Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mayasari Manar Indonezyjska Edukacja

Di Balik Makna Gelar Guru Besar dan Nilai Ber-AKHLAK

Edukasi | 2024-10-10 09:12:26
source: pexels.com

“Guru adalah penebar kebajikan dan suri teladan”

-MM-

Cuplikan kalimat tersebut menyimpan makna yang luar biasa. Profesi mulia yang diemban oleh seorang guru merupakan “garda terdepan” terbangunnya peradaban sebuah bangsa. Guru adalah ujung tombak, mau dibawa kemanakah masa depan Indonesia. Dalam bukunya Guru yang Berhati Guru, Najib Sulhan (2016) menyebutkan sebagai seorang pendidik, ada dua amanah besar yang tersemat pada pundak beliau semua. Pertama, sebagai pengajar (mualim) yang melakukan transfer of knowledge dan yang kedua adalah sebagai pengemban moral (muaddib), yaitu transfer of value.

Vitalnya peran seorang guru sebagai aset negara juga ditunjukkan oleh Bapak pendidikan Indonesia melalui kutipan bijak beliau, yaitu "guru adalah seorang pejuang tulus tanpa tanda jasa mencerdaskan bangsa." Sekali lagi, guru adalah para pejuang (syuhada) dalam menghapus penjajahan kebodohan. Sejalan dengan hal tersebut, pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Kaisar Hirohito ketika bom atom dijatuhi di Nagasaki dan Hirosima adalah “berapa jumlah guru yang tersisa bukan kemiliteran mereka.” Tidak dapat dipungkiri, dari segi persenjataan dan strategi perang, Jepang memanglah unggul. Namun sayangnya, kala itu, warga negeri matahari terbit tersebut belum memiliki ilmu tertentu yang mumpuni sehingga berhasil diluluhlantahkan oleh lawan mereka. Sebagai kesimpulan kaisar Jepang pada waktu itu, belajar merupakan langkah utama dan guru adalah tempat negara mereka berpunca (Media Indonesia, 2023).

Guru adalah sesosok mulia yang mengabdi dari pelosok negeri hingga ke perguruan tinggi. Guru di perguruan tinggi lebih dikenal dengan istilah dosen. Guru dan dosen adalah pendidik profesional yang memiliki kedudukan dan tugas yang hampir serupa namun berbeda. UU No. 14 Tahun 2005 menjelaskan bahwa, “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidik. Sedangkan dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.”

Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru dan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional pula. Terlebih lagi, bagi seorang dosen yang telah mengabdi belasan atau puluhan tahun di perguruan tinggi, telah menamatkan pendidikan S3, dan telah berhasil mempublikasi karya ilmiah yang berkualitas di kancah global, serta syarat lainnya, dapat mencapai jabatan fungsional tertinggi, yakni sebagai Guru Besar.

Besarnya kata yang tersemat setelah nama guru menyiratkan betapa besarnya amanah yang diemban oleh guru tersebut, yakni tidak hanya aktif melakukan tri dharma perguruan tinggi di bawah naungan universitas tempat mengabdi, akan tetapi lebih luas lagi, yakni kepada masyarakat, negeri, dan dunia perlulah berkontribusi. Atas kontribusi akademik yang luar biasa ini, guru besar diberikan penghargaan dengan gelar kehormatan profesor. Gelar ini mengandung makna, bahwa semakin tinggi jabatan akademik yang dicapai seseorang, semakin tinggi pula komitmen terhadap pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat itu dilakukan. Pencapaian gelar profesor menjadi capaian tertinggi seorang dosen di perguruan tinggi dengan status kepakaran yang melekat padanya. Seseorang yang sangat kompeten dan ahli pada bidangnya tentu membutuhkan waktu yang tak sebentar, perjuangan yang tak pernah usai dan pengabdian yang tak kenal letih serta dibuktikan melalui kesungguhan tri dharma perguruan tinggi.

Di dalam jubah suci gelar kehormatan profesor yang disandang oleh seseorang, tersimpan suri keteladanan yang tiada pernah bermuara. Mengutip kembali semboyan pendidik yang ditanamkan oleh Bapak Ki Hadjar Dewantara, yaitu “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” yang memiliki arti “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.” Itulah yang selayaknya terpatri di dalam ruh seorang pendidik negeri ini.

Guru besar adalah motor penggerak bagi perguruan tinggi yang mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peningkatan jumlah guru besar di perguruan tinggi dapat menaikkan nilai akreditasi. Jadi, semakin banyak jumlah guru besar, maka akan semakin besar peluang sebuah universitas memperoleh nilai “akreditas unggul” (Maranatha News, 2023). Dalam dunia akademik, tugas guru besar yang tertera pada UU No. 14 Tahun 2005, pasal 49, Ayat 1 dan 2 adalah membimbing calon doktor, wajib menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Sejalan dengan tugas tersebut, guru besar yang mendedikasikan diri bagi negeri perlu bersinergi dalam melaksanakan kebijakan, melayani publik, dan merekat serta mempersatukan bangsa demi mewujudkan tujuan dan cita-cita luhur bangsa Indonesia.

Jabatan guru besar bukan sekadar sanjungan tertinggi yang diraih di atas panggung pendidikan tertinggi, melainkan tanggung jawab moral yang perlu dijaga dengan hati-hati. Sayangnya, makna guru besar yang dulu sangat dipuji-puji sempat memudar sejak terjadinya skandal guru besar yang teridentifikasi jurnal predator yang sempat mengguncang dunia pendidikan tinggi. Calon guru besar tersebut dituntut untuk menulis jurnal terindeks internasional yang berimplikasi pada bidang keilmuan yang ditekuninya sehingga ilmu pengetahuan pun semakin berkembang demi memenuhi syarat administrasi.

Beragam persyaratan administratif yang cukup tinggi ini, membuat sejumlah calon guru besar tersebut beralih ke cara instan. Padahal, seharusnya universitas adalah “tempat terbaik untuk memupuk integritas, bukan pilihan untuk mengambil jalan pintas.” Terlebih lagi, para calon guru besar tersebut adalah para abdi negara, yang mana sudah berjanji untuk mengabdikan diri pada negeri. Jika dikaitkan dengan core value berAkhlak yang tertera pada UU No. 20 Tahun 2023, hal ini menandakan, bahwa amanah dan kepercayaan yang diletakkan pada pundak beliau semua, belum dijalankan seutuhnya, seolah-olah komitmen untuk mengabdi dan melayani masyarakat, kini sedikit bergeser untuk melayani kepentingan diri sendiri.

Secara subtansial, para oknum yang menyalahkan wewenang tersebut sungguh membuat hati para pendidik pilu sebab kompetensi dalam melakukan tugas terbaik telah ternodai oleh perilaku instan mengejar target yang tinggi. Keberadaan para guru besar imitasi tersebut lebih menjadi beban daripada menjadi aset perguruan tinggi (Koran Tempo, 2024). Universitas tidak sepantasnya dikuasai oleh orang-orang yang tidak jujur. Dedikasi yang dulu digaung-gaungkan di dada, kini tinggal memperkeruh situasi. Jabatan guru besar yang dicapai dengan cara yang benar dan penuh dedikasi juga bisa terciprat dampaknya, setidaknya citra positif guru besar yang dibangun susah payah kini agak hancur diterpa oleh para oknum yang tidak jujur.

Terkait dengan kasus-kasus yang melibatkan sejumlah guru besar tersebut, menurut Indahri (2024), salah satu langkah penting dalam menjaga integritas dosen di perguruan tinggi, kemendikburistek perlu menegakkan aturan yang lebih tegas. Selain itu, evaluasi kebijakan, inisiatif pemerintah, dan aturan-aturan/ kode etik publikasi ilmiah, serta peningkatan kesadaran para dosen adalah langkah-langkah antisipatif untuk memelihara semangat integritas di universitas. Terakhir, diharapkan, dibalik makna guru besar di perguruan tinggi, terkandung nilai-nilai berAkhlak yang akan menjadi panduan dalam memenuhi tugas-tugas abdi negara.

Referensi

BBC News. (2024, 11 Juli). Diakses pada 09 Oktober 2024 dari

https://www.bbc.com/indonesia/articles/crgr7perzywo

Indahri, Y. (2024). Permasalahan Integritas Dosen dan Guru Besar. Info Singkat, XV1 (9).

https://pusaka.dpr.go.id

Koran Tempo. (2024, 11 Juli). Krisis Kejujuran Skandal Guru Besar. Diakses pada 09 Oktober

2024 dari https://koran.tempo.co/read/editorial/489146/skandal-guru-besar

Maranatha News. (2023, 27 Maret). Diakses pada 09 Oktober 2024 dari

https://news.maranatha.edu/featured/di-balik-gelar-kehormatan-seorang-guru-

besar/

Media Indonesia. (2023, 26 Juni). Guru Jadi Presiden. Diakses pada 09 Oktober 2024 dari

https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/592411/guru-jadi-presiden

Salinan UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Diakses pada 07 Oktober 2024 dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/269470/uu-no-20-tahun-2023

Salinan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Diakses pada 07 Oktober 2024 dari

https://peraturan.bpk.go.id/Details/40266/uu-no-14-tahun-2005

Sulhan, N. 2016. Guru yang Berhati Guru. Jakarta: Penerbit Zikrul Hakim

Penulis: Mayasari Manar

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image