan untuk selalu memperoleh berita aktual tanpa memperhatikan lagi keakuratan, kebenaran, dan sumber beritanya. Satu hal yang paling parah dari keranjingan berita adalah kesenangan melihat, membaca, mempercayai, dan menyebarkan berita yang berderajat hoax, berita yang dibuat-buat dan menyalahi fakta yang sebenarnya.

Kini berbagai berita berseliweran di sekitar kita. Ironisnya, berita yang berderajat hoax lebih banyak dipercaya masyarakat, meskipun akibatnya meresahkan diri mereka sendiri.

Selama masa pandemi Covid-19, penyebaran berita hoax dikenal dengan istilah misinfodemik (pandemi berita yang keliru). Selama masa pandemi Covid-19, hampir setiap negara selain disibukkan dengan mengatasi penyebaran Covid-19, juga disibukkan dengan memerangi berita hoax.

Berdasarkan data dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), periode Januari sampai dengan September 2020, terdapat 609 kabar bohong atau misinfodemik soal pandemi Covid-19.

Sementara dalam artikel Covid-19 di jurnal The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene (2020), disebutkan dari 87 negara di dunia yang dilanda misinfodemik, Indonesia menduduki peringkat ke-5 terbanyak misinfodemiknya setelah India, Amerika Serikat, China, dan Spanyol. Tentu saja, peringkat ke-5 ini bukanlah prestasi yang membanggakan.

Bertindak bijak, berpikir ulang, dan mengecek ulang setiap berita sangat diperlukan. Pada era yang memudahkan kita untuk mengakses berita seperti sekarang ini, selayaknya kita tidak langsung mempercayai dan ikut menyebarkan suatu berita sebelum kita melakukan penelitian dan melakukan cek ulang terhadap kebenarannya.

Salah satu tindakan bijak dalam menilai suatu berita adalah belajar kepada para ulama hadist, salah satunya Imam Bukhari, salah seorang ulama hadits terkenal sangat ketat dalam menentukan keakuratan suatu hadits. Ia selalu melakukan cek ulang terhadap suatu hadits yang dibawakan seseorang.

Ia pun selalu mencari informasi latar belakang orang yang membawakan hadits seraya meneliti sumber asal dan jalur periwayatan haditsnya. Kondisi sosial dan intelektual pembawa hadits pun tak luput dari penelitian. Selain itu, kondisi psikologis seorang pembawa hadits seperti jujur, suka berbohong, tingkat kepercayaan, dan sikap psikologis lainnya menjadi syarat keakuratan hadits.

Belajar dari Imam Bukari dalam melakukan takhrij hadits, setidaknya kita harus memperhatikan kelayakan sumber berita dan kelayakan orang yang menyampaikannya. Lebih bijak lagi apabila kita mau meneliti kebenaran dan kesesuaian dengan fakta dari berita yang sampai kepada kita.

Tindakan yang paling bijak adalah ibu jari kita tidak terlalu “gatal” untuk segera menyebarkannya. Kita harus senantiasa melakukan saring terlebih dahulu sebelum melakukan sharing terhadap berita tersebut. Islam telah memberikan tuntunan agar kita tidak terjerumus kepada perbuatan menyebar berita yang sarat kebohongan atau hoax.

Kita harus selalu bersikap hati-hati dalam menanggapi suatu berita, tidak menyebarkannya begitu saja sebelum meneliti kebenarannya, seraya mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudaratan dari penyebarannya, apalagi jika berita yang kita terima tersebut belum pasti kebenarannya. Tujuannya tiada lain demi kemaslahatan agar kita tidak terjerumus ke dalam perbuatan menyesatkan diri sendiri dan orang lain yang akhirnya akan berbuah dosa.

“Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia selalu menceritakan semua yang dia dengar (tanpa meneliti kebenarannya).” (H. R. Muslim).

Ilustrasi : Melawan Hoax (sumber gambar : Republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image